Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Aturancu (Aturan-aturan Rancu)

15 Oktober 2020   09:07 Diperbarui: 15 Oktober 2020   09:21 296 2
Sudah empat hari berlalu setelah beredar pamflet opening usaha kecil-kecilan yang diberi nama iNUmo Boba itu. Puji syukur cukup banyak penikmat.

Namun di sela-sela mengucap syukur atas respon penikmat minuman Boba, saya secara pribadi masih sangat mengganjal perihal banyak hal yang terjadi di sekitar, baik lokal, dan juga perihal apa yang sedang terjadi di nasional.

Pandemi Covid-19 secara sadar harus kita akui proses penyebaran dan penyelesainya masih sangat jauh terbalik. Setiap hari, masih banyak kita lihat, dengar, dan saksikan bersama kabar bahwa angka penyebarannya masih masif.

Sementara proses pencegahanya sekarang, menurut hemat saya kok justru semakin mengarah ke hal-hal yang semacam formalitas saja. Terhitung semenjak negara kita mendeklarasikan "New Normal".

Harus saya, dan kita semua akui bahwa seruan perihal menjaga jarak, pakai masker, cuci tangan, dan segala hal-hal yang kita sebut sebagai protokol kesehatan covid-19 itu memang wajib kita patuhi sebagai kesadaran pribadi-kolektif.

Namun apa yang saya sebut sebagai "formalitas" di atas bil khusus di tataran lokal, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan itu masif terjadi. Misalnya, baik pemerintah Desa, Kecamatan, ataupun Kabupaten. dalam kesempatan menyampaikan seruan untuk patuh terhadap protokol covid-19 justru dilakukan di tempat-tempat yang itu mereka sedang berkerumun. Hajatan pesta pernikahan, kedukaan, dll.

Paling sering saya jumpai seruan perihal mematuhi protokol covid-19 ketika menghadiri hajatan pesta pernikahan yang jumlah tamu undangan bisa mencapai 500-1000 bahkan lebih tamu undangan.

Kini menurut informasi yang beredar di masyarakat, izin melaksanakan hajatan baik pesta, ataupun kedukaan minimal 200 tamu undangan. Dan jika terjadi hal-hal yang tidak di inginkan itu di tanggung oleh si pemilik hajatan.

Padahal secara sadar juga kita sudah bisa menghitung pasti yang akan hadir tidak juga hanya 200-an kepala. Misalnya yang diundang 200 kepala keluarga, dikali dua orang yang hadir ayah, dan ibu. Jumlahnya saja sudah 400-an. Gimana jika satu keluarga yang hadir 4 orang?

Kita memang sekarang sudah hidup di tengah pandemi, dan aturan-aturan yang semakin rancu.

Selanjutnya, perihal yang sedang berkecamuk di seluruh Indonesia. Aksi parlementer jalanan yang dilakukan mahasiswa dan buruh. Protes keras terhadap yang semula masih RUU kini sudah diketok palu tanda sah sebagai UU Omnibus Law.

Hal itu juga yang membuat saya hidup enggan matipun tak mau. Kenapa? Satu sisi saya merasa wajib dan perlu untuk mendiskusikan ulang perihal UU Omnibus law bersama sahabat-sahabat, juga turun aksi bersama mengawal dan memberikan interupsi kepada DPR lewat aksi parlementer jalanan. Namun, di sisi yang lain saya diperhadapkan oleh realitas ekonomi pribadi. Saya tidak ingin bawa-bawa keluarga perihal ekonomi. Kita harus mandiri.

Oke lanjut, jarak antara tanah adat saya dilahirkan dengan kota manado tempat saya belajar cukup jauh. Lima jam perjalanan darat menggunakan kendaraan bermotor. Selain jarak yang jauh, akses menuju manado memerlukan uang saku yang cukup banyak. Saya pikir jika sahabat-sahabat yang sudah pernah mampir di kediaman saya pasti mengerti apa yang saya maksud.

"Ahhh paling hanya karena ingin ikut-ikutan saja turun ke jalan." Begitu kira-kira ucap salah satu kawan yang menjadi lawan diskusi minggu lalu.

Harus saya katakan dan jelaskan panjang lebar, bahwa kami sudah sedari awal melakukan interupsi perihal RUU Omnibus law. Tepatnya bulan maret 2020 sebulan setelah draft RUU diserahkan ke DPR untuk dibahas dan segera disahkan.

Kami sudah mengawal itu, jauh sebelum beredar video tiktok duo sejoli mencuri kesempatan saat aksi turun ke jalan viral. Dan semua menjadi baperan, berharap turun aksi bisa ketemu jodoh. Juga sebelum banyak tuntutan aksi yang di dalamnya bertuliskan "RUU Omnibus law sudah sah, Anya Geraldine dan aku kapan?" (Kira-kira begitu bunyi redaksinya).

Lalu pertanyaan perihal, "emang kalian sudah membaca tuntas dan mengkaji isi UU Omnibus Law?"

Jawabanya, belum. DPR saja sudah mengesahkan UU yang belum tahu mana draf aslinya. Buktinya hingga kini masih terus direvisi. Itu dulu kira-kira yang perlu kita interupsi, ada yang tidak benar. Bahwa kita tidak sedang baik-baik saja.

Lalu kapan turun aksi ke DPRD Bolmut?

Itu pertanyaan yang harus semua elemen gerakan jawab. Sudah sekian dulu curcol hari ini. Saya mau jualan lagi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun