Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Janji Politik Tuan Parlemen, Haruskah Percaya?

18 Oktober 2019   20:56 Diperbarui: 18 Oktober 2019   20:58 13 3
Saya marah dan sangat marah, tapi selalu saja saya urungkan niatnya itu.  Saya pasra terhadap apa yang dijanjikan, tapi saya tak pernah lupa. Saya selalu dan masih sangat ingat semuahnya, tempo itu saya dan Mustadin duduk di kebun kelapa milik saya sembari mengasapi kopra. Jauh sebelum konstelasi politik muncul permukaan, tapi pembicaraan politik sudah kami bangun kala itu.

"Tahun depan, tahun politik. Dan mungkin saya akan bertarung habis-habisan bung" ujar Mustadin tempo itu.

Mendengar pernyataannya saya tentu tak sepakat, saya menganggap semua tuan-tuan parlemen hanya mengumbar janji manisnya.

"Kau ini, idealismu kau taru dimana nanti? Toh nantinya kau masuk pada pelataran parleman hilang semua idealismu itu. Kau tak lihat para tuan-tuan kita, alih-alih wakil kita. Tapi apa? Mereka hobinya memeras saku kita" kata saya mencoba menentang niatnya itu.

Diapun tertawa, tapi mencoba mebela diri. "Kau ragu dengan idealis saya, saya bukan mereka bung. Tuan-tuan itu jangan samakan dengan saya. Jika kelak saya bisa duduk di parlemen, saya akan memenuhi kebutuhan semuahnya, tidak hanya kau tapi masyarakat bung." Katanya lagi.

Saya diam sesaat, rasanya saya masih belum percaya. Memori lama kembali lagi. Saya menyalahkan tembakau yang batu ku linting.

"Saya hanya ingat-ingat, dulu si Hakim pernah datang ke saya, dan si Aluk juga pernah berbicara tentang niatnya. Mereka menjanjika kita rakyat kecil kesejahteraan, tapi apa? Masuk parlemen hilang batang hidungnya. Padahal kita yang kerja mati-matian, uang habis buat mereka."

Sesaat saya berdiri, memercik air ke cangkang kelapa. Menjaga agar apinya tak membesar.

"Ah lupakan saja si aluk dan hakim itu. Mereka hanya orang-orang yang tak tau berterima kasih" katanya singkat

Saya kembali duduk di atas cangkang kelapa yang telah saya buat seperti bangku. Sementara dia sedang sibuk melinting tembakau sag.

"Lalu, mereka kan bagitu. Lantas apa ukuranya buat saya percaya kau tak seperti mereka?" Kataku

"Kau harus percaya, kita ini sama-sama petani bung. Kalau saya bisa sampai ke parlemen kita dan rakyat bisa sejahtera bung"

"Okelah jika begitu, tapi saya tak butuh itu, sekalipun kau bisa duduk di parlemen. Yang saya harapkan itu adalah kesejahteraan mereka para masyarakat"

Dia berusaha meyakini saya, "kau jangan ragu idealisku bung" jawabnya singkat.

Tak sampai disitu, saya komudian coba memberikan sedikit formasi agar bisa jadi tuan yang baik.
"Kau tau, kalian itu tuan para rakyat. Wakil rakyat. Perihal kalian jadi tuan di parlemen adalah dari rakyat, maka jangan memeras atau mengeruk uang hasil keringat rakyat. Harusnya kalian lebih berpihak ke mereka, moralitas bangsa penting"

Dia terdiam sesaat, mungkin dia mencoba menafsirkan bahasa saya. "Iya saya paham, dan saya akan melakukan apa yang kau ucap. Tapi kau harus bantu saya agar bisa jadi tuan raja di parlemen bung"

"Syukurlah kau paham maksud saya, kalau soal masyarakat nanti sama-sama kita usahakan, pastikan kau bisa yakini mereka maka kau akan dipilih oleh mereka" ujar saya.

"Bukan hanya basis masa, saya juga butuh sokongan dana dari kau bung" ujarnya singkat

Tak berfikir panjang, juga sebab dia ada rekan sejuang "saya akan dukung kau, hasil panen kelapa saya sisipkan separu untuk perjuanganmu" jawab saya.

Dengan senyum gembira, kemudian berterima kasih kepada saya.
***
Tiga tahun berlalu, sudah memasuki tahun ke tiga Mustadin di parlemen. Sekalipun waktu yang suda terbilang lama itu, dia hanya tiga kali injak kaki di tanah saya juga dia sendiri.

Pakaianya tak lagi kumal, dia rapih. Kali waktu dia syafari ke kampung, kira-kira di tahun kedua. Celana jeans biru dengan kameja putih dilapisi jas, dengan kacamata hitam plat di matanya dia turun dari mobilnya.

Perihal kedatanganya saya tak tahu menahu, ketika saya turun dari kebun saya melihatinya di rumah Akbar. Saya tentu bahagian kemudian memangilnya, sembari bergerak ke arahnya untuk menyalami.

"Wah kau tampil beda sekarang yah, tak seperti sebelumnya" kataku sembari meraih tanganya

"Oh iya, seperti yang saya bilang. Tinggal di parlemen apa saja bisa terpenuhi" ketusnya singkat.

Saya terdiam, "rupanya dia tak seperi yang lain, Hakim dan Aluk tak beda" gumaku dalam diam

"Jiarah ke rumah, biar nanti kita bebincang di sana" tawarku

"Oh iya, nanti selepas ini saya kerumah" jawabnya sembari merai tangan saya memberikan sedikir rupiah.

Selepas itu saya lalu, dengan pikiran yang beradu antara yakin dia masih seperti dulu atau sudah berubah. Keputusannya nanti, sebantar jika dia ke rumah maka dia tetap sama.

Beberapa jam kemudian dia tak muncul-muncul, padahal saya suda siap-siap. Istri suda buatkan alakadar. Dan sampai sore dia tetap saja tak muncul.

"Rupanya dia tak datang kesini" kataku ke istri sambil muka masam

"Ya sudah, mungkin dia lagi sibuk" sahut istriku singkat.
***
Pagi itu, saya hendak ke kebun. Saat yang sama, Tarmin juga ke kebun. Seorang remaja yang masuk di jajaran organisasi kepemudaan.

"Semalam Mustadin Nginap yah?" Tanya saya.

"Oh,,beliau tak nginap, langsung balik. Kira-kira jam 08:00"

"Lantas apa yang dia berikan bagi masyarakat desa" tanya saya lagi

"Tidak Bang, hanya dua TV pangkalan dan meteral listrik"

Mendengar itu hati saya luluh, saya suda duga dan benar dia sama seperti mereka. Adapun uang yang dia kasih ke saya, bukan itu yang saya mau, kesejahteraan masyarakat yang harus dia utamakan.

"Oh iya, nanti di jaga dan di rawat agar bisa di nikmati bersama"

"Iya Bang, pasti"

Tak apa, saya tak harus mara. Setidaknya saya bisa menunaikan tugas mewujudkan mimpi. Dan selebihnya tugas mereka, apa yang dibuat juga beban mereka. Dia masih punya kesempatan dua tahu, semoga bisa di manfaatkan dengan sebaiknya. Sejak kunjungan itu, dia tak lagi muncul di hadapan rakyat.

Ternate, 18 Oktober 2019

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun