Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Lembaga Rating Alternatif Bentukan KPI Siap Menentang AC Nielsen

22 Juni 2017   14:25 Diperbarui: 22 Juni 2017   14:32 2673 1
Pendahuluan

Barangkali publik masih belum lupa betapa tragisnya kematian si Boy dari sinetron Anak Jalanan yang mati tiba-tiba karena kecelakaan. Beberapa fans si Boy di dunia nyata merasa bahwa episode tersebut sangat buruk, tidak masuk akal dan menyakitkan. Bahkan ada sebuah video yang cukup viral pasca "kematian" si Boy ini, yang menunjukkan tangisan dalam dari seorang ibu dan anaknya yang sedang menonton episode kematian si Boy.

Menanggapi hal tersebut, beberapa pihak yang anti sinetron sudah jelas menyindir atau bahkan terang-terangan mencaci, sementara yang pro tentu tidak terima jika seleranya dihina. Menangisi kematian seorang tokoh sinetron, bagi sebagian orang, adalah berlebihan. Bahkan beberapa pihak cenderung menyalahkan sinetron dan beropini bahwa sinetron adalah pembodohan.

Apa yang saya sampaikan di atas adalah cerminan televisi Indonesia. Meski pihak yang anti sinetron dan acara "pembodohan" lainnya, kenyataannya, AC Nielsen tidak berpendapat demikian. Acara-acara yang banyak digemari dan dianggap memiliki rating yang tinggi adalah acara-acara tersebut. Maka tidak heran jika sampai saat ini, sinetron baru masih tetap bermunculan, menampilkan selebriti muda yang masih harum dan cantik-cantik dengan sutradara yang menakdirkan adegan-adegan klise. Lantas bagaimana dengan sinetron lama? Masih ada, dengan episode yang mencapai ratusan atau ribuan dan penggemar yang mencapai jutaan. Kalau tamat? Tinggal melakukan duplikasi konten agar tayangan baru dapat mengikuti jejak kesuksesan tayangan lama, dan tentunya pertelevisian tidak akan pernah mengalami regenerasi jika hal ini terus berlanjut.

Sebenarnya, bukan berarti tidak ada pihak yang mempertanyakan tentang kredibilitas AC Nielsen. Saat masih menjabat sebagai Menteri Informasi, Tifatul Sembiring pernah melakukan upaya untuk menggeser posisi AC Nielsen, lembaga rating asal Amerika Serikat, di Indonesia. Secara lebih tegas, beliau bahkan menjustifikasi bahwa AC Nielsen mengabaikan aspekedukasi dalam acara televisi, sebaliknya justru mengedepankan rating yang tinggi.

Pada tahun 2015 lalu, Presiden Joko Widodo juga memberikan kritiknya terhadap acara televisi di Indonesia. Presiden  Joko Widodo melihat acara televisi tidak lebih dari bisnis, dan memberikan implikasi yang negatif kepada publik. Tayangan-tayangan yang dianggap buruk tersebut ternyata bukan main-main, mulai dari tayangan yang menampilkan unsur-unsur seksisme, kecengengan, pola budaya konsumtif di mana yang ditampilkan di televisi adalah barang-barang mewah hingga hal-hal yang tidak rasional seperti mempercayai takhayul.

Yang menjadi masalah adalah, tayangan-tayangan tersebut, dianggap baik karena memiliki rating yang tinggi oleh AC Nielsen. Bukankah tayangan yang buruk mencerminkan kualitas audiensnya juga? Jika Tifatul Sembiring dan Joko Widodo sampai angkat bicara, mungkin ada yang perlu benar-benar diselidiki tentang rating pertelevisian di Indonesia. Lantas seperti apakah AC Nielsen itu, yang merupakan lembaga pemeringkatan acara televisi satu-satunya di Indonesia?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun