Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary

Bersama atau Tanpa Tingkatan Nol?

24 September 2022   07:55 Diperbarui: 17 Oktober 2022   10:30 183 2
Bentuk-bentuk kehidupan bendawi memungkinkan dirinya untuk menjamin kelangsungan eksistensi lain dalam alam yang berkelanjutan.Orang tidak dipaksa untuk mengakui sejumlah variasi pilihan dan juga tanpa beban untuk menghormati perbedaan kondisi yang dipilih secara silih berganti kedatangannya.

Kondisi hidup yang kemungkinan dijalani oleh orang akan memilih mana paling tepat dengan tidak mengabaikan mata, telinga, dan mulut menuju bentuk, yang untuk 'sementara waktu' bagi manusia dalam suasana riang gembira.

Tatkala saling tertarik, mereka tidak mampu untuk bertahan jika berada dalam ketunggalan kondisi.

Berkat variasi hidup yang tetap mempertahankan eksistensinya mampu bergeser sejauh mungkin. Ia menegaskan perubahan kondisi hidup telah menghasilkan lonjakan pertama dari penurunan menuju kekuatan wujud renik yang berkelanjutan.

Dari proses berlanjut hingga satu makhluk hidup mewujudkan diri dalam eksistensi baru, yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan metamorfosisnya. Ia nampak sealamiah mungkin ketika orang mempersiapkan dan membawa kerentangan kontinuitas dalam waktu.

Dalam keseluruhan proses dimulai dari 'larva'. Ia terus menjadi 'kepompong', akhirnya suatu saat berbiak menjadi 'kupu-kupu'. Makhluk hidup berupa jaringan renik paling tidak meraih pergantian generasi akan mengubah secara gradual dari satu perubahan ke perubahan lain, sehingga ia akan melengkapi sejumlah struktur dan karakter makhluk hidup dari seluruh yang telah mengawalinya.

Kita tidak melihat lagi bentuk kelonjakan dan penurunan sesuai bidang koheren dan solid, yang mereka rajut semata-mata hasil dari satu pembentukan kontinuitas berhadapan dengan wilayah kompleksitas dan kesempurnaan eksistensi tidak diragukan nampak lebih berbeda.

Perlintasan durasi atau waktu bukanlah jaminan dari seseorang atau pengambil kebijakan yang lebih tinggi untuk membawa satu kontinuitas penurunan jumlah kasus tertentu paling kritis sepanjang sejarah.

Kontinuitas bukanlah kekuatan manusia untuk menghilangkan tahapan kritis dalam hidupnya, melainkan ketersedian waktu bagi orang-orang untuk menjalani kehidupan berbahaya.

Manusia tidak bisa memainkan apapun tanpa kuasa waktu ketika tidak mempermasalahkan lagi tanda-tanda kontinuitas, entah itu diabaikan atau dibiarkan menghilang dalam variasi kehidupan. Kondisi hidup yang dipilih oleh orang dalam durasi kembali meninggalkan jejak-jejak dan tanda-tanda perubahan waktu yang tidak berhenti, selanjutnya memungkinkan kita mengenali hal-hal terlupakan, jelas, dan samar wujud lahiriahnya.

Di tengah wara-wiri pembicaraan mengenai lonjakan kasus corona, terdapat berita gembira datang dari pesohor negara papan atas. Berita gembira sebagai ekspresi dari dalam diri seseorang.

Wajarlah, jika dalam peristiwa kehidupan, setelah kesulitan muncul kemudahan, dari kelonjakan ke penurunan. Kelonjakan dan penurunan bukanlah menyangkut harga pasar. Kondisi yang diberitahukan oleh intitusi negara atau media adalah menyangkut kecenderungan penurunan kasus corona sebagai efek pembatasan mobilitas di sejumlah titik daerah dalam zona bahaya.

Pada hari mendatang, kita seperti sekian banyak jejak yang ditinggalkan di belakangnya berputar arah pada laju penurunan kasus menuju fase endemi.

Sudah tentulah, ia diharapkan membawa berita gembira di banyak kalangan berdasarkan data yang tersedia sebagai bagian dari rangkaian peristiwa-peristiwa menantang hanya bisa dipahami saat kita bergelut didalamnya. Selebihnya, ia hanyalah ambang batas representasi yang luwes dalam dirinya sendiri saat ia tidak berhubungan lagi dengan kontinuitas, ingatan, dan durasi, yang sesungguhnya tanpa disadari telah membebankan tanda-tanda perubahan.

Penurunan mobilitas masyarakat yang bertumpu pada rutinitas kegiatan individu ternyata berada dalam kode atau tanda tertentu. Warna menjadi kode-tanda, yang jejak dan bekasnya berupa merah yang meruang disebut zona menunjukkan kasus yang tinggi.

Sementara, warna kuning menunjukkan zona sedang atau perlahan-lahan menurun jumlah kasusnya. Dari zona merah ke zona kuning itulah sedang terjadi penurunan kasus. Apakah hal tersebut merupakan netralitas peristiwa?

Kata lain, kelonjakan dan penurunan mobilitas terletak pada manusia, entah itu secara kolektif atau individual. Waktulah yang berbicara! Dalam netralitas peristiwa menyediakan tanda implikasi dan tanda indikasi yang mendukung atau tidak atas tanda-tanda perubahan.

Keseluruhan kontinuitas tidak terletak pada alur perubahan, karena bisa saja dalam taraf diskontinuitas kehidupan lebih dekat pada perubahan tertentu. Perpadua seluruh tanda yang melekat pada implikasi dan indikasi, kontinuitas dan diskontinuitas silih berganti menuju tanda-tanda perubahan.

Untuk hal yang terjadi dalam peristiwa yang disubyekkan, maka pilihan sementara jatuh pada tanda kegembiraan. "Hore!" Ia merupakan penggalan kata terakhir dari judul berita (yang dilansir dari laman wartaekonomi.co.id). Tanda seru dari konteks "Hore" dilipatgandakan dengan tanda indikasi menjadi kabar gembira sekaligus 'tanda ekspektasi' bagi warga global, tidak terkecuali Indonesia dari bayangan gelap bernama pandemi yang menghantui.

Bisa dikatakan, bahwa penurunan apalagi zero degree patient (tingkatan nol pasien) kasus corona merupakan dambaan sejagat tanpa kengelanturan retorik atau tanpa lelucon konyol.

Penurunan kasus juga merupakan bagian dari 'tanda implikasi' pembatasan mobilitas secara umumnya berlaku secara horizontal.

Pembicaraan yang sulit terelakkan dalam masa krisis menyangkut tingkat pencapaian zona aman atau normal, bukan 'zona nyaman'. Peran kuasa negara yaitu menciptakan normalisasi.

Masa krisis menciptakan pola perubahan. Dari berjalan sendiri atau berkerumun ke kerja dan belajar di rumah. Ada kondisi lain seperti 'pengurungan raksasa': isolasi, karantina, pembatasan masyarakat, dan bentuk pelarangan menjadi pendisiplinan lain.

Semua hal tersebut bisa juga dirubah melalui kerja intelektual dan sosial yang meraksasa. Kita bisa melihat peristiwa solidaritas global melalui media. Kita percaya bahwa begitulah bentuk ujian kemanusiaan.

Karena penurunan kasus sebagai tanda indikasi dan tanda implikasi dari model pembatasan mobilitas pada wilayah tertentu, bukan berarti tanpa 'titik celah' atau 'titik lengah" penerapannya. Misalnya, diturunkan yang satu, melonjak di daerah lain. Titik tolak ini menyangkut "penulisan tentang perbedaan ruang." Ia bisa teracak dalam perkembangan berikutnya.

Dalam perbedaan waktu, pada hari-hari dimana terjadi penurunan angka pasien sembuh hingga kematian dengan melihat beberapa kasus ternyata tidak menjamin semuanya bisa lolos dari 'satu pintu' penularan penyakit. Tetapi, 'pintu lain' setidak-tidaknya terlacak gejala-gejalanya. Begitu pula satu daerah dibatasi gerak-geriknya, daerah lain memiliki kecenderungan gambar terbalik.

Begitulah akan terjadi jika tanda multisimplitas-'serba disederhanakan' peristiwa pandemi karena tanda indikasi juga memengaruhi mode berpikir dan tindakan pengetahuan individu dalam relasi timbal-balik.

Tanda kegembiraan tidak berlawanan dengan kesedihan. Tanda dari tanda yang sama. Penanda sakit bukanlah menular ke yang sehat, melainkan daya imunitasnya sendiri merosot. Bukankah demikian dalam ilmu kedokteran?

Orang lain tidak akan tertular, jika daya imunitas kuat, sebaliknya juga demikian. Kita kembali, bahwa tanda kegembiraan melawan kegembiraan itu sendiri. "Hore" sebagai tanda kegembiraan mengandung 'celah'.

Dari "Hore!" menuju "Halo" yang berada di luar wilayah pembatasan kegiatan masyarakat. Re-zonasi ataukah de-zonasi merupakan pilihan untuk diterima atau ditolak terletak dari masing-masing individu.

Kita lebih penting menyerukan tanda kegembiraan, "Hore!" Daripada kita berlarut-larut dalam keperihatan, lebih penting bagaimana memastikan diri kita dalam kondisi sehat.

Terlepas dari kata-kata dan benda-benda, ekspresi "Hore"-teks-suara-pandemi" berbeda dan sudah jelas kekontrasannya dengan konteks "Hore" dalam Piala Euro 2020. Babak final, kata "Hore" lagi pasang, bertubi-tubi datang dari penonton sejagat.

Tanda kegembiraan tidak untuk mereduksi "suasana batin," karena setiap tanda ekspresi dan implikasi hanya bisa ditandai melalui permukaan tubuh, titik dimana ekspresi dan implikasi menjaminkan ruang kosong lenyap dalam bunyi ujaran.

Perbedaan tanda kegembiraan dari dalam dirinya sendiri terletak pada seseorang yang mengekspresikan tanda ke taraf permukaan, sehingga yang ada tidak lebih dari 'pemilahan esensial' dari seluruh tanda ekspresi dan tanda perubahan lain.

Seluruh tanda kegembiraan ("Hore! Tanda seru") bersama keterbalikannya muncul dibalik ide atau dari fantasi, imajinasi, hasrat, dan pikiran yang diimplikasikan melalui permukaan dalam wujud aktual.

Tanda kegembiraan mensubversi ruang kosong dalam bentuk kepura-puraan dan kesekonyong-konyongan diantara peristiwa yang tidak berpihak pada siapapun. Kompleksitas, implikasi, dan indikasi ada dan menghilang dalam peristiwa.

Hal demikian menandakan kata-kata dan benda-benda maupun pihak yang berada dibaliknya menempatkan dirinya dalam 'ketidakhadiran netralitas'. Kecuali di kalangan profesional dan aparatur negara memungkinkan terjadi kemunculan 'netralitas yang tidak netral', entah secara halus maupun terang-terangan.

Dalam kasuistik, pelipatgandaan ketidaknetralan tanda kegembiraan saat tujuannya tercapai. Tanpa berlebih-lebihan, netralitas peristiwa melingkupi dirinya dengan ujaran dan tindakan ketidaknetralan.

Penurunan mobilitas yang berimplikasi terhadap jumlah kasus itulah terlebih dahulu terpenuhi datang dari tanda ketidaknetralan.

Kita bisa membayangkan apa jadinya jika orang-orang berada dalam kenetralan dalam kondisi yang tidak normal. Bisa saja, bukan terjadi penurunan jumlah kasus malahan melonjak dari hari ke hari.

Sementara "Hore", dari penyorak sorai atau bukan, 'suara-tulisan tidak terucapkan' atau "terucapkan secara verbal' melalui basis material: di atas mimbar, di belakang meja, di depan media cetak dan elektronik, dalam ruangan rapat, dan ruangan lain, semuanya memiliki tingkat ketidaknetralan yang berbeda-beda. Ia tergantung kedalaman ucapan dan permukaan teks yang terekspresikan ke permukaan melebihi kenampakan benda-benda yang menyertainya.

Dari sini, ekspresi suka cita atau tanda kegembiraan dari sesuatu yang dikuantitaskan. Kata lain, pergerakan tanda ekspresi dan tanda implikasi ditandai dengan pendekatan kuantitatif yang dikualitatifkan.

Kabar gembira apapun bentuk ekspresinya bersifat kualitatif. Kehadiran angka-angka atau skala numerik bersifat kuantitatif yang menunjukkan tanda perubahan meningkat atau menurun dipertegas dengan grafik kemajuan peristiwa.

Mengapa tumpang tindih? Tanda ketumpang-tindihan terjadi dalam 'pilihan' antar konsep, antar kebijakan, antar episentrum penularan, 'prioritas penanganan', antara kondisi yang satu dan kondisi lain, yaitu 'krisis dalam krisis' (ada kemungkinan terjadi krisis iklim, krisis pangan atau krisis ekonomi) hingga 'ancaman dalam ancaman' atau 'gangguan dalam gangguan'.

Multiplisitas ketumpang-tindihan perlu dihindari dengan cara pelipatgandaan kondisi. "Mereka sehat, kita juga sehat. "Kami sehat, Anda semua sehat." Ketepatan pilihan memengaruhi tanda ekspresi seperti kegembiraan.

Marilah kita menjalani kondisi sehat dan ujian lain dalam kesyukuran yang berlipat ganda!

Kemunculan zona kesehatan dipengaruhi oleh ketumpang-tindihan. Bukan berarti yang busa kita lakukan pengabaian total.

Tetapi, secara bertahap hingga ekspresi suka cita betul-betul terjaga tanpa terkondisikan dari luar. Syaratnya antara lain penciptaan kondisi diri untuk keluar dari tanda ketumpang-tindihan menuju tanda lain.

Jika terjadi tindakan pengabaian protokol kesehatan ditambah ketidakpedulian terhadap imunitas diri akan muncul konsekuensi orang-orang lebih mudah tertular virus dibandingkan suka rela dalam kepatuhan.

Kita sadar bahwa inti permasalahan bukanlah sangkut paut netralitas peristiwa menjadi model miniaturisasi peristiwa pandemi melalui layar virtual atau media sosial.

Ruang siber menjadi ruang kemunculan suka cita, "Hore!" Ia bersama duka cita, nikmat atau galau, mengetahui atau tidak mengetahui. Kata "Hore" begitu nyata, sehingga tidak ada lagi oposisi duaan antara "di luar" dan "di dalam" dunia.

Penurunan dan tingkatan nol memang tidak terletak pada ketersediaan model miniaturisasi virus yang disaksikan oleh ribuan bahkan jutaan mata orang-orang dan mata kamera digital, tempat kata-kata dan benda-benda lebih hidup dari yang alamiah.

"Hore!" Harapan bersama. Mesin riang gembira menyesuaikan pada penurunan rasa sakit dimulai dari tingkatan nol. Disinilah mungkin kita diuji dengan ketumpang-tindihan dihadapi dalam ketenangan diri yang luar biasa.

Sebarkanlah suara'-"Hore!" Dari satu zona ke zona hijau, yang pada akhirnya menghilang dalam zona itu sendiri; dari diri individu hingga di ujung cakrawala.

Lain halnya, ketika hidup kita laksana mesin yang bergerak secara ketat dan longgar. Bersama alam, manusia bergerak secara mekanis yang dialamiahkan atau alamiah yang mekanistik.

Sekitar kurang lebih dua tahun, penduduk dunia menggunakan masker di era pandemi. Mesin tersebut yang kita kenal bukanlah mesin berdasarkan materi, melainkan sesuatu yang bersifat abstrak. Suatu 'mesin atas mesin' yang tidak bisa direduksi oleh "bio-mesin" (imajinasi, fantasi, mimpi, ilusi, dan hasrat menurut pandangan oleh Gilles Deleuze dan Felix Guattari). Tatanan mesin mampu menghidupkan kekuatan penampilan tubuh dalam lingkaran dan putaran bolak-balik tanpa ujung pangkal.

Bagaimana pun, kita tetap tidak akan melupakan kekuatan dalam konsep dan obyek yang betul-betul ada ketika peristiwa sudah tidak di situ lagi. Ia melampaui Cogito Cartesian. Penyelesaian atas kompleksitas permasalahn kehidupan yang telah terpecah-pecah dipercaya menjadi sesuatu yang bisa menyelamatkan kita melalui cara penciptaan, penundaan, dan pembalikan.

Semuanya bisa keluar dari bayang-bayangnya sendiri setelah mengalami taraf metamorfosis, dari 'yang tertutup' ke 'yang terbuka', dari 'nyata' ke 'paling nyata' di dunia. Dibalik segala hal yang dibentuk oleh bayang-bayang akan dilenyapkan oleh tingkatan nol hingga ampas relasi-relasi kehidupan di sekitar kita menumpuk menjadi ancaman kepunahan tidak pernah lagi dibicarakan.

Banyak sudah berubah dan berlalu dalam hidup dan kehidupan manusia, dibandingkan tahun-tahun sebelum masa krisis berlangsung di tengah rangkaian peristiwa bersifat dinamis, kompleks, dan cair.

Tetapi, era pandemi belum berakhir setelah melewati babakan awal abad kedua puluh satu. Satu-satunya kegembiraan di abad krisis adalah bagaimana merahi kembali harapan masa depan umat manusia.

Kita tidak ingin melupakan kontrol diri terhadap keterlibatan fenomena kemunculan kembali tingkatan nol malapetaka dan krisis, kecuali kebangkitan manusia dari ancaman kepunahan di tengah kontinuitas alam.

Kekuatan manusia menyelinap dalam ruang simulasi secara teliti dan lihai tanpa ilusi dan kekosongan. Setiap teks dibangun dan dialirkan tidak pernah mengapung bebas dan dalam keplinplangan ucapan, mental, dan tubuh yang plural tidak bisa dikatakan melalui penampilan tren dan mode wujud.

Seluruh rangkaian peristiwa kritis dan suksesif, ironis dan fantastis dalam kehidupan diletakkan kekuatan rangsangannya. Peristiwa yang kita hadapi seakan-akan menyatakan hal yang sebaliknya.

Selain perbedaan dan pengulangan dalam pandangan Gilles Deleuze (2004 : 186), bahwa peristiwa permainan bukan berarti membutuhkan tingkatan nol, yang menempatkan manusia dan alam menjadi eksistensi "penanda yang mengambang." Individu membentuk sendiri masa depannya melalui relasi-relasi baru sesuai apa yang telah dilahirkan atau apa yang telah diciptakan saat ini untuk mengukuhkan keberadaannya.

Kehidupan yang tidak pernah terusik dengan segala rangsangan 'ruang gaya' dalam mekanisme disipliner yang diperhadap-hadapkan dengan mekanisme simulasi tanpa bobot yang menguatkan posisinya menjadi perangkat relasi yang melingkar dan saling-silang.

Kemunculan pandemi memainkan kelenyapan dunia kasat mata. Jika kontrol dan pengawasan diri memberi kita ruang ekspresi untuk membuka segala pengekangan, ketika orang dewasa, remaja, dan anak-anak mematuhi protokol kesehatan melalui penggunaan masker sesuai 'wujud asli' dilipatgandakan oleh mesin simulasi. Ada orang mengatakan bahwa segala hal telah dibuka seluas-luasnya tidaklah sekejap menjadi utuh.

Pencapaian hidup pada tingkat ketenangan melibatkan tingkatan nol dari kepicikan berpikir dan kejahatan lain.

Tetapi, tingkatan nol dalam tanda-tanda kehidupan bukanlah permasalahan tentang ruang tanpa bobot.

Simulasi merupakan ambang batas tanpa bobot yang bisa disusun, dibagi ulang, dan dipastikan keberadaannya dimulai dari tingkatan nol.

Michel Foucault (1972 : 124) melihat proses pemerosotan kehidupan melibatkan tingkatan nol hingga tidak ada lagi kebersisaan ingatan yang dapat diterapkan.

Misalnya, penggunaan seperangkat masker untuk memperoleh tubuh yang terlindungi diri seseorang dari bahaya pandemi. Hidung dan mulut di sekitar wajah terkurung dalam lingkaran dunia perseptual, tempat dimana jejak dan tanda efektifitas alat perlindungan diri.

Meskipun orang-orang berbicara tentang mekanisme simulasi hingga terselipkan dalam mode kehidupan, tetapi mereka tetap tidak berharap jika pembebanan eksistensial memerlukan simpul-simpul yang menyebar ke berbagai arah.

Simpul-simpul apa yang disebut 'produk tidak terpikirkan' sebelumnya, yaitu hasrat untuk bebas dari bayangan gelap yang tersembunyi di balik simpul-simpul sebelumnya.

Pembebasan hasrat dari belokan-belokan pembatasan sosial di bawah tanda dan jejak yang saling berlawanan arah. Sedikit memberi bekas hari ini, makin banyak esok harinya, dari esok kembali berkurang dan menghilang di hari berikutnya.

Dari tanda zaman didandani bentuk dan gaya perlindungan diri berada dalam keterbalikan, dalam ujaran tentang pergumulan yang berbeda perlahan-lahan kecurigaan mulai berkurang terhadap kontrol dan pembatasan diri.

Apa jadinya kontrol dan pembatasan tubuh individual bukan lagi tubuh? Kekuatan penampilan tubuh dikuatkan dengan hasrat untuk bebas dari tembok ekspresi di balik benda-benda yang kasat mata.

Akhirnya, saat kecurigaan berangsur mulai berkurang, keterlibatan eksistensi kolektif dan individual yang lugu ditukarkan dengan hasrat untuk bebas nampaknya kekuatan penampilan tubuh yang diketatkan kontrol dan pengawasan padanya juga mulai dilepaskan satu demi satu.

Lingkaran dan putaran bolak-balik tanpa akhir masih lebih jauh dari pengertian 'menjadi manusia' daripada membuat sesuatu menjadi material atau kasat mata, tetapi sesungguhnya tidak utuh kekuatannya.

Tetapi, kekuatan ucapan dan teks-tubuh saja bisa bergerak dinamis berarti pergerakan kehidupan seperti rehat sejenak diselingi dengan hingar-bingar, teror, malapetaka, koma, kegairahan, dan ketenangan hingga menempuh tahapan selanjutnya.

Kehidupan dinamis merupakan cara terbaik untuk bergerak tanpa langkah surut, melainkan mengelola dan memanfaatkan titik tolak. Masa-masa dimana manusia tidak lagi menggunakan masker sebagai titik tolak untuk mengakhiri produksi pengurungan besar, produksi ketakutan, dan kekusutan bukan main.

Produksi terbesar di era pandemi adalah paradoks, yaitu bertemunya produksi kekalang-kabutan dan solidaritas. Tidak ada pun orang yang bisa lama terpejam matanya dalam dua puluh empat jam.

Mata global tertuju pada dirinya karena konstelasi caostik dan krisis. Ia tidak pernah luput dari keadaan yang mengitarinya dengan rezim diskursus yang membuka pergerakan dirinya untuk mengaliri dan memasok bentuk, gaya, dan efek-efeknya di setiap ruang yang disingkapnya.

Secara khusus, kelahiran eksistensi kolektif dari protokol kesehatan menghadapi kemungkinan peristiwa kelenyapan realitas corona tahap demi tahap menyelemuti pembebasan hasrat sosial dari penggunaan masker. Menurut laporan, untuk sementara sudah delapan negara terbebas dari masker (mask-off, mask free) (Alomar : 2021).

Daripada orang-orang hidup tidak serba berkecukupan bermimpi untuk lebih mengerti bagaimana gerangan mesin kecerdasan artifisial (AI), lebih baik menyibukkan diri untuk mendengar musik, menikmati masakan sendiri, membaca buku, dan berharap akan segera berakhir segala beban hidup. Jadi, bukan permasalahan zona merah, zona hijau, dan lain, bukan gelombang kedua atau gelombang berikutnya.

Di kalangan yang masih memegang teguh logika pragmatis dan kalkulatif, mereka akan memilih prioritas ekonomi dibandingkan kesehatan (Zizek : 2020).

Pencarian jalan keluar pun bagian dari pilihan.  Karena itu, kita mencari pilihan lain dalam kehidupan yang berbiak.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun