“Daripada di rumah atine sedih. Mending tak jualan aja, bu guru.”
Kalimat itu, seketika meredupkan senyumku sejenak. “Kenapa mbah ?” tanyaku. Kutatap tepat di bola matanya yang biasa berbinar ceria. Namun, pertanyaan itu membuat matanya berkaca-kaca.
“Mbak saya meninggal bu guru.” Ucapnya lagi. Sambil memalingkan muka menyembunyikan sedihnya. “Memang sakit. Saya mau nengok nanti Oktober. Tapi dah meninggal.” Lanjutnya. “Makanya, saya tadi makasih, bu guru bawain dagangan saya. Kok tau kalau hati saya lagi susah.” Tambahnya.
Pantas. Biasanya ia selalu tersenyum. Sedangkan sejak pagi itu, wajahnya datar saja. Pantas. Biasanya langkahnya cepat. Hati itu gontai.
Ah. Maaf mbah, aku tidak membaca sedihmu.