Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Kekerasan Seksual terhadap Anak

26 Februari 2020   14:18 Diperbarui: 26 Februari 2020   14:17 166 1
NASIB anak perempuan berada di ujung tanduk sebagai korban kekerasan seksual. Orang tua menjadi pelaku di balik perilaku zalim itu. Para penegak hukum tak mesti tutup mata melihat generasi Indonesia berkali-kali menjadi korban pelecehan seksual.

Situasi mencekam ini kembali panas di surat kabar. Setelah terkuak seorang lelaki dikabarkan memperkosa anak perempuannya. Kejadian memalukan ini terjadi berkali-kali, semenjak si korban masih berusia belasan tahun.

Bagaimana perasaannya ketika ingin menggauli anaknya sendiri? Apakah sewaktu ingin menggauli anaknya, ia tak punya rasa ataupun moral lagi? Miris--sungguh miris sekali. Ayah yang seharusnya menjadi panutan, menjaga dan menguatkan anak. Malah sebaliknya, ayah yang menghancurkan kehidupan anaknya sendiri.

Kasus seperti ini sudah banyak terjadi di beberapa daerah dan sering muncul di layar televisi, dengan berbagai motif yang tidak masuk akal. Seharusnya kasus seperti ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah. Dan memberikan hukuman seberat-beratnya kepada tersangka agar mereka menjadi takut dan menggunakan akal sehat untuk bertindak tidak senonoh.

Dalam hal ini anak menjadi trauma hingga ia merasa malu pada dirinya sendiri, dan tidak menceritakan hal keji ini kepada siapapun karena takut dikucilkan dan disalahkan oleh masyarakat. Bukankah kita sebagai umat yang beragama harus saling menolong bukan mencemoh. Salah satu faktor mendorong tingkat intensitas kasus kekerasan seksual adalah kurangnya kesadaran publik akan masalah ini. Masyarakat cenderung permisif terhadap kasus kekerasan seksual dan selalu menyalahkan perempuan.

Sangat disayangkan setiap kejadian seperti ini sang ibu tidak pernah mengetahui apa yang terjadi dengan anaknya, seharusnya ibu menjadi orang yang lebih peka terhadap perubahan sang anak, dalam hal ini ibu harus menjadi sahabat atau teman curhat untuk anaknya agar anak dapat leluasa terbuka dengan sang Ibu. Dan ibu harus menjadi intel untuk anak-anaknya, agar tidak lagi terjadi kejadian seperti ini.

Hukum harus ditegakkan yang seadil-adilnya, apalagi tentang anak perempuan. Dalam kasus ini tersangka terjerat pasal berlapis atas tindakannya, yakni pasal Pasal 81 ayat (1) juncto Pasal 76D UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Apakah dengan hukuman ini cukup untuk membayar rasa trauma terhadap anak?

Saya rasa tidak, karena anak akan memiliki kecemasan, depresi dan gangguan stres pasca-trauma hingga mereka dewasa nanti. Petugas seharusnya lebih jeli lagi mengatasi masalah seperti ini. Dan memberikan hukuman lebih berat lagi kepada para pelaku, agar tidak ada korban-korban berikutnya. Karena ini menyangkut masa depan anak. Namun upaya negara dalam melindungi korban kekerasan seksual masih mengalami ujian.

Maraknya kekerasan seksual terhadap anak dapat dilihat dari meningkatnya permohonan perlindungan yang masuk ke LPSK. Pada 2016, jumlah korban yang mengajukan permohonan sebanyak 35 orang, pada 2017 adanya peningkatan menjadi 70 orang, dan terus menjadi naik 149 orang pada 2018, pada 2019 hingga bulan juni terdapat 231 korban (majalah Tempo edisi 22 Januari 2020).

Sebenarnya, kejadian seperti ini bisa dicegah jika negara kita memiliki pondasi hukum yang kuat untuk melindungi korban kekerasan seksual secara menyuluruh. Mari kita menyadari bahwa penderitaan anak akibat kekerasan seksual membutuhkan waktu yang lama untuk penyembuhan dan akan meninggalkan luka yang sulit terhapus.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun