Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Kisah Langit Jingga (02)

14 Juli 2011   04:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:41 161 0
You and I must make a pact,
We must bring salvation back
Where there is love, I'll be there



I'll reach out my hand to you,
I'll have faith in all you do
Just call my name and I'll be there



(I’ll Be There - The Jackson 5)

Pagi ini aku berangkat kuliah lebih siang dari biasanya. Penyebabnya saat aku memasuki kamar Mama untuk berpamitan aku mendapati muntahnya berserakan di lantai. Di atas ranjang ia terlelap dengan raut kuyu, gurat kesedihan tergampar di wajahnya. Semalam Mama bertengkar hebat dengan Papa yang sudah tiga hari tak pulang. Sementara di samping ranjangnya sebotol Jack Daniels teronggok di atas sebuah meja kecil. Aku tak tega meninggalkan Mama begitu saja. Terpaksa aku meletakkan kembali tasku dan membereskan muntahnya. Dan juga mengganti botol minuman keras di atas meja dengan sepiring nasi goreng sosis buatanku dan segelas susu. Kemudian setelah itu barulah aku mengecup kening Mama dan lekas meninggalkan tempat itu.


Sesampai di tempat pangkalan ojek di depan komplek aku mendapati Langit, si pemuda tukang ojek palsu kemarin, telah menungguku dengan sungging senyum di wajahnya. Huh, ekspresi yang salah untuk menyambut mood-ku yang sedang buram pagi ini! Ia menyapaku ramah. Meski ia dan sepeda motornya bertengger di barisan paling depan di antara tukang ojek lainnya, yang artinya menurut kode etik tukang ojek adalah yang berhak untuk mendapatkan penumpang lebih dulu, tapi aku sengaja melewatinya.


Aku beralih pada Bang Karim di barisan paling ujung dan memintanya untuk mengantarku ke kampus, tapi ia menolak dengan alasan tengah menunggu penumpangnya yang lain. Berlanjut ke Bang Irsyad di sebelahnya, ia juga menolak karena tengah asyik menyantap gorengan. Lalu Bang Iman dan Bang Hendra juga menolakku, terakhir Bang Yuda malah menyarankanku untuk mengojek motor Langit di sebelahnya karena, katanya, ia lagi kurang enak badan. Gak enak badan kok ngojek? Alasan macam apa itu? batinku sebal.


Terpaksa deh, mau tak mau aku menaiki motor Langit dengan enggan. Seketika si empunya langsung menyodorkan sebuah helm padaku sambil nyengir.


Berbanding terbalik dengan suasana hatiku, di sepanjang perjalanan memboncengku Langit tampak riang. Ia bersiul menyenandungkan lagu jadul I’ll Be There-nya The Jackson 5. Aku protes karena menurutku suara siulannya itu paling jelek sedunia. Tapi ia bilang ia tengah menyanyikan kebenaran. Ia bilang hari itu, dengan sungguh-sungguh, entah ia merayuku atau tidak, “Kamu kelihatan gak terlalu baik hari ini. Kamu tahu, kalau kamu sedang ada masalah atau membutuhkan bantuanku, I’ll be there...


Aku tersentak di belakang punggungnya, tertegun. So sweet, huh? Aku menjitak helm-nya. Keras. Ia mengaduh.


“Katamu kamu bukan tukang ojek, kenapa kamu ada di pangkalan ojek pagi ini?” tanyaku kemudian.


“Saya menunggumu,” jawabnya. Kembali aku tersentak.


“Kenapa?”


“Karena saya ingin mengenalmu.”


“Terus?” Aku penasaran.


“Saya ingin lebih dekat denganmu. Ah, kita sudah sampai!" Aku bergegas turun dari sepeda motornya.

"Hei, saya serius,” katanya lagi sesaat setelah aku mengembalikan helm-nya dan hendak meninggalkannya. Aku menoleh menatapnya. “Kalau kamu butuh teman mengobrol atau tempat untuk bercerita, kamu bisa mengandalkanku. Saya bisa menjadi tong sampah yang baik kok!” Ia tersenyum.


Aku hanya bisa bilang terima kasih dalam hati.


***


Aku senang sekali hari ini. Semalam Papa mengajak Mama makan malam, hal yang telah lama sekali tak mereka lakukan. Kulihat Mama mengenakan gaun terbaiknya dan ia berdandan cantik sekali. Mereka berjalan beriringan penuh kasih menuju mobil. Aku melongok dari jendela kamar. Aku sengaja menolak ajakan mereka supaya mereka bisa menghabiskan banyak waktu dan banyak cerita berdua. Dari hati ke hati. Tuhan, aku berharap ini akan berlangsung selamanya. Dan setelah ini tak akan ada lagi teriakan kebun binatang terdengar dari mulut mereka yang selalu membuatku menyudut dan menutup telinga di pojok kamar.


Pagi ini pagi ketiga Langit mengantarku ke kampus, tanpa ragu aku menerima helm-nya dan membonceng di jok motornya. Ia tak banyak bicara di perjalanan, tapi ia tahu aku tengah senang. Kami berdua hanya mendengarkan suara desir angin di telinga kami dan menikmati perjalanan menuju kampusku pagi itu.


“Jam tiga,” kataku sambil menyerahkan helm setelah turun dari motornya.


Langit menerima helm-nya dengan raut tak mengerti.


“Dasar bodoh!” Aku menjitak helm-nya. Ia mengaduh. “Kamu pernah bilang ingin menjemputku ‘kan? Hari ini kuliahku selesai jam tiga.”


“Ah, ba-baiklah! Saya akan ada disini sebelum jam tiga! Saya janji!” katanya cepat, gelagapan. Ia tampak senang sekali.


Tak urung hal itu membuatku terkikik. Dan aku pun menyadari sesuatu; rasanya telah lama sekali aku tak tertawa seperti hari ini.

[bersambung...]

Kisah Langit Jingga (01)
Kisah Langit Jingga (03)
Kisah Langit Jingga (04)
Kisah Langit Jingga (05)
Kisah Langit Jingga (06)
Kisah Langit Jingga (07)
Kisah Langit Jingga (08)
Kisah Langit Jingga (09)
Kisah Langit Jingga (10 - Selesai)

>>Baca dan berlangganan karya saya lainnya disini.
>>Kunjungi juga blog saya di http://sihirkata.blogspot.com.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun