Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Menolak Kampanye SARA

13 September 2012   01:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:33 125 0
Oleh : Fajar Kurnianto

Rhoma Irama, salah satu tim sukses pasangan calon gubernur Jakarta Fauzi “Foke” Bowo dan Nachrowi, menyampaikan pernyataan menarik, tapi layak ditanggapi secara serius: kampanye SARA dibenarkan. Intinya, kampanye apa pun yang mengusung empat isu ini, menurutnya, tidak melanggar hukum, tidak salah.

Dia pun harus diperiksa Panwaslu karena masalah ini. Pada akhirnya, setelah Panwaslu memeriksa Oma, diputuskan tidak ada unsur SARA dalam pernyataannya.

SARA

Indonesia, harus diakui, adalah bangsa yang heterogen dan multi. Baik itu multiagama, multietnis, multiras, maupun multigolongan. Ada agama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu dengan berbagai aliran keagamaan dan keyakinan di tubuh masing-masingnya.

Indonesia juga mutlietnis: Jawa, Sunda, Madura, Dayak, Batak, Irian, Ambon, dan seterusnya. Indonesia juga multiras; ras Melayu Mongoloid, ras Wedodid, ras Negroid, dan ras Papua Melanesoid. Indonesia juga multigolongan atau multikelompok.

Karena itulah, para pendiri Negara Indonesia membuat slogan yang dicengkeram erat-erat oleh burung garuda Pancasila, lambang negara ini: “Bhinneka Tunggal Ika”. Berbeda-beda, tetapi tetap satu: Indonesia. Beragam, tetapi tetap bersatu di bawah bendera merah putih Indonesia.

Bermacam-macam, tetapi tetap satu, di bawah payung Indonesia. Keragaman di tubuh Indonesia adalah kenyataan, tepatnya takdir yang tak bisa terelakkan.

Berada di antara pertemuan dua benua; Asia dan Australia, serta dua samudera; Hindia dan Pasifik, memungkinkan orang-orang dari seluruh penjuru bumi singgah, menetap, beranak-pinak, dan membangun komunitasnya masing-masing di sini yang bertahan hingga kini.

Keragaman bahkan sudah mendahului entitas negara bernama Indonesia. Upaya-upaya penyeragaman terbukti gagal, para pendiri Negara Indonesia tahu betul hal ini. Ketika, misalnya, sebagian pendiri Indonesia berusaha menyeragamkan Indonesia dalam ideologi tertentu, sebagiannya menolak keras dan mengancam akan keluar dari Indonesia.

Di era Orde Baru (Orba), Soeharto melakukan tafsir ulang terhadap model “kebangsaan Indonesia” yang beragam secara sempit dan bersifat mengekang, seperti dikupas Jacques Bertrand, dalam bukunya Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia (Ombak, 2012). Apa buahnya? Sejak akhir 1990-an, berbagai konflik etnis terjadi di Indonesia. Dari Aceh, Kalimantan, Maluku, Papua, hingga Timor dengan ribuan korban tewas.

Hingga saat ini, ketegangan-ketegangan masih “laten” dan dengan begitu mudah berubah menjadi konflik dan kekerasan ketika dipantik oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab demi kepentingan politik-ekonomi tertentu. Sebagiannya merupakan warisan konflik di masa lalu, di era Orba. Sebagiannya lagi merupakan konflik-konflik baru yang diciptakan oleh para pemain baru yang punya kepentingan politik-ekonomi: lagu lawas pemain baru.

Tujuannya, mengeruk untung dari konflik, pada saat yang sama memojokkan lawan-lawan politik atau saingan bisnisnya. Pendek kata, keragaman di tubuh Indonesia belum berhasil dikelola negara secara baik menjadi kekuatan konstruktif-produktif.

Perbedaan belum dapat disikapi secara bijaksana sebagai anugerah Tuhan bagi negeri ini. Kepentingan politik-ekonomi pragmatis-sektarian masih menunggangi perbedaan SARA.

Jakarta

Jakarta, selain merupakan ibu kota Indonesia, juga kota metropolitan dan pusat perputaran ekonomi terbesar di negeri ini. Kota yang Couperus, seorang pendatang dari Belanda, pada 1815 saksikan seperti “kota hantu” karena beragam penyakit menular yang luar biasa ganas dan menewaskan, kini menjadi kota dengan populasi penduduk sangat padat.

Jakarta menjadi magnet ekonomi, mendorong meningkatnya kaum urban setiap tahun. Sentralisasi pembangunan di Jawa, terutama di Jakarta dan sekitarnya, sejak era Orba, menjadi asal-muasalnya.

Magnet Jakarta menarik kaum urban dengan berbagai latar belakang suku, ras, agama, dan golongan, untuk berkumpul di sini, mengais rezeki. Kebanyakan mereka adalah kelas menengah ke bawah. Hanya sebagian kecil dari mereka yang mampu menembus keluar dari kelas ini, menjadi kelas elite.

Mereka ini menduduki posisi-posisi penting di institusi-institusi pemerintah dan negara, di kantor-kantor swasta, atau menjadi para pengusaha yang sukses karena punya skill, akses dengan kekuasaan, dan tingkat pendidikan yang memadai.

Sementara mereka yang di kelas menengah ke bawah adalah kaum pekerja, bawahan dari kaum elite tadi, serta mereka yang bekerja di banyak sektor ekonomi publik, di lapangan.

Masyarakat Jakarta adalah beragam. Pernyataan Rhoma tentang SARA tentunya sangat disayangkan. Jakarta, bagaimana pun adalah miniatur Indonesia. Ia menjadi pusat perhatian dan percontohan bagi proses-proses perubahan sosial, politik, dan ekonomi untuk wilayah lain di Indonesia.

Jakarta harusnya menjadi model yang baik dalam merawat keragaman dengan tidak mengemukakan isu-isu yang tidak produktif semacam SARA. Isu yang Ahok, pasangan Jokowi, sebut jadul (zaman dulu). Isu-isu yang diangkat dalam kampanye Jakarta mestinya yang lebih mencerdaskan dan visioner.

*Artikel ini sebelumnya dimuat di Harian Lampung Post, Rabu 5 September 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun