Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Kisah Langit Jingga (07)

8 Agustus 2011   05:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:59 112 0
“Saya mendapati mug itu berada di tangan seorang pemuda berandalan yang tengah bersantai di taman, tak jauh dari tempat kita bertemu kemarin,” lanjut Profesor Haris. “Saat itu dia sedang menikmati tehnya sembari mengawasi beberapa anak asuhnya yang tengah mengamen, saya meyakinkan diri melihat inisial saya di bawah mug itu saat dia mengangkat dan meneguk isinya. Kemudian saya menghampirinya dan menanyakan dari mana ia mendapatkan mug itu. Dia bilang, ‘Saya menemukannya di sekitar sini seminggu yang lalu.’ Cocok! Saya senang sekali mendengarnya. Saya mengatakan kalau mug itu sebenarnya adalah milik saya yang terjatuh dan saya bersedia membayarnya. Saya mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet saya, tapi dia mau lebih dan meminta semua uang yang ada di dompet saya. Saat itu saya tidak berpikir panjang lagi, karena di dalam hati saya sungguh girang membayangkan penemuan saya telah berhasil, dan memberikan semuanya. Tapi dasar berandalan kurang ajar!—begitu saya meminta mug itu dia malah kabur. ‘Dasar kakek bego! Kalau mug ini begitu berharga, pastilah mug ini barang antik yang sangat mahal!’ teriaknya. Saya pun berusaha sekuat tenaga mengejarnya. Dan kemudian saya mendapati mug ini telah berada di tanganmu di tengah jalan raya. Begitulah ceritanya.”


‘Wow!’ dan ‘Hah?’—yang terakhir dalam nada mengejek. Hanya dua kata itulah yang terlintas di dalam kepalaku setelah mendengar keseluruhan ceritanya. Tapi tidakkah ini terdengar seperti fiksi-ilmiah yang sukar untuk diterima kenyataan? batinku.

Jangan-jangan profesor tua ini hendak menipuku lagi? Tapi tidak mungkin! Mengingat reputasi dan prestasinya yang sering kubaca di surat kabar, dan juga peralatan-peralatan yang sepertinya mahal yang ada di tempat ini, tak mungkin ia berbohong…


“Jadi maksud Kakek… Kakek ingin saya…” kataku.


“Saya merasa tersentuh mendengar ceritamu kemarin, Anak Muda. Saya juga melakukan hal ini karena saya ingin sekali lagi bisa menjumpai istri saya yang telah meninggal sepuluh tahun lalu. Tapi mesin waktu ini masih jauh dari sempurna dan belum bisa menempuh jarak waktu yang terlalu jauh. Jadi saya ingin bertanya padamu, Langit: ‘Apa kamu ingin sekali lagi bertemu gadis impianmu dan menyelamatkannya dari takdir kematian yang dipilihnya?’”


“Bi-bisakah saya melakukan itu…” suaraku bergetar.


“Untuk itulah kita akan mencobanya,” Profesor Haris tersenyum.


“Ah…”—Kamu dengar itu, Jingga? Kita akan bertemu lagi… Saking senangnya tubuhku sampai tegang sekali.


“Tapi, tentu saja, jangan terlalu gembira dulu, masih ada resiko yang harus kamu hadapi,” kata Profesor Haris kemudian. “Kamu harus tahu, sebelumnya saya belum pernah mengujicobakan penemuan ini pada manusia. Saya hanya pernah melakukannya pada benda-benda yang ada di sekitar saya. Bahkan, pada beberapa percobaan sebelumnya, ada satu kursi lipat yang saya kirimkan ke masa tujuh puluh dua jam lalu, dan pada saat ditemukan di halaman belakang di masa sekarang kursi itu telah kehilangan salah satu kakinya. Ini artinya ada bagian yang ketinggalan atau tidak dapat disatukan dengan sempurna setelah melewati perjalanan menembus waktu. Bukan hanya itu saja, ada juga vas bunga yang saya kirimkan ke masa lalu namun tidak pernah ditemukan. Padahal saya telah mencarinya dengan teliti di titik koordinat lokasi tempat saya mengirimkannya. Yah, mungkin saja benda itu terjebak di zona waktu antah berantah dan tak bisa ditemui lagi. Kasihan Bi Anis yang tak tahu apa-apa terus mencari-cari benda itu—hehehe… Ehem! Jadi bagaimana menurutmu?”


Aku menelan ludah mendengar penjelasan itu. “Jadi… jadi maksud Kakek saya manusia pertama yang mau dijadikan sebagai kelinci percobaan?”


“A-ah! Itu pilihan kata yang salah, Anak Muda!” Profesor Haris melambaikan telunjuknya. “Saya tidak pernah memaksamu untuk melakukan apapun. Saya hanya ingin menawarkan padamu sebuah kesempatan. Pilihan sepenuhnya ada di tanganmu: mau meneruskan ini atau tidak?”


“Baiklah! Saya ingin melakukannya!” kataku akhirnya, sungguh-sungguh, setelah berpikir selama beberapa saat. “Lalu, kalau saya sudah berhasil ke masa lalu, bagaimana caranya untuk kembali ke masa sekarang?”


“Sinar matamu dipenuhi oleh api cinta yang membara saat mengatakannya—sungguh keren! Kamu mengingatkan saya saat muda dulu, Anak Muda… Hohohoho! Ah, ya, tentu saja, mengenai caranya untuk kembali ke masa sekarang, saya sudah memikirkannya. Ini!” Profesor Haris mengeluarkan sebuah jam tangan model sport dari laci meja kerjanya dan menyerahkannya padaku.


Aku menerimanya dan menelitinya. Jam tangan yang bagus! Namun seketika penilaianku itu segera berubah manakala membalik bagian belakangnya dan menemukan—pada huruf yang lebih kecil di bagian stainless steel terdapat tulisan ‘Made in China’.


“Hei, itu tidak semurah kelihatannya!” celetuk Profesor Haris. “Saya sudah memodifikasi jam tangan itu dengan berbagai peralatan canggih. Nih! Kamu bisa mengatur sendiri jam dan tanggal hari untuk menjelajah dan berpindah waktu. Kalau sudah, kamu tinggal menekan tombol ini untuk mengirim sandi ke komputer saya. Sandi ini akan diubah menjadi permintaan untuk membuka portal lubang waktu, lalu eksekusi selanjutnya berada di tangan saya. Jam tangan ini juga disertai GPS untuk memantau keberadaanmu. Nah, kalau kamu menekan tombol di samping ini kamu bisa berkomunikasi dengan saya… Hebat, bukan? Hohohoho!”


“Ya, Kakek memang seorang profesor yang hebat! Tapi, hmm… yang bagian ‘berkomunikasi lewat jam tangan itu’ bukankah itu seperti yang ada di film Power Rangers ketika saya masih kecil dulu?” selorohku yang langsung membuat senyum yang sempat mengembang sedemikian rupa di wajah si profesor mengkerut. Aku terkikik menang.


“Nah! Baiklah, kalau kamu sudah siap kita akan melakukannya setelah makan siang! Sementara itu Bi Anis, pembantu saya yang setia, telah menyiapkan santap siang. Kamu harus mencicipi masakannya yang luar biasa, Anak Muda. Bukankah kita tidak boleh melakukan sesuatu yang besar dengan perut kosong? Ayo!”


Profesor Haris sungguh orang yang menyenangkan dan baik hati. Ia bahkan menyadari kalau sudah dua hari ini aku tak menyentuh makanan karena terus memikirkan soal Jingga. Mungkin ia bisa melihatnya dari penampilanku yang kuyu dan tak bergairah seperti orang yang telah kehilangan separuh nyawanya karena patah hati. Namun sekarang jiwaku telah terisi semangat lagi. Aku sungguh beruntung mengenalnya.


Tunggu saja, Jingga! Aku akan datang untukmu dan menyelamatkanmu…

[bersambung...]

Kisah Langit Jingga (01)
Kisah Langit Jingga (02)
Kisah Langit Jingga (03)
Kisah Langit Jingga (04)
Kisah Langit Jingga (05)
Kisah Langit Jingga (06)
Kisah Langit Jingga (08)
Kisah Langit Jingga (09)
Kisah Langit Jingga (10 - Selesai)

>>Baca dan berlangganan karya saya lainnya disini.
>>Kunjungi juga blog saya di http://sihirkata.blogspot.com.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun