Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hobby Artikel Utama

Ironi Pertambangan

4 Mei 2015   06:19 Diperbarui: 1 Oktober 2020   23:05 95 3


(kiri ke kanan) Ricky Alamsyah, Rudy Sayoga, Maman Turjaman, Dwi Sawung.


Bumi diciptakan untuk melayani kehidupan manusia. Semua material yang ada di potongan bumi manapun bisa dimanfaatkan dengan baik oleh manusia agar manusia mencapai kepuasan. Kita bisa dengan mudah melihat dan merasakan barang-barang ciptaan manusia, hampir semuanya berasal dari bumi. Contohnya pakaian, perhiasan, kendaraan, perabotan. Tidak ada atau jarang ada yang menyadari bahwa sebagian besar kebutuhan hidup berasal dari hasil pertambangan. Pakaian yang kita kenakan berasal dari serat sintesis, serat sintesis sendiri berasal dari karbon. Perhiasan seperti cincin, kalung, subang, jam tangan berasal dari logam bahkan ada yang dicampur dengan emas. Kendaraan pun demikian.

Namun sayangnya, banyak negara yang tidak mau ditambang. Analoginya seperti kita bertetangga. Pasti kita mengharapkan tetangga saja yang repot harus mengolah sesuatu, kita tinggal memakainya saja. Pun sama halnya dengan sebagian besar negara-negara maju di dunia. Apakah kita tahu bahwa Amerika Serikat adalah negara paling kaya barang tambang? Ternyata bukan Indonesia yang menjadi sumur tambang. Lalu, mengapa AS tidak mau mengeksploitasi negara mereka sendiri? Ya seperti analogi di atas. Mereka tidak mau repot-repot membuat dapur di negeri sendiri. Mereka sengaja “memasak” barang tambang di Indonesia kemudia mereka tinggal menikmati hasil yang bisa dibilang memiliki harga yang jauh berbeda.

Kalau berbicara pertambangan, Indonesia sama sekali tidak ada apa-apanya. Dunia pertambangan Indonesia dimulai paling cepat akhir abad ke-19 dan itu juga bawaan dari Belanda. Lain halnya dengan negara-negara penghasil tambang seperti AS dan Timur Tengah yang sudah ada sejak 3000 tahun sebelum masehi. Tambang tertua di Indonesia hanya tambang tembaga di Palembang. Pertambangan Indonesia baru bangkit setelah Orde Baru.

Dulu, sebenarnya investor asing sama sekali tidak tertarik dengan dunia pertambangan Indonesia karena Indonesia sungguh tidak ada apa-apanya dibandingkan AS dan Timur Tengah. Hanya saja, pemerintah Indonesia yang meminta dan menarik investor agar berinvestasi di Indonesia yang hingga saat ini menjamur. Indonesia hampir tidak memiliki apapun untuk bisa dibanggakan. Hanya satu yang bisa yaitu eksportir terbesar batu bara. Namun, ini juga tidak terlalu “wah” karena Indonesia justru tidak bisa memanfaatkannya sendiri dan dijual ke luar negeri. Karena Indonesia tidak kaya akan barang tambang, maka sepantasnya Indonesia harus pandai dalam mengelolanya.

Sebenarnya, ketika banyak orang berdemo tentang perusahaan tambang besar yang beroperasi dan mengganggu warga, justru pertambangan skala kecil yang jauh lebih berbahaya. Bila dibandingkan dengan perusahaan pertambangan kawakan yang sudah legal dan terjamin K3L (Keamanan, Kesehatan, dan Keselamatan Lingkungan), pertambangan skala kecil justru yang perlu diawasi. Alasannya karena banyak pertambangan skala kecil yang tidak memiliki izin, tidak melakukan reklamasi, tidak memperhatikan K3L, dan tidak bertanggung jawab terhadap masyarakat dan alam sekitar. Seperti apa bahaya pertambangan skala kecil? Ketika kita tidak boleh masuk kawasan tambang terbuka, kita hanya dilarang dan maksimal hanya dibentak. Kalau kita masuk kawasan tambang skala kecil padahal dilarang dan kita tetap memaksanya, maka kita tidak segan-segan untuk ditembak.

Masalah yang muncul dari industri pertambangan biasanya mengenai degradasi hutan yang semakin cepat, tumpang tindih izin kawasan, dan realisasi reklamasi atau pascatambang. Reklamasi yang dilakukan harus mengembalikan kawasan dengan flora atau tumbuh-tumbuhan seperti asalanya. Ada contoh reklamasi yang kurang baik yaitu invasi tanaman mantangan di TN Bukit Barisan Selatan. Ada juga reklamasi menggunakan tanaman akasia yang tidak cocok dan sedikit sekali manfaatnya.

Ada banyak sekali langkah untuk meralisasikan Undang-Undang No, 32 tahun 2009 di antaranya dengan melakukan kajian lingkungan hidup secara strategis dan melakukan rekalmasi secara benar dan bertanggagung jawab terhadap tambang yang ditutup. Ada cara unik untuk melakukan reklamasi seperti di Bangka Belitung yaitu dengan menyebar jamur palawan. Jamur ini memiliki manfaat untuk menyuburkan tanaman dan bisa pula dimakan. Harga jamur ini bila dibudidayakan dengan baik bisa menghasilkan profit yang lumayan besar karena satu kilo jamur bisa mencapai 2 juta rupiah. Selain itu kita bisa membudidayakan lebah Pelawan (nama daerah) hingga muncul Madu Pelawan.

Tulisan disari dari Talkshow Earth Day 2015 “Ironi Bumi Indonesia dalam Dunia Tambang dan Migas” tanggal 18 April 2015 yang diisi oleh Prof. Dr. Ir. Rudy Sayoga Gautama (Dosen Teknik Pertambangan ITB)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun