Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Benih (01)

3 Oktober 2011   03:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:24 163 0
Ini adalah detil kronologi kejahatan yang kaulakukan padaku dan akan kuajukan ke pengadilan yang mahatinggi di akhirat: Setahun lalu, di sebuah halte. Perlu kalian ketahui, para pembaca yang budiman, ketika cerita ini bermula aku masih berada di peraduanku bersama para bidadari surga dan bermain bersama teman-teman sebayaku, yang semuanya lucu, montok lagi menggemaskan. Kami tertawa dan menangis, itulah yang kami lakukan sepanjang hari. Sampai sejenak kemudian aku terdiam sendiri; sorot mataku, yang bundar lagi bening, teralihkan antara terpaku dan penasaran melihat seorang gadis cantik yang berdiri di sebuah halte nun jauh di bawah sana. Kau—gadis ini, perempuan muda berusia duapuluh tiga tahun yang cantik, dengan hidung mancung dan bibir merah mempesona. Kulitmu yang putih sungguh kontras dengan blazer cokelat yang kaukenakan, namun tak pelak hal itu menimbulkan keserasian yang anggun bagi yang melihatnya—oh, jangan lupakan pula rambut hitammu yang menjuntai lurus sebatas punggung yang menambah daya tarikmu. Kau seorang resepsionis di sebuah perusahaan pembiayaan, dan saat ini tengah menunggu bus yang akan membawamu ke kantor. Kau melirik jam tangan di pergelangan tanganmu, matahari sudah semakin merangkak ke atas dari arah timur kaulihat. Mungkin dia agak terlambat hari ini, pikirmu. Dia yang kaumaksud dalam kalimatmu di atas adalah seorang laki-laki muda yang tampan, berusia pertengahan duapuluh, berpostur atletis, serta selalu mengenakan kemeja lengan panjang berwarna lembut (kadang biru muda, atau putih, atau peach) yang digulung hingga sebatas siku. Kepada laki-laki inilah kau tengah terburu-buru menanti sensasi perasaan senang yang aneh yang akan menjemputmu lalu menyelinap ke dalam relung hatimu. Begitu lembut… dan, apa itu yang sebelumnya kausebutkan—ah, ya, berdebar. Debaran tanda cintakah? Kurasa kau bisa bilang begitu. Setiap hari kerja, di jam yang sama seperti pagi ini, si laki-laki tersebut juga biasa menunggu bus di halte ini. Laki-laki yang menawan, begitu kau biasa menyebutnya di dalam hati, yang bahkan dari jauh aroma parfumnya saja sudah sangat kauhafal. Dan ngomong-ngomong soal parfum, tiba-tiba sebuah aroma citrus yang lembut menyeruak masuk ke dalam penciumannya… ah, wangi ini—itu dia si laki-laki datang! Kau beringsut agak ke dalam, membetulkan seragam dan poni rambutmu yang sama sekali tak perlu dirapikan. Pura-pura cuek, kau berdiri di tempatmu dengan dagu terangkat, namun sama sekali tak bisa menahan untuk tak melirik ke arah si laki-laki yang datang dari arah sebelah kananmu itu. Ia, laki-laki ini, berjalan tergopoh-gopoh sembari menenteng tas dokumennya, dadanya yang bidang tercetak pada lekukan kemejanya ketika ia melangkah lebar-lebar. Tak seperti biasanya, penampilannnya sedikit berantakan kauperhatikan pagi itu; ujung kemeja belakangnya tak dimasukkan—atau tak sempat dimasukkan, hanya bagian depannya saja yang dimasukkan secara sambil lalu. Sementara lingkaran kelabu tampak membayang di kelopak matanya. Entahlah, kau menebak, ini pengaruh cuaca yang belakangan ini begitu dingin di malam hari yang membuatnya betah melingkar di balik selimut, ataukah karena semalam ada pertandingan klub sepakbola favoritnya, sehingga ia terlambat bangun. Walaupun kau tak pernah mengenal atau bertanya langsung padanya apakah ia menyukai sepakbola atau tidak, tapi setidaknya asumsi terakhirmu itu terbentuk karena setiap lelaki yang kaukenal di kantormu selalu heboh dan bersemangat setiap kali membicarakaan tentang sepakbola saat makan siang. Kau sesekali pernah bergumam, apa ada yang salah dengan laki-laki? Sehingga mereka lebih suka memperebutkan sebuah bola, daripada membelinya satu untuk masing-masing, tapi tentunya itu adalah cerita lain lagi. Ah, cukup sudah membicarakan tentangnya, kau berbisik cepat dalam hati—deg… deg… Sekarang laki-laki tampan itu telah berada di sampingmu dalam jarak yang begitu dekat, hanya pakaian masing-masinglah yang memisahkan kulit kalian!—deg… deg… Dalam hatimu kau ingin sekali berteriak, “Bagaimana ini, bagaimana ini…?” Di luar dugaanmu saat itu, sebenarnya si laki-laki juga telah lama memendam benih cinta terhadapmu. Hanya saja ia tak tahu bagaimana caranya memulai untuk menyapa dan berkenalan denganmu. Setiap hari, ia tak bisa melupakan perasaan dag-dig-dug yang menderanya setiap kali ia berdiri di sampingmu. Ya, seperti saat ini. Dan seperti saat ini pula, mendadak seluruh isi kepalanya kosong dan bibirnya mengatup bagai tiram yang tertutup rapat-rapat, saat hendak memulai suatu percakapan denganmu. Tapi ia tetap sangat bersyukur dalam hatinya, meski tadi ia terlambat bangun dan bergegas menyiapkan dirinya untuk berangkat ke kantor, ia masih bisa dipertemukan dengan gadis secantik dirimu di halte yang kering dan dingin ini. (Sampai disini, aku ingin menambahkan, inilah bilamana dua orang telah saling mencinta. Bukan karena mereka benar-benar dipertemukan, tapi jauh di dalam hati masing-masing karena mereka telah saling merindu dan saling menunggu dan saling terburu-buru untuk dipertemukan satu sama lain. Rasanya bisa kulihat dua cupid di sebelah sana, masing-masing mendampingi kalian, yang tengah meniup seruling lagu cinta yang memabukkan, dan satunya lagi siap menembakkan panah asmara.) [bersambung...] Benih (02) Benih (03) >>Baca dan berlangganan karya saya lainnya disini. >>Kunjungi juga blog saya di http://sihirkata.blogspot.com. Sumber gambar: http://www.dreamstime.com

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun