Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Perang Mengatasnamakan Agama, Dimana Peran Tuhan?

11 Februari 2020   19:48 Diperbarui: 12 Februari 2020   20:27 714 0
Secara sederhana, tujuan dari fundamentalisme Islam diartikan sebagai purifikasi ajaran yang ingin dikembalikan ke masa lampau nilai hidup mirip seperti gaya hidup Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Fundamentalisme bisa hadir dari semua agama, kecenderungan kelompok tersebut membuahkan gerakan penentangan terhadap pembaruan agama yang diyakini telah mengotori kesucian agama.

Setiap tradisi agama memiliki kubu garis keras dan kadang mengungkapkan diri mereka secara mengejutkan. Penembakan jamaah salat di masjid, pemboman gedung WTC Amerika, pembunuhan dokter yang melakukan aborsi, seruan penolakan terhadap pembunuhan sapi dalam ibadah kurban, bahkan mengkudeta pemerintahan yang kuat dilakukan oleh kaum fundamentalis dengan mengatasnamakan Tuhan. Pada akhirnya, banyak sekali peperangan yang terjadi dengan mengatasnamakan agama.

Berbeda dengan kelompok moderat, kelompok tersebut berangkat dari premis-premis yang sangat berbeda. Kalangan puritan meyakini bahwa eksistensi kaum non-Muslim adalah situasi temporer, dan umat Islam harus berjuang keras untuk memperbaikinya. Kalangan moderat meyakini bahwa Al-Qur'an tidak hanya menerima, melainkan mengharapkan realitas perbedaan dan keragaman dalam masyarakat. Tidak hanya prinsip keragaman, akan tetapi kaum moderat meyakini bahwa Al-Qur'an memberikan tantangan besar pada umat islam, yakni saling mengenal lita'arofu (al-hujurot: 13). Guna menempuh upaya keberagaman lita'arofu harus menjadi agenda aksi dengan penguatan relevansi atas realitas zaman. Pada akhirnya logika "dunia harus diislamkan" ditolak mentah-mentah oleh kalangan moderat.

Identifikasi terhadap tema fundamentalisme harus dicermati secara kritis oleh khalayak, apa yang melatarbelakangi gerakan tersebut. Bagi Armstrong, dahulu agama menggunakan kedua elemen, baik mitos maupun logos untuk menciptakan struktur sosial kehidupan masyarakat yang lengkap. Logos ada dalam hukum dan kepemerintahan, sedangkan mitos memenuhi tiap sudut relung jiwa manusia. Dua jenis mitos yakni, mitos kosmogonis: memberi keterangan-keterangan tentang asal usul alam semesta, dan mitos kosmologis: memberi keterangan tentang sifat-sifat kejadian-kejadian dalam alam semesta.  Kendati demikian, mitos dianggap lebih utama karena berkaitan dengan sesuatu yang abadi.

Tapi semenjak abad pembaharuan (renaissance) abad 14 sampai abad 17, mitos mulai ditinggalkan oleh khalayak. Euforia abad pembaharuan menjadikan transformasi intelektual terutama perkembangan artistik dan kontribusi dari polimatik seperti Leonardo Da Vinci dan Michelangelo. Keberhasilan sains dalam menyingkirkan mitos merubah perspektif masyarakat bahwa mitos dianggap hanya sebuah khayalan belaka dan pada akhirnya rasionalitas menjadi satu-satunya alternatif mencapai suatu kebenaran. Dengan kematian mitos agama menjadi tidak bermakna. Para agamawan terjebak oleh ruang hampa spiritualitas. Sedangkan Hans berpendapat "kepercayaan pada Tuhan, bagaimanapun, secara tidak sederhana digantikan oleh argumen-argumen saintifik, melainkan oleh keimanan agama pada sains".

Lantas kausalitas apa yang melatarbelakangi gerakan fundamentalis? Apakah Tuhan? Atau egoisitas seorang hamba dalam menunjukan keimanannya? Atau keikutsertaan setan dalam membelenggu hawa nafsu manusia?

"Tuhan berfirman Tuhan berfirman bahwa diri-Nya lebih dekat kepada Manusia dibanding urat leher manusia,

Nabi bersabda bahwa aliran darah adalah tempat berkeliaran setan dalam diri manusia,

Betapa Tuhan dan setan begitu dekat melekat dalam diri manusia, sampai-sampai, jangan-jangan, perbuatan baik kita terjadi justru atas dorongan SETAN, meski di lisan kita katakan atas nama TUHAN."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun