Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Kisah Langit Jingga (08)

8 Agustus 2011   13:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:59 110 0
Aku kini telah masuk ke dalam lemari mesin waktu itu. Hanya sesaat setelah Profesor Haris mengangkat jempolnya sebagai aba-aba dan memulai alatnya itu kurasakan tubuhku merenggang kemudian mengkerut seperti karet, seolah ada medan magnet yang menarikku kuat sekali—ini cukup menyakitkan dan aku tak mau terlalu mendramatisirnya—lalu akhirnya tubuhku tersedot masuk ke dalam sebuah lubang hitam yang melingkar seperti donat di atas kepalaku; lubang waktu. Dan dengan demikian dimulailah perjalanan menembus waktuku…


Kunjungan pertamaku adalah menuju ke masa sembilan hari yang lalu, persisnya seminggu sebelum Jingga mengakhiri hidupnya. Aku tiba, dengan kondisi utuh, syukurlah, di pagi hari di depan kampus Jingga.


Aku ingat hari ini, siang nanti, adalah pertama kalinya aku melihat Jingga di sudut kantin. Aku akan mengamatinya sambil tak berkedip dari jauh, dan tak berani melangkah untuk sekedar menyapanya dan bilang ‘Hai!’, atau berbicara dengannya. Tepatnya, aku benci mengatakannya, aku mati kutu saat itu. Betapa pesonanya telah menyihirku hingga mematung seperti batu kali. Lalu saat ia menyadari ada yang memperhatikannya, cepat-cepat aku memalingkan wajahku dan berlalu sambil menundukkan topiku.


Aku tahu sebentar lagi Jingga akan tiba di kampus, maka aku pun bersembunyi di balik pos satpam di dekat gerbang. Tak lama gadis yang kunanti itu pun tiba dengan menaiki ojek langganannya. Kukatakan padamu, aku tak dapat menahan gejolak rindu yang membuncah dalam hatiku ketika melihatnya saat itu, sesaat membuatku ingin melompat keluar dari persembunyianku dan memeluknya erat-erat. Aku benar-benar telah melihat Jingga lagi—dalam keadaan hidup; ia berbicara dengan suara lembut pada si tukang ojek, membayar ongkosnya, lalu berjalan melintasi pelataran kampus dengan keanggunan yang hanya bisa kudapatkan pada seorang Jingga. Tuhan, itulah Jingga yang kucintai…


“Ojek!” Aku memanggil tukang ojek yang mengantar Jingga tadi dan menghampirinya. “Bisa anterin saya ke tempat awal cewek tadi naik gak, Bang?”


“Neng Jingga?” tanya si Abang tukang ojek. “Maksudnya ke rumahnya?”


“Iya, Bang,” anggukku.


“Tunggu dulu, ada apa kamu mau ke rumahnya? Bukannya kalau mau menemuinya kenapa gak langsung saja menemuinya tadi?”


“Begini, umm, gimana ya? Pokoknya Abang harus nolongin saya, maksud saya, hanya Abang yang bisa membantu saya… Ini sangat penting! Saya… ah, saya jatuh cinta sama Jingga dan saya mau mendekatinya.”


“Ohh…” si Abang tukang ojek tersenyum mengerti, yang kurang lebih bisa kuartikan sebagai ‘Ah, saya juga pernah muda’.


Ia kemudian mempersilakanku naik ke motornya. Sambil melaju, kujelaskan pada si Abang tukang ojek—“Panggil saja Bang Karim,” pintanya—bahwa aku mempunyai sebuah rencana untuk mendekati Jingga dan aku memerlukan bantuannya. Aku akan menyamar sebagai tukang ojek dan mulai besok akulah yang akan mengantarkan Jingga ke kampusnya. Dalam hatiku aku berjanji untuk berusaha sedekat mungkin dengan Jingga, mencari tahu tentang permasalahan yang dihadapinya, menghiburnya dan menceriakan suasana hatinya apapun yang terjadi. Aku akan mengubah keputusannya untuk bunuh diri kelak. Dengan dua bungkus rokok untuknya dan masing-masing sebungkus untuk tukang ojek lain yang beroperasi di pangkalannya, Bang Karim dan yang lainnya pun menyanggupi permintaanku.


Selanjutnya, dengan menggunakan arloji penjelajah waktu Profesor Haris aku pun berpindah waktu ke keesokan harinya dan memulai hariku menyamar sebagai tukang ojek dan mengantarkan Jingga ke kampusnya. (Oh ya, mungkin kamu bertanya, motor yang kugunakan kupinjam dari sepupuku yang tak tahu apa-apa, sementara sosok aku yang-sebenarnya-ada-di-masa-ini tetap bekerja seperti biasa membantu Ayahku). Hari pertama aku memberanikan diriku untuk berkenalan secara resmi dengannya, dengan imbalan menggratiskan ongkosnya aku memperkenalkan diriku padanya. Seterusnya aku berpindah-pindah waktu dari keesokan harinya ke keesokan harinya lagi, dan keesokan harinya lagi—dan begitulah aku semakin dekat dan jatuh cinta padanya. Sebisa mungkin aku berusaha untuk menghibur suasana hatinya yang lebih sering muram, terlebih memang tak mudah untuk menghapus kesepiannya...


Aku ingat, ada hari dimana aku mengajaknya bersenang-senang di arena pasar malam dan kami menikmati berbagai hiburan yang ditawarkan di sana. Suasana hati Jingga sedang bagus hari itu. Aku senang sekali ketika berhasil memenangkan sebuah boneka kelinci dari permainan tembak-tembakan, meski itu setelah beberapa kali mencoba dan mengeluh, tapi hasil yang kuperoleh sungguh setimpal; sebuah senyum lebar melengkung di sudut wajahnya saat kuberikan boneka itu untuknya. Aku ingat, ya, aku ingin sekali bilang padanya “Jingga, kamu cantik sekali kalau tersenyum seperti itu… seperti bidadari”, tapi tak kulakukan karena takut ia akan menganggapku gombal lantas menjitak kepalaku. Begitulah, Jingga memang tipe orang yang tak banyak bicara dan pendiam, dan ia suka menjitak kepalaku untuk menunjukkan emosinya. Jadi aku hanya tersenyum menikmati senyumnya yang bertebaran di sepanjang sisa hari itu. Seperti gulali merah muda yang kami nikmati setelahnya, untuk sesaat aku merasa seperti telah memenangkan seluruh hatinya… hatiku dan hatinya diliputi oleh aura merah muda yang menyenangkan.


Tapi itu saja tidak cukup. Beberapa hari berikutnya suasana hatinya kembali diliputi mendung. Bisa kukatakan Jingga cenderung merupakan pribadi yang tertutup dan tampak tenang dari luar, sementara di dalam arus yang kuat memporak-porandakan perasaannya.


***


Akhirnya hari itu tiba. Sepuluh menit sebelum Jingga mengakhiri hidupnya…


Bodohnya aku! Sudah lebih dari dua jam aku menunggu, tapi Jingga tak juga muncul di pangkalan ojek tempat biasa aku menunggunya, sampai akhirnya Bang Irsyad yang baru saja kembali dari mengantar penumpangnya dari pasar mengatakan padaku bahwa Jingga telah lama pergi ke kampus. Sejak pagi-pagi sekali, tambahnya, ia beralasan ada tugas yang harus diserahkan secepatnya. Tidak, Jingga bohong! Aku tahu ia akan bersembunyi di atap gedung kampus dan menangis di sana, lalu ia akan berakhir dengan membuat keputusan bodoh melompat dari tempat itu.


Seketika kukebut sepeda motorku, kukatakan pada Profesor Haris lewat tombol komunikasi di arloji penjelajah waktu pemberiannya untuk membuka portal waktu di ujung jalan di depanku dan memindahkanku ke atap gedung kampus Jingga.


“Apa kamu yakin?” tanya Profesor Haris. “Saya belum pernah mentransfer dua benda sekaligus lewat portal waktu. Berat beban yang akan ditransfer pasti akan sangat berat dan kalau sampai terjadi salah kalkulasi kamu pasti akan celaka—“


“Tidak ada waktu lagi! Lakukan saja! Saya percaya sama Kakek… Saya hanya gak mau mengambil resiko kehilangan Jingga untuk kedua kalinya.”


“Baiklah,” segera, Profesor Haris pun menyanggupi permintaanku.


Di depanku sebuah lubang hitam menganga dan di dalamnya terdapat pusaran waktu yang berputar-putar. Aku menerobos dengan kecepatan penuh ke dalamnya.


[bersambung…]

Kisah Langit Jingga (01)
Kisah Langit Jingga (02)
Kisah Langit Jingga (03)
Kisah Langit Jingga (04)
Kisah Langit Jingga (05)
Kisah Langit Jingga (06)
Kisah Langit Jingga (07)
Kisah Langit Jingga (09)
Kisah Langit Jingga (10 - Selesai)

>>Baca dan berlangganan karya saya lainnya disini.
>>Kunjungi juga blog saya di http://sihirkata.blogspot.com.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun