Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Cerai dari Gerindra, PKS Rajut Romantisme dengan Nasdem?

21 Februari 2020   15:08 Diperbarui: 21 Februari 2020   15:10 152 7
Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sosial (PKS) yang terjalin waktu Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu akhirnya harus berujung perceraian.

Berakhirnya romantisme kedua partai yang sebelumnya pernah disebut Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra, Prabowo Subianto sebagai teman segajah itu disampaikan anggota Fraksi PKS DPRD DKI, Dany Anwar saat berbincang sengan merdeka.com di DPRD DKI, Jakarta, Rabu (19/2/2020).

"Secara umum akhirnya memang setelah Pak Prabowo bergabung ke koalisinya Pak Jokowi dan Pak Prabowo menyatakan silakan partai koalisi saya untuk menentukan pilihan masing-masing itu sudah selesai urusan koalisi. Saat itu sudah selesai," kata Dany.

Menurut hemat penulis, perceraian kedua partai yang asalnya saling bahu membahu sebagai oposisi pada Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode pertama memang cukup bisa dipahami.

Pasalnya, sebagaimana diketahui bahwa Gerindra dan Prabowo yang dianggap sebagai leader oposisi malah berbelot dan bergabung dengan koalisi pemerintah. Bahkan, sebagai "bonusnya" mantan Danjen Kopasus ini diberi jabatan Menteri Pertahanan (Menhan). Satu lagi jabatan diberikan pada kader Gerindra lainnya, Edhy Prabowo yang didaulat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP).

Jelas, buat PKS sikap yang diambil Prabowo dengan Partai Gerindranya adalah sebuah pengkhianatan. Betapapun, PKS adalah satu-satunya partai yang konsisten mendukung Prabowo dan Gerindra berada di luar pemerintahan.

Bahkan, ketika partai-partai opisisi lainnya saat Pilpres 2014, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golkar, dan PAN kesengsem dengan posisi di pemerintahan hingga akhirnya bergabung dengan koalisi pemerintah, PKS bergeming dengan putusannya berada di luar pemerintahan.

Sedangkan khusus Demokrat, meski saat ini berada di luar pemerintahan hanya karena tidak diberi jatah saja di posisi pemerintah.

Ya, jika saja Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang kala itu digadang-gadang bakal diangkat menjadi Menteri dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM) oleh Presiden Jokowi akhirnya terwujud, penulis meyakini bahwa partai yang didirikan 27 Agustus 2003 ini akan turut bergabung.

Tapi, kembali politik itu tidak ada persahabatan atau pertemanan abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Jadi, penulis menilai, apa yang dilakukan Prabowo dan Gerindra adalah sikap yang wajar dalam politik.

Pastinya, langkah yang diambil oleh Prabowo ini tidak semata-mata tanpa dasar. Jelas merupakan hasil pertimbangan dan perhitungan matang, yang tentu saja bermuara pada kepentingan. Baik itu bagi dia pribadi, partainya atau bahkan bangsa negara.

Pun dengan PKS, langkah tegas yang diambilnya untuk tetap berada di luar pemerintahan, pastinya berdasarkan kepentingan atau target yang ingin dicapai. Salah satunya, bisa jadi mengharapkan simpati masyarakat dan akhirnya bisa mendongkrak perolehan suara pada pemilu mendatang.

Konsistensi ini pernah dilakukan PDI perjuangan, sewaktu SBY dengan Demokrat beserta koalisinya berkuasa.

Selama dua periode pemerintahan SBY, yakni 2004-2009 dan 2009-2014, PDI Perjuangan tetap konsisten sebagai partai oposisi. Hasilnya, partai yang dikenal dengan partai wong cilik ini sukses menjadi pemenang pemilu dua kali berturut-turut, yaitu pada pemilu tahun 2014 dan 2019 lalu.

Berkaca pada sukses PDI Perjuangan, mungkin ini pula yang diharapkan PKS untuk tetap konsisten sebagai oposisi. Meski untuk menjadi pemenang pemilu pada 2024 mendatang rasanya masih sangat berat. Tapi, setidaknya bisa mendongkrak perolehan suara.

Menjajaki kemesraan dengan Nasdem

Awal-awal dimulainya pemerintahan Jokowi-Ma'ruf serta dibentuknya KIM, Nasdem sempat memanaskan suhu politik tanah air. Betapa tidak, partai yang selalu gembar-gembor mendukung Jokowi dan pemerintahannya malah melakukan pertemuan dengan partai oposisi, yakni PKS.

Meski akhirnya ditepis Ketum Nasdem, Surya Paloh bahwa partainya akan tetap setia mendukung pemerintah, tetap saja peristiwa pertemuan Surya Paloh dan Presiden PKS, Sohibul Iman menjadi isu panas politik tanah air.

Pertemuan kedua pimpinan partai ini tidak hanya terjadi sekali, tapi hingga dua kali. Pertama di Kantor DPP Nasdem pada 30 Oktobet 2019. Lalu, giliran  Surya Paloh yang berkunjung ke Kantor DPP PKS, 29 Januari 2020.

Kembali, menurut hemat penulis, meski Surya Paloh dengan Nasdemnya berikrar untuk tetap setia pada pemerintah, tapi faktanya pertemuan dengan PKS sebagai oposisi tetap terjadi, bahkan setidaknya yang dapat disorot awak media hingga dua kali. Artinya, hal mustahil kalau dalam pertemuan itu tidak ada komunikasi politik.

Dalam pendapat penulis, bisa jadi pertemuan kedua partai ini akan dimanfaatkan PKS untuk mencari "pasangan" lain setelah bercerai dengan Gerindra. Bisa saja, bukan? Karena bagaimanapun, PKS membutuhkan sokongan agar posisinya di oposisi lebih kuat.

Dalam hal ini, sekalipun untuk sama-sama menjadi oposisi pemerintah, peluangnya cukup sulit. Setidaknya, PKS dan Nasdem bisa menjalin kerjasama pada jalur politik lain. Semisal berkoalisi pada ajang-ajang Pilkada yang rencananya akan diselenggarakan serentak pada Septembet 2020 mendatang.

Atau, tidak menutup kemungkinan berkoalisi di Parlemen senayan (DPR RI) untuk menjadi penyeimbang setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh partai koalisi pemerintah.

Ya, sekali lagi penulis tekankan, bahwa politik itu cair dan dinamis. Jadi, segala kemungkinan apapun bisa terjadi.

Wassallam

Referensi : sumber

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun