Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money Pilihan

Indonesia Darurat Migas : Analisis Dampak dan Penyebabnya

6 Maret 2015   22:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:03 571 1
Beberapa tahun silam pemerintah yang saat itu dipimpin oleh SBY - Boediono pernah menyampaikan janji dan harapan tinggi kepada masyarakat terkait dengan rencana pencapaian lifting 1 juta barrel di tahun 2015 ini. Pada masa tersebut juga disebutkan, salah satu penyebab belum dapat naiknya lifting pada masa itu adalah karena masa tersebut masih merupakan persiapan ekspolitasi dimana pembangunan infrastrukturnya sedang dibangun khususnya untuk daerah Cepu.

Janji indah pemerintah tersebut ternyata saat ini memang hanya menjadi sebuah janji indah yang tidak jelas realisasinya. Setelah melewati masa Pemilu, transisi kepemimpinan yang lancar dari Pemerintahan SBY-Boediono ke Jokowi-JK, dan masa kerja 100 hari pertama dari Pemerintahan Jokowi-JK, maka fakta yang dapat dilihat dan diperhatikan oleh masyarakat adalah besaran lifting per Februari 2015 hanya berkisar di angka 720 ribu barel/hari dari asumsi lifting di APBNP 2015 sebesar 820 ribu barel/hari.

Kinerja lifting ini menunjukkan sebuah degradasi yang sangat signifikan dari para pelaku bisnis minyak ini. Masih tercatat dalam 5 tahun lalu, Indonesia masih bisa mentargetkan angka 925.000 barel/hari yang terus menurun sampai hari ini. Apabila kemudian topik ini diangkat dalam sebuah diskusi publik maupun akademik, sudah bisa dipastikan bahwa akan muncul banyak argumen yang akan memberikan analisa yang pro dan kontra  dalam menyingkapi fenomena tersebut. Tapi kembali analisa tersebut, nasibnya akan seperti yang sudah-sudah dan akan hanya menjadi wacana saja bagi para pengambil keputusan.

Kondisi penurunan lifting secara konsisten dan diikuti dengan ketidakpastian tindakan yang diambil jelas menunjukkan bahwa Indonesia saat ini sedang dalam berada kondisi darurat di industri migas ini.

A. Dampak

Sebelum membahas mengenai penyebabnya, maka akan dibahas terlebih dahulu mengenai dampak dari kondisi industri migas Indonesia.

1. Migas sebagai salah satu penyumbang terbesar devisa negara

Sudah sejak lama, Pemerintah menempatkan Migas sebagai sumber pendapatan negara kedua setelah penerimaan pajak. Sesuai dengan Nota Keuangan APBN 2015, penerimaan SDA termasuk di dalamnya migas mencapai angka 241 triliun pada APBNP 2014 dan direncanakan meningkat menjadi 254 triliun pada APBN 2015. Kondisi tersebut sesuai dengan angka lifting yang sudah disampaikan sebelumnya dengan selisih lifting minus 180 ribu barel/hari menjadi sangat berat untuk bisa dicapai.

Kesulitan mencapai lifting tersebut jelas nantinya akan mempengaruhi postur belanja negara yang mendukung percepatan pembangunan infrastruktur Indonesia. Dengan berkurangnya pendapatan dari sisi penerimaan SDA ini maka akan sulit bagi Pemerintah Jokowi - JK untuk menjaga tingkat pertumbuhan negara yang selama ini dibangga-banggakan oleh Pemerintah dan sekaligus jelas akan memperlambat pembangunan di berbagai daerah.

2. Migas sebagai industri yang menyerap tenaga kerja

Sesuai data dan pengamatan yang ada, perusahaan-perusahaan migas merupakan perusahaan yang menyerap tenaga kerja yang cukup banyak dan disertai tingkat gaji yang lebih tinggi dibandingkan industri lainnya. Secara teori maupun praktek, dapat dipastikan bahwa dengan penurunan lifting tersebut akan membawa dampak adanya proses efisiensi pada perusahaan K3S di Indonesia. Terlebih lagi pada perusahaan K3S yang nasib kontraknya masih belum jelas padahal waktu masa akhir kontrak sudah mendekati. Dengan kondisi tersebut, sudah bisa dipastikan perusahaan K3S akan mengambil tindakan efisiensi demi menjaga ketahanan cash flow perusahaan. Berdasarkan informasi yang ada pada tahun ini ada rencana jumlah tenaga kerja di industri migas Indonesia sebanyak 32.000 orang, dan ternyata melihat perkembangan yang ada rencana tersebut mungkin bisa turun sampai ke angka belasan ribu jiwa.

Proses efisiensi ini bukan hanya terjadi di perusahaan K3S itu sendiri, akan tetapi juga terjadi pada perusahaan services yang selama ini menjadi kontraktor pendukung kegiatan operasi dari para K3S. Dengan slow down-nya industri ini, maka perusahaan service juga pasti akan terkena dampak dan ujungnya yang menjadi korban adalah kembali karyawan itu sendiri.

3. Migas telah menjadi salah satu kebutuhan pokok rakyat Indonesia

Dengan kemajuan teknologi, baik dari sisi transportasi, komunikasi, dan bidang kehidupan lainnya maka keperluan masyarakat akan migas menjadi sangat tinggi.  Migas dalam bentuk BBM yang berguna untuk menjalankan mobilitas sehari-hari, untuk membangkitkan listrik, dan untuk banyak hal lainnya. Kondisi ini jelas mengharuskan pemerintah berusaha keras supaya tidak terjadi kelangkaan migas tersebut. Beban pemerintah menjadi bertambah manakala jumlah kendaraan setiap tahun meningkat, jumlah orang memasang listrik dan menambah daya setiap tahun meningkat sampai pada jumlah pesawat udara dan kereta api yang setiap tahun juga bertambah. Ini semua membutuhkan migas sebagai tenaga penggeraknya.

Apabila eksploitasi migas kita melemah, maka sudah seharusnya pemerintah menambah impor kita yang saat ini sudah menyentuh angka 1,5 juta barel/hari. Yang artinya rupiah kita akan semakin banyak yang dibelanjakan ke luar negeri.  Hal ini jelas akan memberatkan roda ekonomi negara kita.

B. Penyebab

Dari dampak tersebut diatas, dapat kita baca bahwa industri migas yang sedang darurat ini dapat menjadi beban yang sangat berat bagi perekonomian negara. Dan apabila tidak diatasi segera oleh para pemimpin negara ini, maka bukan tidak mungkin luka rakyat akan semakin bertambah seiring dengan berjalannya waktu.

Tapi sesuai teori yang ada telah disebutkan bahwa, untuk menyelesaikan sebuah permasalahan, pasti harus diidentifikasi penyebabnya baru kemudian dirancang solusinya.  Kembali terkait kasus migas, maka ada beberapa penyebab yang diduga menjadi pokok permasalahan yang ada, diantaranya:

1. Faktor UU

Sampai saat ini, industri migas masih mengacu pada UU no 22 tahun 2001. Padahal sudah banyak bagian dari UU tersebut yang sudah tidak lagi cocok dengan kondisi saat ini, misalnya yang terkait dengan kelembagaan BP Migas yang dibubarkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi dan juga keterlibatan daerah penghasil untuk dapat juga mengawasi dan mendapatkan manfaat dari keberadaan sumur migas.

Perdebatan demi perdebatan telah dilakukan baik dari level DPR RI, Kementerian ESDM, akademisi, sampai masuk ke ranah acara ILC (Indonesia Lawyer Club), para ahli semua telah mengeluarkan pendapat dan sepakat bahwa UU migas yang telah bertahun-tahun masuk prolegnas DPR untuk dibahas tersebut harus segera direvisi. Tapi apa daya, sampai hari ini pun masih wacana.

2. Faktor Kelembagaan

Melanjutkan pembahasan mengenai UU tersebut diatas, maka selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah faktor SKK migas yang memiliki tugas untuk mewakili negara untuk berkontrak dan mengawasi jalannya kinerja K3S di negara kita. Saat ini, seperti juga yang sudah kita pahami banyak pertentangan yang terjadi pada SKK migas ini, mulai dari dasar hukum pembentukannya, pola penganggarannya, kasus korupsinya dan yang terbaru adalah mengenai masih sangat terbatasnya personil pimpinan SKK migas tersebut. Saat ini berdasarkan pengamatan, sekurang-kurangnya ada 3 posisi pimpinan yang lowong, yaitu wakil kepala dan 2 deputi.

Dengan tidak jelasnya dasar hukum SKK migas, padahal fungsinya sangat krusial, maka dapat dipastikan SKK migas telah kehilangan kuku untuk mengawasi dan melecut para kontraktor K3S untuk melakukan kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka mengangkat lifting migas tersebut.

3. Ketidakpastian status kontrak

Hal lain yang juga menjadi perhatian adalah mengenai status kontrak dari para kontraktor tersebut. Sudah banyak sekali usaha yang dilakukan oleh kontraktor untuk memenuhi kewajiban dalam rangka memperoleh kontrak atau memperpanjang kontrak yang ada. Akan tetapi SKK migas dan Kementerian dalam beberapa kasus cenderung lambat dalam mengambil keputusan, seperti kasus Mahakam. Dimana sebaiknya, siapapun yang dirasa mampu oleh pemerintah untuk mengelola sebaiknya segera diputuskan, sehingga kepastian segera didapat dan lifting dapat ditingkatkan kembali.  Saat ini ada puluhan kontrak baik yang baru maupun lama sedang dalam kasus menunggu keputusan tegas dari pemerintah.

4. Harga minyak dunia yang menurun

Terkait dengan turunnya harga minyak dunia pun memang memberikan kontribusi atas timbulnya kondisi darurat migas Indonesia ini. Hal ini terkait dengan skala ekonomi dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang nilainya besar. Semakin rendah nilai minyak dunia, maka semakin tidak feasible industri hulu migas ini.

C. Kesimpulan

Tulisan kali ini, seperti yang telah disampaikan di pendahuluan, hanya memetakan dampak dan penyebab dari kondisi darurat migas di Indonesia. Permasalahan ini apabila tidak segera diselesaikan hanya akan menimbulkan lebih banyak lagi efek domino ke sektor-sektor kehidupan yang lain. Jadi apabila ditanya solusinya adalah ketegasan dan kecepatan dalam mengambil keputusan. Dan ini yang kita tunggu dari pemerintahan Jokowi - JK beserta jajaran kabinetnya yang ada. Sebagai rakyat kami hanya bisa berdoa dan berharap

Jakarta, 6 Maret 2015

Wass

Dr. Erwin Suryadi, ST, MBA

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun