Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Reog Ponorogo Menciptakan Tontonan jadi Tuntunan

27 Februari 2011   04:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:14 1133 0
Melestarikan budaya asli Indonesia bukanlah hal mudah. Tak jarang mesti menonjolkan jiwa sosial. Salahsatunya, Kesenian Reog Ponorogo. Pagelarannya, terkadang justru hanya dinilai sebatas 'selayang pandang'. IRONIS memang, ketika kesenian daerah Jawa Timur ini sempat jadi wacana perdebatan antara Indonesia dengan jiran tetangga. Tari Reog Ponorogo jadi bahan rebutan. Tentu, masih segar dalam ingatan kita. Ketika Malaysia mengakui tarian itu sebagai budaya asli negara beribukotakan Kualalumpur itu. Sontak, Indonesia berontak. Dengan tegas mengakuinya sebagai budaya negara bermottokan *Bhineka Tunggal Ika. Tapi, apakah kelestariannya disetiap daerah benar-benar telah dipupuk dan dibina dikalangan masyarakat secara berkelanjutan? Memang, Labuhanbatu bukanlah berpenduduk asli suku Jawa. Tapi, dari sekian grafik jumlah masyarakatnya, sesuai sensus dan cacah statistik kependudukannya selama beberapa tahun belakangan dominan dihuni warga yang memegang teguh falsafah sedulur papat kalima pancer. Dalam artian, eksistensi warga suku Jawa, kini sudah cukup diperhitungkan dengan suku-suku lainnya. Terlebih-lebih, sejak hadirnya paguyuban putra jawa kelahiran sumatera (Pujakesuma). Memasuki usia wadah kerukunan warga Jawa itu yang ke 28. Kini, telah banyak muncul pemimpin dan tokoh dari etnis itu yang duduk didepan dalam segala bidang. Baik ditata pemerintahan, politik, sosial dan lainnya. Seiring perkembangannya, ternyata belum sebanding dengan upaya melestarikan seluruh kebudayaan dan kesenian yang sengaja di import dari pulau aslinya. Misalnya saja, kesenian tari jaranan pegon,reog ponorogo atau reog prajuritan. Paduan kesenian ini, boleh dibilang cukup langka dan jarang ditemukan. Pun adakalanya dan waktu-waktu tertentu terlihat. Dapat dijamin, tidak seluruh etnis Jawa di daerah ini mengetahui lokasi pelestariannya. Namun, jika memang ingin menyaksikan dan ingin mengenal lebih dekat kebudayaan ini, hanya dapat ditemui di Dusun Suka Mulia, Desa Pondok Batu, Kecamatan Bilah Hulu, Labuhanbatu. Sebab, untuk daerah ini, kelompok kesenian Reog Suko Budoyo lah satu-satunya yang ada dan tetap eksis. Tapi, apakah dengan upaya pelestarian budaya itu, dibarengi lestarinya perhatian dan kecintaan terhadap seni itu? Dan, apakah awak-awak yang tetap mencintainya juga lestari dalam perekonomian? Jumat siang kemaren, seorang pria tua kelahiran Tulung Agung, Jawa Timur, 68 tahun silam tampak meniup sebuah alat musik. Kurang jelas terdengar intonasi alunan dari alat musik itu. Tapi, kental terdengar mewakili kegundahan hatinya akan kelestarian budaya asli Indonesia yang kian tergerus oleh modernisasi jaman. Pasalnya, kini lebih condong mengadopsi budaya western. Karmin, nama pria yang kala itu duduk diserambi rumahnya mengenakan baju warna hitam dan memakai penutup kepala yang identik disebut dengan nama blangkon. Raut tua wajahnya kian mencerminkan gundah hatinya. Ketika disambangi, sontak membuyarkan imajinasinya. Tapi, Karmin lantas mengaku kalau lagi menajamkan hafalan tembang-tembang yang dilantunkan manakala sedang pementasan. "Ngak koq. Cuma terus mengafal bait-bait tembang untuk pementasan mendatang," ujarnya memulai pembicaraan. Memang, dia adalah pemimpin grup kesenian Reog Suko Budoyo. Selaku dirijent music di kelompok itu, dia katanya berperan utama memimpin. Dia, akunya dengan Tompret (sejenis alat musik tiup) memandu pementasan. Dengan nada musik yang tak jarang mengandung tembang Jawa mengajak para penonton untuk lebih memaknai hal-hal yang baik. "Bait-baitnya dominan mengajak orang lain untuk lebih mengentalkan rasa persatuan bernegara," paparya. Khususnya, kata dia, untuk mengerti makna Pancasila. Katanya, sejarah berdirinya kelompok Reog Suko Budoyo sudah relatif lama. Tak kurang dari 37 tahun silam. "Ya, awalnya sejak saya datang ke Labuhanbatu ditahun 1963 lalu, mencoba mendirikan kelompok ini. Mulanya, untuk melepas rindu ke kampung asal. "Karena, dengan kesenian itu dapat mengingatkan akan daerah asal," imbuhnya seraya membuka sejarah. Dasar itulah, Karmin dengan peralatan pendukung seadanya bermotivasi mempertahankan budaya dan kerinduan daerah kelahirannya. Seiring perkembangan jaman, kelompoknya yang terus regenerasi juga turut bertahan. Kini, perpaduan didalam kelompok itu telah memiliki jenis kesenian Jaranan Pegon, Reog Ponorogo dan Reog Prajuritan. "Ya, itu satu perpaduan. Ketiganya tak jarang dilakonkan dalam satu pementasan," bebernya. Kini, kelompok itu memiliki anggota sebanyak 25 orang. Masing-masing memiliki peran penting setiap pementasan. "Untuk memainkan gendang ada 3 orang. Tipung 2 orang. Angklung 3 orang. Kenong 2 orang. Tompret sebanyak 1 orang dan Gong 2 orang. "Selebihnya merupakan penari reog, dan jajaran pegon," urainya. Meski, tetap mampu bertahan dalam hitungan jangka waktu lama. Namun, eksistensinya hanya sekedar mampu bertahan hidup. Soalnya, berbagai peralatan pendukungpun kian rusak dimakan jaman. Alhasil, untuk tetap memiliki peralatan pengganti, tak jarang dirinya mesti 'putar otak'. Sebab, mendapatkan peralatan yang standart untuk manggunghanya dapat dipesan ke pulau Jawa. Makanya, bila ada peralatan yang dapat diperbaiki sendiri, dia lebih sering melakukan inovasi. "Ya, kadang kita mesti kreatif. Jika ada alat yang dibutuhkan kita mesti bisa membuat sendiri. semisal, topeng Barongan. Kita mesti memiliki kepandaian memahat kayu. Dan, memiliki imajinasi tersendiri memunculkan tampilan wajah dan perwatakannya," tukasnya. Tak sedikit alat pelengkap kesenian itu dicipta oleh Karmin. Malah, untuk jenis gendang dan lainnya, kepiawaiannya dalam pertukangan kayu memberi arti tersendiri. "Kadang untuk gendang juga memanfaatkan drum kaleng dan kulit kerbau," katanya. Sebab, untuk alat yang standart mesti menyediakan dana tak kurang dari Rp70 juta. Konon hal itu didapat melakukan pemesanan ke pulau Jawa. Terlebih lagi, lanjutnya, kian sukarnya menemukan beberapa jenis peralatannya. "Malah, untuk mendapatkan bulu-bulu burung Merak untuk topeng reog ponorogo terpaksa pesan ke luar daerah. Itupun mesti jenis Merak Lumut. Karena jenis ini, bulunya lebih berkilat," sambungnya. Tak jarang, dalam melengkapi alat-alat itu, mereka membutuhkan waktu lama. "Soalnya, mesti ngumpul kan duit dulu. Patungan hasil pementasan. Setiap selesai manggung mesti disisihkan untuk membeli alat," paparnya. Lantas, kapan moment dilakukan pementasan dan nilai pendapatan setiap pesanan manggung. Karmin dengan lirih mengaku prihatin. Soalnya, rata-rata jadwal pementasan itu relatif rendah. Sementara, nilai yang diperoleh juga terkesan belum sebanding. "Ya, palingan kalau ada yang ngundanguntuk acara mantenan atau sunatan rasul. Kalau upah, juga ngak tentu. Kisaran Rp1 juta hingga Rp2 juta. Lihat lama manggungnya," tuturnya. Malah, katanya, tak jarang mereka juga hanya sekedar sosial dalam pagelaran. Itu, kerap terlihat sewaktu peringatan hari-hari besar kenegaraan. "Malah kalau perayaan 17-an tak jarang kita hanya ikut partisipasi arak-arakan barisan pawai," paparnya. Padahal, lanjut dia, para anggotanya juga rata-rata merupakan karyawan dibeberapa tempat usaha. Tak ayal, setiap ada pesanan manggung terpaksa absen dari pekerjaan. "Dari semula sudah saya tanamkan kepada anggota agar mampu menentukan sikap. Kelompok Reog adalah pagelaran seni yang diharap sebagai tontonan agar menjadi tuntunan," tandasnya. KARMIN - Pendiri kelompok kesenian Reog Suko Budoyo -------------------------------------------------------------------------------------------

Reog Ponorogo Aksi tanpa Klenik?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun