Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Ramadhan dalam Kesendirian

16 April 2021   05:58 Diperbarui: 16 April 2021   06:06 181 3
Di jalan itu, di Amerika Serikat, nyaring sekali takbir si imam. Itu takbir terakhir shalat jenazah yang ia imami. Jamaah, hampir semuanya bersepatu, dengan khusuk bermakmum di belakangnya. Hanya ada dua saf. Di belakang saf kedua, hanya dalam beberapa inchi, mobil-mobil bergerak lazimnya di jalanan.

Hari itu dia mensolatkan tiga jenazah. Masing-masing ada di dalam kotak kayu. Ketiga-tiganya tersusun rapi di dalam sebuah mobil. Si Imam, Ahmed Ali Uzir, mempimpin sholat jenazah berdiri di depan mobil-keranda itu.

Dulu dia hanya mensholatkan 5 sampai 10 jenazah perbulannya. Sejak covid 19 bisa 3 sampai 5 perharinya. Ketika Ramadhan masuk, ia harus melakukannya sambil berpuasa. Ramadhan ramadhan sebelumnya ia hanya menghandle shalat jenazah  saja. Tapi ramadhan 2020 yang berbarengan dengan banyaknya kematian karena covid 19  membuatnya terlibat lebih. Mulai dari menshalatkan hingga menguburkan. Karena apa yang dikerjakannya ini, ramadhan kali ini membuat dia "dijauhi" orang orang di komunitasnya.  

Aneh rasanya suasana demikian. Sebab ramadhan yang akrab dengan kehangatan silaturrahim, kegiatan berjamaah serta berkumpul bersama kini penuh dengan batas, lebih individualistik serta kesendirian.  

Sejak covid 19 suasana ini tentu dirasakan juga oleh seluruh muslim di dunia. Ketimbang melihat semarak bulan suci, komunitas muslim dunia mendapati diri mereka dalam sebuah anomali. Ini bukan  ramadhan yang mereka kenal.
***  

Ada sekitar 1,8 milyar jiwa muslim di seluruh dunia. Jumlah itu tersebar di berbagai negara. Kata muslim akan membawa imajinasi kita ke timur tengah, asia tengah dan asia tenggara. Tapi percayalah tiga kata ini lebih kompleks dari yang dibayangkan. Untuk timur tengah saja, khusus orang arab, ada lebih dari 10 budaya yang berbeda. Itu berarti ada 10 jenis menu takjil yang berbeda. Bayangkan betapa meriahnya ramadhan setiap tahunnya.

Di negeri kita, kemeriahan itu terwujudkan dalam buka bersama, gotong royong bersih-bersih, istirahat siang di Mesjid, ramainya anak anak TPQ jelang berbuka. Belum lagi adanya menu takjil yang rupa-rupa warnanya. Serta tidak lupa sensasi untuk belanja makanan jelang waktu buka.

Satu hal yang patut dicatat, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya, semua aktivitas selama Ramadhan dilakukan lebih sedikit karena dorongan individu. Sebaliknya, yang mendominasi adalah spirit komunal. Baik dalam makna kebersamaan maupun dalam makna "orang-orang melakukannya, kita ikut coba yuk"

Spirit inilah yang kiranya menjadi penjelasan.  Mengapa ketika Covid 19 memaksa mesjid  digembok, jamaah tetap berdatangan. Mengapa ketika Covid 19 melambungkan jasa pengantaran makanan, menu takjil itu tak semantap seperti ketika ia dibeli berdesak-desakan langsung dari lapaknya. Mengapa teknologi tatap muka jarak jauh yang berevolusi sangat cepat di masa pandemi, tak cukup efektif menggantikan pulang kampung.   .
***

Puasa itu pada hakikatnya  menciptakan batasan-batasan terhadap diri secara sadar. Dalam puasa, kita secara sadar menciptakan pembatas antara diri kita dan pemanjaan diri. Kita mencoba menjauhkan diri dari kecenderungan mepertuankan diri sendiri. Makan, minum, sex kita tunda.  

Sebagaimana kita juga secara sadar meletakkan pembatas yang menghalangi diri kita dari melukai orang lain. Jangankan melukai fisik, mengata-ngatai saja kita dilarang.
 
Selanjutnya, karena batasan batasan yang kita terapkan atas diri itu tidak ada yang mensupervisinya melainkan diri kita, maka sesungguhnya puasa itu, menggunakan istilah Imam AlGhazali, bersifat rahasia.

Karena kerahasiaan itu, puasa sesungguhnya bersifat ke dalam. Dalam puasa kita masuk untuk melihat ruang dalam diri kita. Di dalamnya hanya ada kesendirian dan kesunyian. Persis seperti kesendirian Nabi saat menerima tuntunan suci. Persis seperti refleksi diri saat i'tikaf.

Maka jika ada yang bisa kita pelajari dari Ramadhan tahun lalu, itu adalah sisi ini. Bahwa mungkin  kita perlu sejenak melihat Ramadhan yang masih dalam suasana pandemi saat ini, dari dalam diri kita. Dengan hakikatnya yang sendiri dan sunyi itu. Diri kita latih, mumpung ada momennya, untuk sementara, jauh dari nuansa festival dan selebrasi. Seperti pada ramadhan-ramadhan yang lampau.

Bersahabat dengan kesendirian dan kesunyian membantu kita melakukan refleksi diri. Jika tidak, minimal ia membuat kita betah untuk mengurangi interaksi dengan sesama di masa pandemi ini. Seperti bunyi sebuah hadis, muslim itu adalah sesiapa yang orang selamat dari akibat perbuatannya dan kata-katanya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun