Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Hilang

11 Desember 2020   15:46 Diperbarui: 11 Desember 2020   15:56 301 24
Kringg..

Kringg..

Suara belum sekolah yang menandakan telah berakhirnya pelajaran di hari itu, membuat banyak para pelajar segera mengemas barang-barangnya dan bersiap untuk pulang. Ya, pulang ke rumah.

Namun, hal itu berbeda dengan Adinda. Kejadian beberapa minggu lalu yang berhasil merenggut nyawa satu-satunya orang yang ia jadikan alasan hidup di dunia.

Saat mendengar bel berdentang, bukan langsung mengemasi barang-barang yang ia lakukan. Melainkan menyembunyikan kepalanya pada lipatan tangan yang ia buat.

Setelah keadaan kelas yang semula gaduh karena berebut keluar menjadi hening, barulah jemari Adinda yang lentik itu mulai memasukkan buku dan alat tulisnya kedalam tas gendongnya lalu keluar dari kelas.

Keadaan sekolah yang sudah sepi seakan mempertegas bahwa dia hanya seorang diri di bumi.

Langkahnya yang terasa semakin lemah dan seakan tak memiliki sebuah arah. Hingga saat ia mendongak, terlihat sebuah gapura yang bertuliskan pemakaman umum di sana.

Dengan langkah pelan, Adira mulai memasuki makam itu. Berjalan lumayan jauh dari gapura, tempat pintu masuk pemakaman ini.

Langkah kakinya berhenti ketika nisan bertuliskan 'Adera Maharani' berada tepat dihadapannya.

Tatapan mata yang sebelumnya kosong dan seperti tak tersentuh barang sedetik pun itu, perlahan mulai memburam. Adinda mulai berjalan ke samping makam Adera. Dengan memposisikan diri berjongkok disamping gundukan tanah itu, Adinda bergumam lirih, "kenapa tinggalin aku sendiri sih Ra."

"Kata kamu, kita bakalan bareng terus sampai sukses. Kata kamu, kamu nggak akan ninggalin aku. Kata kamu--"

Semua kata yang hendak ia lontarkan, seakan tercekat ditenggorokan.

Perasaan berkecamuk itu masih ada. Perasaan kehilangan itu masih terasa.
Bahkan, kehadirannya yang tlah pergi terlihat seperti halusinasi semata.

Tiba-tiba kilasan masa lalunya seakan berputar bagai kaset rusak, lagi. Tentang kenangannya dengan Adera. Semuanya, tanpa satu hal pun yang terlewat.

Perihal senyumannya, tatapan teduhnya, caranya melindungi dan membela Adinda. Semuanya seakan berputar. Bahkan hingga kejadian kelam beberapa minggu lalu tak luput dari ingatannya.

***

"Lo apa-apaan sih!"

Bentakan itu terdengar setelah kedua tangan yang entah milik siapa menyentuh bahunya yang sudah bergetar menahan tangis yang hendak pecah dan berusaha menuntun tubuh Adinda yang sudah basah kuyup itu agar berdiri tegap.

"Gak usah sok jagoan ya, lo gak tau masalahnya apa!" teriak Jessi, teman kelas Adinda yang menyiram Adira dengan jus jambunya.

Suasana kantin yang memang sudah ramai, semakin bertambah gaduh ketika sahutan sorak-sorai digaungkan.

Akan tetapi, seseorang yang sedari tadi memegang bahunya itu tak lagi bersuara. Justru membimbingnya untuk pergi ke loker siswi.

Pandangan Adinda terus menunduk, tak berani menatap seseorang yang sudah menyelamatkan dirinya itu. Hingga sebuah seragam terulur dihadapannya, barulah ia mendongak. Menatap iris hitam legam siswi dengan rambut yang diikat kuda itu.

"Pakai ini."

Hanya hening yang terjadi. Bahkan kulit Adinda hanya terkatup rapat dan tak mengeluarkan suara sedikitpun.

Yang ada dipikiran Adinda hanya satu hal, 'Gadis yang terkenal dengan sifat dingin dan acuh, barusan menolong dirinya?'

"Oh iya, gue lupa. Adera." Senyuman kecil diwajah seseorang dihadapan Adinda itu semakin membuat Adinda terhenyak.

Tangan yang tadi sempat menopang bahunya itu, mengulurkan tangan Adira dengan paksa sehingga seragam yang tadi ia pegang, berganti ke tangan Adinda.

"Gak--" sanggahan Adinda yang belum selesai, dengan cepat dipotong seseorang dihadapannya itu.

"Gak usah sungkan. Anggap aja itu tanda pertemanan kita." Senyuman kecil itu terlihat lagi, bahkan mungkin terlihat lebih lebar.

***

"Kamu inget itu Ra?" Suara serak Adinda membuat hati teriris bila mendengarnya.

"Kala itu, aku nggak tau harus berterimakasih seperti apa. Kamu Ra. Kamu teman pertama yang aku punya." Cairan bening yang berada di pelupuk mata Adinda itu, lagi dan lagi merembes keluar membasahi pipinya yang semakin tirus itu.

"Kamu selalu ada disaat aku butuh kamu Ra. Bahkan ketika aku dengan tidak tau dirinya melarang kamu datang ke rumah Nindi dulu, kamu tetap menuruti keinginanku Ra."

Hembusan angin yang menerbangkan anak rambut Adinda, tak membuatnya menjadi sedikit lebih tenang. Nafasnya juga mulai tersendat karena tangis yang semakin tak dapat ia tahan.

"Tapi.. dengan tak tau dirinya aku justru menghilang saat kamu sedang butuh aku disamping kamu," lanjut Adinda.

Dadanya seakan dihimpit oleh batu yang begitu besar ketika rekaman mengenai kejadian itu terulang.

***

"Din, nanti malam ada acara?"

Ucapan itu menghentikan langkah kaki Adinda dan Adera yang hendak berjalan menuju parkiran sekolah.

"Kenapa Wan?" tanya Adinda dengan menaikkan sebelah alisnya sembari menatap Arwan yang berada didepannya.

"Aku mau ngajak kamu makan malam," lirih Arwan yang masih dapat didengar Adira.

Tatapan Adira beralih pada Adera yang berada disebelah kanannya yang terlihat seakan meminta persetujuan. Gelengan kepala Adera menegaskan bila Adinda tidak boleh pergi.

"Sebentar saja ya?" pinta Adinda dengan tatapan yang dibuat semelas mungkin.

Namun, lagi dan lagi hanya gelengan kepala yang Adinda dapatkan dari Adera.

Pandangan Adinda secara reflek menatap Adera dan Arwan secara bergantian. Bingung hendak memilih siapa.

Setelah menghela nafas berkali-kali, sebuah keputusan hinggap di dalam kepalanya.

"Nanti aku hubungi ya kalau bisa," putus Adinda sepihak dengan menatap wajah Arwan, tanpa melirik ekspresi Adera sedikit pun.

Senyuman yang terbit dari wajah Arwan menandakan persetujuan dari keputusan Adinda.

"Kenapa kamu bilang seperti itu Din?" interogasi Adera saat bayangan Arwan sudah tak terlihat lagi.

"Aku pengen keluar sama dia Ra." Adinda hanya bisa menundukkan kepalanya. Tak berani menatap mata Adera yang berada didepannya itu.

"Tapi.. Kamu janji sama aku kalau nanti mau nemenin aku ke suatu tempat itu."

Kepala yang tertunduk itu,tiba-tiba mendongak. Tatapan mata Adinda menajam. Hingga tanpa sadar bibir sebelah kanannya terangkat seraya berkata, "tapi aku juga bisa buat ngebatalin janji itu kan."

"Kamu--"

"Kenapa?!" sela Adinda saat satu kata keluar dari bibir Adera.

"Kamu, berbeda Din."

***

"Kamu tau Ra? Tatapan mata kecewamu saat itu selalu teringat."

Tangis yang Adinda yang semula sedikit mereda, kembali tumpah ruah. Sesak kembali mendera dadanya hingga berujung pada pening di kepala Adinda.

Hembusan angin yang mulanya terlihat perlahan, kini pun ikut berubah menjadi kencang. Di dukung dengan kumpulan awan hitam yang mulai terlihat di atas sana.

***

"Mau kemana?" tanya Adinda menyelidik saat tepat pukul tujuh malam, Arwan menjemput di indekosnya.

"Kamu akan tau nanti."

Senyum yang ditampilkan Arwan membuat Adinda luluh dan percaya. Hingga motor yang dikendarai Arwan berhenti di tempat parkir salah satu bar di pusat kota.

Masih mengenyahkan pikiran negatifnya, Adinda pun menurut saat jemarinya di genggam Arwan untuk masuk ke dalam sana.

Detik berganti menjadi menit hingga berubah menjadi jam. Sampai pada jam yang ketiga, Adinda masih belum diantar pulang Arwan.

Kondisi Arwan yang terlihat sudah tidak sadarkan diri akibat pengaruh alkohol, membuat Adinda, yang kala itu masih setengah sadar, menelpon Adera dan berharap untuk dijemput.

"Ra, bisa jemput gue?" ucap Adinda setelah berhasil keluar dari bar dengan mengendalikan tubuh yang sempoyongan.

"Dimana? Kok berisik?" tanya Adera di ujung telepon.

"Di bar tengah kota. Cepet ya Ra." Putus Adinda sepihak.

Dengan rasa sadar yang hampir menipis, Adinda mencoba berjalan menjauhi bar itu. Mengabaikan tatapan dari orang sekitar tentang usianya yang masih belia tapi sudah mencoba minuman haram itu.

Masih dengan tubuh yang sempoyongan, Adinda nekat menyeberang jalan.

"Adindaa.."

Tubuhnya seakan di dorong hingga terlempar saat ia mendengar suara tabrakan di belakangnya. Saat menolehkan kepalanya, pengaruh alkohol yang tadi sempat ia cecap itu hilang sudah.

Matanya seakan tak percaya. Hingga ia melangkahkan kakinya, menuju seseorang yang tadi mendorong tubuhnya. Tubuhnya lemas seketika saat ia berhasil melihat dengan jarak yang sangat dekat. Cairan bening yang sempat menghilang itu, memaksa untuk keluar.

Pandangannya semakin memburam ketika Adinda sadar sekelilingnya adalah darah.

Ya, darah dari orang yang sama yang selalu menolongnya. Dia, Adera. Sahabatnya.

***

"Kalau saat itu aku tau itu adalah saat terakhir kamu, aku gak akan pergi sama Arwan Ra."

Mata Adinda seakan tak ada rasa lelah untuk meneteskan cairan bening berupa air mata itu.

"Kalau saat itu aku tau begitu banyak yang kamu korbankan buat aku.. Aku mungkin bakalan bersujud Ra," lanjut Adira dengan suara yang semakin lirih.

"Kamu mengenalku Ra. Sangat. Semua tentangku, kamu tau. Tapi aku.. Mencoba mengerti kamu pun tidak kulakukan." Gemetar menjalar di seluruh tubuh Adinda.

Suara gelegar guntur seakan menjadi temannya saat itu.

"Bahkan, alam pun seakan marah padaku Ra."

Air mata yang merembes keluar itu, seakan tak ingin berhenti walau Adinda mencoba untuk menghentikannya. Namun, dadanya terlalu sesak akan kenangan pedih kalau itu.

"Kamu tau Ra? Sekarang, aku sendiri. Tak ada satupun Ra. Tak ada satupun yang bersama denganku. Semua.." Lagi dan lagi, tenggorokan Adinda terasa tercekat ketika ingin mengungkapkan.

"Semua menghilang Ra. Semua orang pergi. Semua.. Pergi."

Guntur pun sekali lagi menyambar kesana kemari. Seakan tak membuat Adinda menjadi lebih tenang. Disusul dengan hujan yang tiba-tiba turun ke bumi.

Namun, seakan tak perduli dengan turunnya hujan. Adinda masih tetap tak beranjak dari makam sahabat satu-satunya itu.

"Maaf Ra. Maaf. Hanya itu yang dapat kuucap."

Adinda memeluk nisan bertuliskan nama Adera disana.

"Tenang disana Ra." lirih Adinda sebelum beranjak.

Dengan langkah pelan, Adinda mulai menjauhi nisan Adera. Dengan sesekali membalikkan badan, seakan tak rela untuk pergi.

Bahkan setelah kakinya sudah sampai pada gapura makam, Adinda masih sempat untuk membalikkan badan.

Hingga saat ia berada di depan gapura, tatapan sendu yang tersirat banyaknya duka yang dirasa Adinda tetap yang berkurang. Bahkan mungkin terlihat semakin bertambah.

Beberapa kali Adinda menghela nafas panjang, hingga ia melanjutkan langkah untuk segera pulang kerumah.

Hanya satu yang ia yakini saat ini. Bahwa rasa kecewanya kini seakan menjadi balasan rasa kecewa Adera kalau itu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun