Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Rumus Cinta Layla

6 September 2012   07:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:51 408 5
Aku (Layla)

Sebut saja sore ini adalah sebagian dari ritualku. Duduk manis dihalaman rumah yang penuh dengan warna hijau, ditemani segelas teh manis dan dua novel ternama. Masih terlalu cepat untuk melahap kata demi kata dari dua buku. Tanganku masih bergerilya menekan tombol-tombol kecil di ponsel genggam. Aku lebih penasaran mencari tahu keberadaanmu, dibanding penasaran menikmati novel. Tak ku pedulikan, berapa kali kata-kata itu berteriak memanggilku untuk menikmati mereka. Ku kirim pesan singkat, berisi kegelisahanku.

To: Dear Fathir

How are u, my dear? May I know, where are u now?

Tampak layar ponsel menunjukkan pesan telah terkirim. Nafas melesat dari lubang hidungku. Kegelisahanku telah tertuang dan sepertinya semakin akan bertambah gelisah hanya karena menunggu jawaban. Kini tanganku telah berganti genggaman. Novel pertama, ku buka pada halaman 27, kini terpaku dalam diam.

Fathir

Matanya masih terbuka setengah, ia baru saja bangun dari tidur siang yang singkat. Getar ponsel membangunkan mimpinya sore ini. Tangan mencoba meraba meja disamping kasur. Tepat saat ponsel jatuh ke lantai, ia kini benar-benar bangun. Muka ditekuk seribu, tangan mengepal ujung bantal. Melihat layar ponsel, didapati itu adalah pesan dari Layla. Tak ada niat untuk membalasnya, kini kaki lelah itu bangkit menuju kamar mandi.

Air semakin membuat matanya terbuka. Ya, ini salah satu ritual Fathir dikala sore hari. Diambilnya handuk, perlahan mengeringkan tubuh dari ujung rambut hingga kaki. Mendadak ia ingat pada Layla, yang tadi telah membangunkan dirinya dari tidur lelap.

To: Layla

Iya Lay, ada apa? aku baru aja bangun tidur nih. :)

Disandarkan bahu kesegaran disofa berwarna abu-abu, tangan Fathir menekan tombol 'on' laptop miliknya. Dan kini Fathir asik bermain di dunia maya. Sore itu terlihat biasa, mata Fathir hanya sibuk mengamati setiap status yang dibuat oleh 542 akun pertemanannya. Tak ada yang spesial, tampak memuakkan. Karena, Fathir hanya mendapati banyak yang saling menyindir, saling mengeluh dan saling pamer.

Aku (Layla)

*greet..grett

Getaran ponsel menyadarkan imajinasiku, ku tutup novel, membatasi halaman terakhir yang ku baca dengan pensil berbentuk beruang. Raut wajahku tersenyum saat ku dapati pesan itu dari Fathir. Senyumku berubah menjadi kecut, karena hanya sebuah pesan balasan yang berkalimat singkat. Seharusnya ada kalimat sayang yang ku dapati. Tapi, kenyataannya hanya sebuah panggilan biasa sore ini. Bukan hanya novel yang berhasil ditutup, kini aku beranjak menutup ritual sore hari. Dan lihatlah, mentari perlahan bergerak ke barat, langit memuncratkan sinar ungu kemerahan.

Kakiku kini melangkah masuk kedalam kamar, berdiri tepat didepan lemari baju. Waktunya mempercantik diri, pergi menikmati sore yang berganti malam. Ku pilih kaos biru bertuliskan 'dream is f*ck', bercelana jeans, dan mengenakan sepatu yang telah kusam. Ya, aku siap mengarahkan motor kemana saja angin membawa kegelisahan hari ini.

Baim

Ditengah himpitan benda mati, tubuhnya tertidur pulas. Terbangun saat adzan berkumandang, tidak seperti lelaki pemalas lainnya. Ia cepat beranjak bangun, segera bergegas mandi dan mengambil air wudhu. Kini ia tengah khusyu dalam setiap gerakan, doa-doa telah terlantun dari bibir hitamnya. Kekhusyuan selepas senja telah usai.

Tepat pukul 6 sore hari, ia telah duduk menatap layar televisi bersama secangkir kopi hitam pekat. Sama seperti Layla dan Fathir, ia punya ritual menyenangkannya sendiri dikala senja. Ya, secangkir kopi ini adalah kekasih pertama dan terakhir buatnya. Berlebihan tapi itulah Baim. Tanpa kopi ia akan menjadi mati.

Remote televisi kini telah berganti ponsel digenggamannya.

To: Layla

Neng, lagi dimana? Kok sore ini gak ada beri kabar ya?

Senyum mengembang dari bibir hitamnya saat melihat pesan telah terkirim. Baim kembali menikmati layar televisi yang menyajikan berita-berita memuakkan. Jemari-jemari kasar itu mengetuk-ngetuk remote, perlahan gelisah itu membuncah. Dilihatnya lagi layar ponsel, tak ada jawaban.

Aku (Layla)

"mba, pesan satu coklat panas ya"

Persis disebuah sudut café, aku menikmati malam dengan kegelisahan. Band pengiring melantunkan music jazz. Lengkap, malam ini gelisah terselimuti kesayhduan. Aku ingat tadi ada sebuah getaran dari asal sakuku. Ku raba dan mulai melihat layar ponsel. Rupanya Baim tengah mencariku, dengan setengah semangat ku coba merangkai kata.

To: Bang Baim

Ya kang, kenapa? Maaf Neng baru ada pulsa.

Aku kembali terpaksa berbohong. Jujur aku sedang tak bersemangat untuk berbalas pesan dengan Baim. Justru sekarang aku lebih bersemangat mencari perhatian Fathir. Ada sebuah rasa yang tumbuh, terlebih saat aku tahu ia menyukai hal yang sama denganku. Ini adalah bulan kedua, aku mencari celah lampu hijau itu menyala dari Fathir. Sayangnya sekarang kuning masih menyelimuti lampu-lampu pengharapanku.

Ku teguk secangkir coklat panas yang sudah dihidangkan sedari 15 menit yang lalu. Kali ini aku sibuk dengan ponsel, bukan untuk menghubungi siapa-siapa. Aku hanya ingin melihat-lihat dunia maya. Ada adegan apa malam ini bisa ku saksikan, dari lakon-lakon didunia maya. Dunia mayaku bagai panggung teater. Semua mendadak menjadi memiliki berbagai karakter.

Alis mataku tanpa sadar naik, ketika melihat sebuah status. Ya, itu Mayang, perempuan yang ku kenal halus disetiap kata dan tingkahnya. Malam ini tampak ia menjadi perempuan tak kenal tata karma. Seperti tengah dirundung kekesalan, hingga ia lupa untuk berkata-kata. Itulah lakon dunia maya, semua bisa berubah 90 derajat bahkan 180 derajat.

Ketika hati tengah asik bergumam tentang mereka. mataku tertuju pada hal yang membuatku terpaku. Malam ini, gelisah itu runtuh. Semua berubah menjadi tetes air mata. Betapa tidak, aku menyaksikan rasa sakit dari sebuah pengakuan "Fathir berpacaran dengan Mayang".

Mayang? Bukankah tadi aku baru saja mengomentari ketidaksopanannya. Dan kini, aku harus mengomentari bahwa ia telah merebut pujaan hatiku. Dua bulan lama aku menaruh hati, dan kini harus runtuh sia-sia. Disini, ditengah keramaian aku menangis tanpa peduli.

*kriing kring

Ku tatap layar ponsel, Baim menghubungiku. Tanganku tak kuasa mengangkatnya, ku tekan tombol 'reject'.

"Maaf im,"

****

A+B, C+A, B+D,

A-B=?

Rumus cinta ini nyata.

Cerita ini fiksi.

***

Palangka Raya

Gilang Rahmawati

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun