Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Temanku Lana (08)

2 Juni 2011   06:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:57 112 0
“Katakan padaku, bagaimana rasanya menjelang mati, Ben? Apakah itu menyenangkan… atau menakutkan?”


“Brengsek!”


“Apa kamu bilang!? Jagoan sekarang rupanya, hah?” Robin mendorongku dengan kasar. “Oh ya, saya lupa! Bukankah sejak dulu kamu selalu ingin menjadi pahlawan kesiangan di mata Lana ‘kan?”


Aku tak dapat menahan diriku lagi sekarang. Seketika tanganku yang terkepal bergerak menyerangnya dengan geram. Ingin sekali kutonjok wajah menyebalkannya itu. Tapi ternyata Robin berhasil menghindari pukulanku. Sebagai gantinya ia lantas meninju perutku dengan telak. Bugh! Sakitnya sampai ke ulu hati. Selama beberapa detik rasanya aku tak bisa bernafas dan mengerang dalam posisi membungkuk.


Tapi aku tidak mau kalah kali ini. Aku tak mau lagi dijadikan bulan-bulanan dan bahan olokan Robin seperti waktu SMA dulu. Aku berteriak bagai banteng yang terluka dan beringas menyerangnya dengan kalap. Dengan kepala dan bahuku aku berusaha mendorongnya sekuat tenaga. Tetapi tak mudah, Robin memiliki postur tubuh yang tinggi dan atletis. Di kesempatan itu beberapa kali kurasakan Robin memukul pinggangku dengan keras. Dan anehnya, alih-alih merasa kesakitan, aku sama sekali tak merasakan apa-apa, seolah tubuhku dilapisi baju zirah yang kuat serta tebal. Sebaliknya, aku kini merasakan emosi yang meluap-luap serta keinginan yang lebih kuat untuk bisa membalasnya. Setelah mendorongnya mundur beberapa langkah, Robin akhirnya terjatuh juga dan aku segera menindih tubuhnya. Kuhujani wajah menyebalkannya dengan pukulan bertubi-tubi hingga babak belur. Darah mengalir dari hidungnya. Aku puas.


Ini untuk pukulanmu ketika kamu marah aku menentang lelucon kodok keparatmu di dalam kotak makan siangku sewaktu di SMA dulu!


Robin mengaduh meminta ampun. Aku tak berhenti memukulinya. Seakan ingin menumpahkan segala kebencian dan kekesalanku padanya yang selama ini menumpuk di dasar hatiku yang paling kelam. Emosiku menggelegak seperti letupan lahar panas setiap kali aku melancarkan tinjuku padanya. Ini untuk semua dosa yang pernah kamu lakukan padaku…batinku puas.


Akhirnya aku baru benar-benar berhenti memukulinya dan melepaskannya setelah merasa kelelahan dan kulihat mata Robin yang tampak begitu ketakutan serta menggembung di salah satunya karena lebam menatap padaku.


“Ya ampun, Ben! Apa kamu sebegitu ingin membunuhku?—hah... hah...” umpat Robin, tersengal, suaranya bergetar ketakutan. Sesekali ia menyeka darah yang mengalir di hidungnya dengan punggung tangannya dan menengadahkan kepalanya ke atas agar darahnya berhenti mengalir. Tertatih-tatih menahan sakit, ia cepat-cepat kembali ke mobilnya dengan payah.


Sebenarnya aku merasa iba juga melihat Robin seperti itu. Entahlah, sesaat sepertinya aku bukan diriku tadi. Belum pernah sebelumnya aku merasakan luapan amarah yang begitu besar merasuki diriku sedemikian rupa. Ini tidak seperti yang kubayangkan, seperti “Wah, hebat, akhirnya aku bisa mengalahkan Robin!”, melainkan malah “Hei, apa yang telah kulakukan terhadap Robin barusan…?”. Aku merasa bersalah padanya sekarang. Memandangi ruas jari-jemari tanganku yang lecet akibat memukuli Robin tadi, aku kelihatannya seperti orang yang baru saja kesetanan. Aku menghela nafas panjang untuk menenangkan sarafku dan merapikan diriku.


“Kuberitahu satu hal,” kata Robin, menoleh padaku, berdiri di samping pintu mobilnya yang terbuka. “Seharusnya kamu gak usah terlalu memuja Lana. Dia itu pembohong licik! Dia akan berpura-pura baik pada orang-orang yang dilihatnya sebentar lagi akan mati. Lalu dia akan menawarkan orang itu untuk membeli asuransi kematian darinya dan meminta tigapuluh persen atas penawarannya itu… Seharusnya kamu tahu itu, Ben! Lalu kenapa kamu masih ingin membelanya?”


“Karena Lana adalah temanku,” jawabku yakin.


“Teman?”


Robin seperti tersedak mendengarnya. Ah, ia tahu betul apa arti kata itu menurut versinya. Semua teman-teman yang dimilikinya dulu kini perlahan menjauh dan meningalkannya setelah keluarganya bangkrut dan jatuh miskin. Hanya BMW tua milik Ayahnya itu saja yang ngotot dipertahankannya untuk menjaga gengsinya, karena Robin benci naik angkutan umum dan ia tidak bergaul dengan orang-orang miskin. Aku pernah membaca di surat kabar perihal kebangkrutan perusahaan keluarga mereka beberapa waktu lalu. Setelah itu Ayahnya yang malang terkena stroke. Ibunya tak bisa berbuat apa-apa dan menjadi pemurung. Seorang diri Robin berusaha menghidupi kedua orangtua dan adik-adiknya sekarang.


“Lalu kamu sendiri, sebenarnya apa yang kamu lakukan dengan Lana?” tanyaku ingin tahu.


“Hmm! Saya rasa saya hanya meminta sedikit bagian dari apa yang saya ketahui tentang bisnis sampingan Lana yang dilakukannya sejak kami pacaran waktu kuliah dulu.”


“Maksudmu kamu memeras Lana?”


“Tadinya saya meminta Lana untuk merubah kontrak tigapuluh persen atas klaim asuransimu menjadi empatpuluh persen. Saya pikir kamu pasti gak akan keberatan melakukannya demi Lana. Tapi Lana gak mau melakukan hal itu dan kami bertengkar. Saya butuh uang untuk membayar beberapa hal—tagihan-tagihan, kontrakan, dan juga perawatan Ayahku…”
[bersambung...]

Temanku Lana (01)
Temanku Lana (02)
Temanku Lana (03)
Temanku Lana (04)
Temanku Lana (05)
Temanku Lana (06)
Temanku Lana (07)
Temanku Lana (09 - Selesai)

>>Baca dan berlangganan karya saya lainnya disini.
>>Kunjungi juga blog saya di http://sihirkata.blogspot.com.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun