Menilai Persidangan Live, Antara Keterbukaan dan Implikasi Trial by The Press
17 Desember 2016 23:34Diperbarui: 20 Desember 2016 16:302191
Tahun 2016 menjadi tahun yang begitu fenomenal bagi perkembangan hukum di mata masyarakat. Kasus kematian Mirna seolah membuka mata publik (awam) untuk setidaknya memaksa diri mereka melek terhadap hukum, hal yang mungkin bagi mereka dianggap tabu. Rasa penasaran publik yang menjadi-jadi ditangkap oleh media untuk menyiarkan suatu drama minus skenario. Alhasil kegiatan di pengadilan terlihat begitu vulgar tidak hanya dialog dari para trias judicata,tidak pula visualisasi pertaruhan para catur wangsa di ruang keadilan itu, melainkan sampai pada mencitra wajah terdakwa dan pihak-pihak terkait di dalamnya. Kasus Jessica yang menguras emosi publik, para pengamat yang mendikte dan silih berganti meramaikan televisi sukses menciptakan tiga kubu di dalam masyarakat. Pertama,kubu yang bahkan sejak awal sudah menghakimi dan berpihak kepada jaksa selaku protagonis. Kedua, kubu yang meyakini Jessica hanyalah korban keadaan yang tak berpihak, kubu yang berusaha mengangkat terdakwa dari posisi antagonis. Ketiga,kubu abu-abu yang apatis, atau mungkin memandang secara elastis yang menggantungkan diri pada putusan akhir. Kini setelah kasus Jessica (season 1) berakhir sementara (to be continued), publik bersiap pada tontonan baru yang tak kalah melejit, yaitu kasus penistaan agama yang menjerat sang calon petahana Ahok.
Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.