Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Secangkir Kopi dan Sepotong Sagu Bakar Menemaniku Membaca Cuitan Gubernur Papua

17 Februari 2022   16:18 Diperbarui: 17 Februari 2022   16:26 630 7


Tadi sore saya duduk sejenak di belakang rumah yang kebetulan menghadap ke danau Sentani sambil menikmati secangkir kopi dan memakan cemilan Papua sagu bakar. Kopi yang saya nikmati merupakan hasil bumi dari Pegunungan Bintang yang enaknya bisa dikatakan waaauuuu dan lagi sagu bakar yaang juga hasil alam dari Sentani tempat asal saya.

Kenikmatan kopi panas dan tambahkan dengan sagu bakar ini memiliki makna bahwa tanah Papua merupakan surga kecil yang jatuh dari bumi. Tanah yang subur menghasilkan hasil bumi yang melimpah.

Kopi yang berasal dari Pegunungan Bintang tidak dikerjakan oleh tenaga asing (luar Indonesia) dan juga tenaga dari luar Papua, tetapi dikerjakan langsung oleh masyarakat lokal setempat dengan memetik, menguliti kulitnya, menjemur, menguliti lagi kulit dalamnya, menjemur, menggoreng dan menumbuknya menjadi ampas kopi yang siap disaji. Masyarakat tidak mengerjakan dengan alat-alat canggih namun semua dikerjakan dengan peralatan seadanya namun menghasilkan kenikmatan kopi yang begitu enak.

Begitupun sagu bakar. Masyarakat dari luar Papua dan luar Indonesia tidak bisa mengerjakan tetapi masyarakat Papua sendiri yang bisa menghasilkan ini. Menebang pohon sagu, menguliti, membela pohonnya, menogok, ampasnya diramas dan menghasilkan sagu yang bisa dibuatkan papeda dan sisanya sagu dikeringkan lalu dibuatkan sagu bakar. Semua dikerjakan dengan peralatan seadanya namun menghasilkan makanan pokok yang sangat sehat.

Namun saya dikagetkan dengan salah satu cuitan dari gubernur Papua yang mengatakan masyarakat Papua merupakan masyarakat yang tidak bahagia di seluruh dunia.

"Orang Papua tidak hidup dalam kebahagiaan. Intan Jaya menangis, Puncak menangis, Nduga menangis, Pegunungan Bintang menangis, dan Maybrat menangis. Orang (Papua) menangis. Orang (Papua) tidak hidup aman di negeri kita sendiri. Kami lahir bukan untuk itu," ujar orang nomor satu di bumi cendrawasih.

Salah satu penulis terbaik Andreas Laksono pun mengutip ulang kata-kata gubernur Papua dalam cuitan pada hari Rabu, 09 Februari 2022.

"Kehidupan orang Papua tidak bahagia. Orang Papua tidak happy di seluruh Papua. Di seluruh muka bumi ini yang tidak happy itu orang Papua. Kamu catat itu," katanya dalam video yang diunggah ulang oleh wartawan senior, Andreas Harsono di akun Twitter-nya.

Hal senada juga disampaikan oleh salah satu figur Papua yang juga mantan Komnas HAM Natalius Pigai dalamnya cuitannya pada hari kamis, 10 Februari 2022.

"Gubernur Lukas Enembe: Orang Papua tdk bahagia hidup. Saya tidak pernah bosan-bosan meminta Jokowi buka kran demokrasi (Dialog)," kata Natalius Pigai, seperti dikutip dari cuitan akun Twitter pribadinya @NataliusPigai2.

Cuitan dari dari gubernur Papua, wartawan senior Andreas Laksono dan Natalius Pigai semua ada chemistry-nya. Mengapa pada saat itu mereka tiga tidak menikmati secangkir kopi dan sagu bakar lalu menyampaikan hal tersebut. Seandainya jika mereka melakukannya konsepnya akan berbeda. Namun, kutipan ketiga orang tersebut ada artinya yang sangat mendalam dan hanya satu makna penting dari cuitan tersebut, maknanya adalah "Orang Papua Saat Ini tidak bahagia".

Ketika anda ingin bermain sepakbola, namun saat itu sepatu andalan anda yang mengantarkan anda menjadi pemain profesional hilang dan anda diminta untuk harus main walaupun tidak mempunyai sepasang sepatu. Pasti anda terpaksa bermain sepakbola tanpa menggunakan sepatu dengan melanggar aturan. Saat pertandingan selesai kaki anda rusak karena diinjak lawan bahkan beberapa jari anda patah. Anda menjadi cacat seumur hidup. Bagaimana perasaan anda saat itu. ? Itulah sedikit perasaan masyarakat Papua.

Masyarakat Papua dipaksa hidup di tanahnya yang penuh dengan emas namun sudah ambil orang, hutan mereka yang dahulu penuh dengan lahan kopi dan sagu kini dibabat habis untuk bisnis liar yang mereka tidak tahu. Mereka berteriak-teriak "kembalikan tanah kami" namun mereka ditangkap, mereka berkata kami ingin bahagia di tanah kami tetapi mereka ditangkap dan diminta untuk bahagia di sekotak jeruji besi. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun