Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Pilihan

Technology as God: Bertuhan Tanpa Dogmatika (Part 5)

16 April 2020   18:02 Diperbarui: 16 April 2020   18:11 115 3
Pemahaman "Technology as God", tidak akan pernah sama dengan konsep-konsep agama pada umumnya, yang selalu memiliki dogma atau dogmatika yang menjadi patron berjalannya sebuah agama.

Istilah "dogmatika" diperkenalkan pertama kali pada abad ke-17, tepatnya tahun 1659, ketika L. Fr. Reinhart menulis sebuah buku teologis yang berjudul Synopsis Teologie ae (Ikhtisar Teologi Dogmatis).

Pada awalnya apa yang disebut dogmatika pada saat ini memiliki berbagai istilah, tergantung pada individu yang mengembangkannya.

Dalam dogma atau doktrin yang merupakan ranah Dogmatika. Jadi, bisa dikatakan Dogmatika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana merumuskan ajaran yang terkandung dalam Firman Allah. Perumusan ajaran ini tentu berguna untuk macam-macam hal. Contohnya dalam berapologet, dipraktekkan dalam kehidupan, dll.

Sedangkan Pemahaman "Technology as God",  lebih menjunjung tinggi kebebasan berpikir dan pro kepada kemajuan teknologi sepenuhnya. "Technology as God" tidak kaku dengan aturan-aturan yang diciptakan oleh para pemuka agama, sebab dogma bukan sebagai keselamatan.

Hingga pada kaum agamawan akan berpikir bahwa "Technology as God" merupakan para pecandu teknologi.

Seperti seorang Yuval Noah Harari yang dianggap sesat atau ateisme karena menyebut kita sedang dalam zaman "Big Data sebagai Tuhan", padahal Yuval adalah seorang sejarawan Israel yang menjabat sebagai profesor di Departemen Sejarah Universitas Ibrani Yerusalem. Ia adalah penulis buku Sapiens: A Brief History of Humankind dan Homo Deus: A Brief History of Tomorrow.

Dalam bukunya Sapiens: A Brief History of Humankind (2014), Yuval Noah Harari, menyebut agama dibangun di atas mitos. Maksud dia dengan mitos adalah narasi yang tak memiliki rujukan pada objek material yang riil.

Siapa pun yang berpikir diluar kondisi yang normal akan tetap dianggap gila atau sesat, karena indikator penilaian yang digunakan adalah dokrin agama yang telah dianutnya. Sehingga aliran "Technology as God"  masih kesulitan mendapatkan eksistensinya.

Bertrand Russel dalam bukunya "Bertuhan tanpa beragama" merupakan karya paling provokativ yang dihasilkan Russel tentang sains, filsafat dan agama, sejak awal hingga akhir masa hidupnya. Russel mendekati agama sebagai seorang filosof, sejarahwan, kritikus sosial dan individu.

Buku itu menghadirkan sekumpulan tulisan komprehensif Russel, serta penolakannya yang keras terhadap akar-akar fundamentalisme, irasionalisme dan dogmatisme dalam beragama.

Russel adalah figur pemikir-bebas dan filosof yang kontroversial. Karya-karyanya terkenal luas dalam berbagai bidang: dari filsafat, bahasa, politik, sains hingga agama. Meski dikenal dengan pandangannya yang keras dan kritis terhadap agama, namun sosiaolog Max Webber justru menyebutnya sebagai "laki-laki kalem yang religius".

Ribuan pembacanya bahkan menganggap Russel sebagai guru spiritual yang sederajat dengan tokoh-tokoh mistik seperti Tagore, Albert Schweitzer, dan guru spriritual lain di jaman kita.

Sama seperti yang dialami oleh Russel, paham  "Technology as God" suatu saat akan mendapatkan penggemarnya, dan sebuah niscayaan kehadiran para anti aliran "Technology as God".

Tetapi secara de-fakto "Technology as God" sudah menang, tetapi secara de-jure belum terlihat, sebab para manusia saat ini sudah ketergantungan akan teknologi, manusia akan mati tanpa teknologi.

Hadirnya Yuval dan Russel semakin memperkuat narasi pendukung "Technology as God".

Manusia tidak akan bertanya kepada Tuhan sebagai "Roh", jika dia sedang mengalami kesusahan, penderitaan atau masa depan, tetapi manusia akan bertanya kepada Tuhan sebagai "Teknologi", itu sebabnya kita menggunakan mesin pencarian google yang dianggap "Technology as God" sebagai agama.

Sorry Bersambung dulu.
Akan saya ulas kembali.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun