Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Pemakaman Ulang Pahlawan Lengkong, 29 Januari 1946

29 Januari 2014   16:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:21 3032 4

Peristiwa Lengkong Berdarah yang terjadi pada Jumat, 25 Januari 1946, mengakibatkan jatuh korban yang cukup banyak di pihak Indonesia. Peristiwa berdarah ini terjadi sewaktu para Tentara Repubik Indonesia (TRI) dan Taruna Akademi Militer Tangerang (M.A.T) sedang melucuti senjata di markas pasukan Jepang, yang ada di hutan karet kawasan Lengkong Wetan, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Secara tak dinyana, aksi perlucutan senjata milik serdadu Jepang yang awalnya berlangsung damai menjadi ajang pertempuran tak seimbang. Pasukan Indonesia yang minim persenjataan dan amunisi, ditembaki secara brutal oleh serdadu Jepang yang kembali menguasai persenjataan lengkap.

 

Tiga perwira TRI yang meninggal dunia dalam pertempuran di Lengkong yakni Mayor Daan Mogot (masih menjabat Direktur M.A.T pertama), Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo dan Lettu Soetopo, keduanya Polisi Tentara Resimen IV. Selain itu, gugur pula 34 Taruna MAT. Mereka adalah Said Mohammad Alhadad, Mohammad Arsad bin Moesanip, Bacharoedin, R Brentel Soegito, Harsono Pramoegiri, Rudolf Maringka, Marsono, Martono, Matdoellah, Memed Danoemihardja, Oemar Ali bin Ali, Rafli Agoes, Mohammad Ramli Achmad, Rohadi, Saleh Bachroedin bin Haji Soehaemi, R Santoso Koesman, Sasmita, Sasmito Soenarjo, Sarjanto Sarnoe, Sjamsir Alam, Sjewket Salim, Soebandi, Soebijanto Hardjowijoto, Soegianto, Soegito, R.M. Soedjono Djojohadikoesoemo, Soekadi (meninggal beberapa saat setelah Peristiwa Lengkong di Rumah Sakit Tangerang), Soekiswo, Somantri Martaatmadja, Soerardi, Soerjani, R Soeseno, Soewirjo Tjokrowigeno, dan Zainal.

Selengkapnya mengenai Peristiwa Palagan Lengkong tersebut, silakan click pada link untuk tulisan sebelumnya, 25 Januari 1946, Gugurnya Mayor Daan Mogot di Serpong.

Meski para Pahlawan Lengkong ini gugur dan sempat dimakamkan dengan kondisi darurat di kawasan yang saat sekarang ini termasuk wilayah Kota Tangerang Selatan, tapi ternyata, kini makam para syuhada tersebut justru dapat dijumpai di Kota Tangerang. Tepatnya, pusara peristirahatan terakhir mereka berada di Taman Makam Pahlawan (TMP) Taruna, Jalan Daan Mogot No.1 Kota Tangerang, dekat kompleks Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak dan Remaja, serta tak jauh dari Masjid Raya Al A’zhom.

Adanya petilasan dua lokasi pemakaman ini, jelas menandakan bahwa, setelah para syuhada tadi gugur dalam pertempuran, mereka kemudian sempat dimakamkan di area hutan karet, dekat markas pasukan Jepang di Lengkong Wetan, Serpong, Kota Tangerang Selatan. Beberapa hari kemudian, makam mereka digali lagi, untuk dilakukan pemindahan jasad-jasad para syuhada tadi ke Kota Tangerang.

 

Pelaksanaan pemindahan makam para syuhada Peristiwa Palagan Lengkong ini, termuat dalam buku Akademi Militer Tangerang dan Peristiwa Lengkong yang disusun oleh Mayjen TNI (Purn) R.H.A. Saleh, yang merupakan salah seorang Taruna MAT juga. Dalam cetakan kedua buku ini yang diterbitkan pada Desember 2009 oleh Yayasan Pustaka Nusatama bekerjasama dengan Sebelas Maret University Press, dijelaskan bahwa, pemakaman kembali jasad para syuhada di TMP Taruna, Kota Tangerang, dilakukan empat hari sesudah pecah Peristiwa Lengkong, yakni 29 Januari 1946.

* * *

Beginilah kronologis Peristiwa Lengkong hingga pelaksanaan pemakaman ulang para syuhada tersebut:

Jumat, 25 Januari 1946

Pecah Peristiwa Lengkong yang menewaskan tiga perwira TRI dan 34 Taruna M.A.T di kamp pasukan Jepang di area hutan karet, Kelurahan Lengkong Wetan, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan. Meski ada Taruna M.A.T yang dapat mundur dan menyelamatkan diri dengan kembali ke Markas Resimen IV di Tangerang, tapi banyak juga pasukan Indonesia ini yang kemudian ditawan di markas pasukan Jepang, termasuk mereka yang mengalami luka-luka.

Menurut R.H.A. Saleh yang pernah menjabat sebagai Komandan Distrik Militer pada 1965, yang dinamakan Peristiwa Lengkong adalah merupakan satu-satunya peristiwa perebutan senjata Jepang dalam sejarah perjuangan bangsa, yang melibatkan sejumlah besar Taruna dari sebuah Akademi Militer ketika itu. Dan inilah yang merupakan peristiwa perebutan senjata Jepang yang tidak berhasil dan berakhir dengan tragis. Seluruh misi gagal, disebabkan oleh adanya beberapa faktor yang tidak terperhitungkan sebelumnya, sampai-sampai Indonesia kehilangan 37 jiwa anggota TRI. Kita banyak kehilangan tapi kita tidak sampai kehilangan semuanya. Kita tidak sampai kehilangan tekad dan semangat untuk tetap dan terus berjuang mempertahankan tanah air tercinta. Untuk perjuangan yang luhur, wajar ada pengorbanan.

 

Sabtu, 26 Januari 1946

Esok hari setelah Peristiwa Lengkong, atau Sabtu, 26 Januari 1946, para tawanan yang masih kuat dipisahkan dari yang luka dan dipindahkan ke suatu gudang kosong yang letaknya tak jauh di bagian bawah kompleks kamp Jepang itu. Mereka sudah tidak diikat lagi. Sejak itu, mereka tinggal di tempat tersebut, suatu tempat yang dirasakan lembab. Pada sore harinya, para tawanan ini diberikan sekop untuk menggali kuburan. Segera terbayang oleh para tawanan ini bahwa, mereka sekarang akan dibunuh dan disuruh membuat lubang kuburannya sendiri. Dengan dikawal, mereka kemudian mulai digiring ke tempat bekas pertempuran kemarin. Ternyata mereka hanya disuruh mengubur kawan-kawannya yang mati.

Mayat-mayat yang ditemukan di lokasi-lokasi yang terpencar, masih sempat dapat diidentifikasikan. Pada sore itulah di bawah gerimis, lubang-lubang digali dan mayat-mayat dimasukkan ke dalamnya. Ada mayat-mayat yang sebelum ditimbun dengan tanah sempat dishalatkan dulu. Semua diliputi keterharuan yang sangat mendalam.

Minggu, 27 Januari 1946

Pada hari ini, diadakan pertemuan antara pihak TRI dengan pihak Jepang. Mereka berjumpa di suatu tempat di luar kamp dan pembicaraan dilakukan di jalanan sembari berdiri. Dari pihak Indonesia hadir Mayor M.T. Harjono, Mayor Oetarjo, Letnan Wirogo (adik dari Mayor Wibowo yang ditawan), dan Pembantu Letnan Djoko Winarto, semua dari Kantor Penghubung Tentara. Sedangkan dari Resimen IV hadir Mayor Daan Jahja, Kapten Taswin dan beberapa perwira lainnya. Sedangkan dari pihak Jepang hadir Letkol Miyamoto Shizuo dan Kapten Abe. Pertemuan diadakan dalam suasana yang cukup serius, masing-masing pihak mengemukakan argumentasinya, untuk membenarkan tindakannya sendiri.

 

Akhirnya dicapai kesepakatan: Pertama, semua anggota TRI yang ditawan maupun yang gugur dan sudah dikubur akan dikembalikan kepada pihak Indonesia. Kedua, semua senjata kepunyaan TRI akan dikembalikan juga. Ketiga, hanya beberapa orang diantara anggota TRI yang ditawan masih perlu dikirim ke Bogor untuk diperiksa dan didengar keterangannya oleh Staf Brigade Inggris di sana, sebelum mereka dapat dibebaskan.

Kenapa ke Bogor, dan kenapa pula oleh Inggris? Menurut R.H.A. Saleh, pasukan Jepang yang ada di Lengkong ini masuk dalam pengawasan dna pengendalian Brigade Inggris yang ada di Bogor, walaupun kamp Jepang di Lengkong sebenarnya berada di dalam daerah kekuasaan Republik Indonesia.

Senin, 28 Januari 1946

Implementasi hasil perundingan dengan Letkol Miyamoto dan Kapten Abe di Lengkong, dimulai pada Senin, 28 Januari 1946. Untuk dapat mengetahui lebih dahulu jumlah yang tepat dari semua Taruna MAT yang ditawan, yang luka maupun yang sudah mati dan dikubur, pada pagi hari, Kapten Jopie Bolang bersama Lettu Arie Soepit dari Polisi Tentara dengan mengendarai sebuah sepeda motor pergi ke Lengkong untuk mengadakan peninjauan kamp pasukan Jepang. Namun mereka tidak diizinkan masuk ke dalam kamp dan hanya diterima di pintu gerbang saja. Penerimaan oleh Jepang adalah baik dan mereka mendapat informasi seperlunya. Setelah itu mereka kembali ke Tangerang untuk selanjutnya mempersiapkan tim yang akan diberangkatkan ke Lengkong pada siang harinya.

Pada hari yang sama, Jenderal Mayor Didi Kartasasmita, Panglima Komandemen I Jawa Barat, yang membawahi semua satuan TRI di Jawa Barat dan bertanggung-jawab atas Komando Pertahanan wilayah Jawa Barat serta berkedudukan di Purwakarta, dengan melalui Jakarta dan Tangerang, langsung datang ke kamp militer Jepang di Lengkong, tanpa mampir dulu di Markas Resimen IV di Tangerang. Di Lengkong, ia diterima dengan baik oleh Kapten Abe. Di markas pasukan Jepang, ia diberi kesempatan untuk bertemu dan berbicara langsung dengan para Taruna yang ditawan. Ia pun sempat menengok para Taruna yang luka-luka.

 

Menjelang sore hari, datang juga tim pengambil mayat di kamp Jepang di Lengkong. Mereka terdiri dari para Taruna yang tidak turut serta dalam Operasi Lengkong, diantaranya terdapat para Taruna yang baru kembali tanggal 25 Januari dari Bandung mengantarkan perbekalan untuk APWI (Allied Prisoners of War and Internees). Mereka datang dengan beberapa truk dan membawa alat-alat penggali, seperti sekop dan cangkul. Mereka disebar dan dituntun menuju kuburan-kuburan yang terpencar di dalam kebun karet. Dibawah pengawasan serdadu-serdadu Jepang yang bersenjata dan dalam sikap siap tembak, dilakukan penggalian-penggalian kembali.

Di atas tiap kuburan ada semavam nisan sederhana dibuat dari sepotong papan kecil, dimana tertulis nama-nama dari yang dikubur itu. Pada umumnya lubang-lubang kuburan meuat lebih dari satu mayat. Kuburan-kuburan yang terpencar itu tidak digali dalam-dalam, sehingga baru beberapa kali menyendok tanah dengan sekop sudah tampak tubuh mayat.

Penggalian kembali yang dimulai sore hari, selesai ketika hari sudah akan gelap. Mayat-mayat diangkat dengan beberapa truk dan malam itu juga tiba di Tangerang untuk disemayamkan semalam di sebuah rumah dalam kompleks perumahan para perwira Resimen IV.

Selasa, 29 Januari 1946

Mayat-mayat yang disemayamkan semalam di kompleks perumahan perwira Resimen IV di Tangerang, pada esok harinya dimakamkan di sebuah tanah kosong yang terletak di sebelah Markas Resimen IV. Pemakaman ini dilakukan dengan suatu upacara sederhana tapi khidmat., yang dihadiri oleh sejumlah pejabat dari keluarga korban yang berdatangan dari luar kota Tangerang. Diantaranya, hadir Perdana Menteri RI Soetan Sjahrir, Haji Agoes Salim (ayahanda dari Taruna Sjewket Salim), dan R Margono Djojohadikoesoemo (pendiri BNI 1946 yang merupakan ayahanda dari Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo, dan Taruna R.M. Soedjono Djojohadikoesoemo. Kedua kakak-beradik yang gugur ini, tak lain adalah paman dari mantan Danjen Kopassus Prabowo Soebianto dan pengusaha Hashim Djojohadikoesoemo).

* * *

 

Suasana hening menyelimuti TMP Taruna, tempat para syuhada Peristiwa Palagan Lengkong dikebumikan. Makam dan nisan yang seluruhnya di-cat berwarna putih, dilengkapi pula dengan topi baja berwarna silver metallic yang diletakkan tepat di bawah nisan makam. Di sekeliling makam-makam yang berbaris sejajar rapi, terdapat sejumlah pohon kamboja yang banyak menggugurkan bunga putih kekuningan hingga berserakan ke sekeliling makam.

Makam Mayor Daan Mogot berada pada barisan pertama, nomor tiga dari sisi sebelah kanan. Makamnya, ‘dipayungi’ pohon Kamboja, dan dekat dengan monumen yang dilengkapi patung lambang Akademi Militer Tangerang tepat di atasnya.

Selain memuat nama para syuhada yang gugur dalam Peristiwa Lengkong, pada tugu monumen terdapat pula sajak yang penuh penghayatan akan sebuah perjuangan dan pengorbanan. Begini sajak yang terpahat pada monumen tersebut:

Kami bukan pembangun candi / Kami hanya pengangkut batu / Kamilah angkatan yang mesti musnah / Agar menjelma angkatan baru / Di atas pusara kami lebih sempurna //

 

Terdapat pula penjelasan terkait ditemukannya tulisan sajak tersebut di saku salah seorang perwira yang gugur, yakni Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo:

Tulisan ini cermin ketulusan dalam masa perjuangan. Ditemukan di saku salah seorang perwira saat gugur, bersama adik-adiknya siswa Akademi Militer Tangerang. Dalam tugas misi damai menerima penyerahan senjata dari tentara Jepang di Lengkong. Dimana tanpa diduga tugas damai tersebut berubah menjadi pertempuran yang tidak seimbang, sehingga membawa banyak korban.

Sebenarnya, sajak yang patut untuk direnungkan maknanya itu adalah merupakan terjemahan dari sajak ciptaan Henriette Goverdine Anna Roland Holst-van der Schalk, seorang penyair dari Belanda (1869-1952). Lengkapnya, sajak asli tersebut adalah:

Wij zijn de bouwers van de tempel niet / Wij zijn enkel de sjouwers van de stenen / Wij zijn het geslacht dat moest vergaan / Opdat een betere oprijze uit onze graven

Pada tahun 1946, oleh tokoh pers nasional yang juga budayawan Rosihan Anwar (1922-2011), sajak Henriette Roland Holst diterjemahkan seperti yang kemudian ditemukan di saku Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo, yang memang sangat menyukai sajak tersebut. Kini, lima baris terjemahan sajak itu terukir di tugu monumen TMP Taruna di Kota Tangerang.

 

Sewaktu berkunjung ke TMP Taruna pada Rabu, 15 Januari 2014 kemarin, penulis juga menyaksikan terdapat dua tembok diorama berwarna hitam, menghadap ke barisan makam, yang menceritakan tentang suasana pendidikan para Taruna di Akademi Militer, dan Peristiwa Lengkong.

Pada tembok diorama Akademi Militer, terdapat penggambaran para Taruna yang tengah berlatih baris-berbaris dengan memanggul senjata laras panjang, selain ada pula sejumlah Taruna lainnya yang sedang dalam kondisi “bersiap” dan menyimak penuturan instrukturnya, serta ada pula ilustrasi para Taruna yang sedang berlatih menembak sasaran dengan didampingi para instruktur terlatihnya.

Sedangkan pada tembok diorama Peristiwa Lengkong, telihat sekali betapa penggambarannya lebih menitikberatkan pada peristiwa pertempuran yang tak seimbang, antara serdadu-serdadu Jepang yang memiliki persenjataan dan amunisi lengkap, melawan pasukan Indonesia yang minim persenjataan, di area markas pasukan Jepang yakni di hutan karet kawasan Lengkong, Serpong.

 

Secara keseluruhan, terdapat 48 makam yang ada di TMP Taruna, Kota Tangerang ini. Selain makam ke-37 para syuhada yang gugur di hutan karet, Lengkong, ada pula 8 makam lain yang lengkap dengan identitas namanya, serta 3 makam ‘Pahlawan Tak Dikenal’ yang juga gugur pada Peristiwa Lengkong Berdarah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun