Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Dari Dunia Kata ke Kompasiana

27 Maret 2011   09:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:23 67 0
Dua bulan sudah aku bergabung di dunia lain. Dunia Kata. Sebuah dunia yang bergelimangan kata-kata, artikel, puisi, curhat, dan aneka tanya jawab. Di dunia ini aku menggembleng diri menjadi yang kuinginkan, seorang yang bisa nulis. Hey, bukankah kalau pernah sekolah berarti sudah bisa nulis? Komentar seorang teman. Tunggu dulu, kalau soal tulis menulis salinan catatan dari Bapak/Ibu guru sampai resume makalah dari Diktat Kuliah, oke ku bisa. Tapi ini soal tulis menulis yang lain. Aku ingin bisa menulis artikel. Artikel berupa opini yang layak baca.

Barangkali bagi sebagian besar orang menulis itu mudah, tinggal ambil pena dan sebuah buku kosong. Menangkap ide langsung jadi sebuah tulisan. Atau tinggal duduk di depan komputer, tangan di atas keyboard, pejamkan mata, datang ilham jadilah tulisan.

Tapi bagiku, uh.. ternyata menulis itu sulit. Sepertinya ada mental block yang mengatakan "Aku Tidak Bisa". Dan sungguh, aku harus berjuang keras untuk meghilangkan mental block tersebut.

Di sinilah aku, dalam Dunia Kata. Instrukturku bilang: Menulis itu adalah kebiasaan. Kalau ingin bisa menulis ya harus rajin menulis. Biasanya diawali dari menulis diari atau tulisan yang temanya seputar "aku". Dari situ bisa berlanjut kepada tema yang lebih berat dengan melihat realitas di sekeliling kita.

Di Dunia Kata ini banyak kutemui kawan yang sudah lama berkecimpung dalam dunia tulis menulis, bahkan sudah menghasilkan buku. Hal tersebut makin menggugah semangatku untuk terus belajar.

Tapi ternyata tidak mudah untuk konsisten menulis. Meski sudah kuupayakan untuk meluangkan waktu duduk di depan komputer, tidak mudah menangkap ide yang berhamburan di pikiranku. Aku masih saja kesulitan mengikat mereka dengan kata-kata. Ternyata benar ungkapan seorang teman: kalau pegen bisa nulis harus dibarengi dengan banyak membaca. Karena dengan membaca kita bisa mengenali cara-cara bagaimana seorang  penulis mengemukakan idenya.

Akhirnya aku terdampar di kompasiana. Hampir 2 bulan ini pula aku berkenalan dengannya. Tepatnya sejak 13 Februari 2011. Dia bisa kuibaratkan sekuntum bunga yang semerbak mewangi yang dihampiri beribu kumbang.  Dia bisa pula kuibaratkan sebuah jendela yang membawaku ke dunia impian. Warna-warninya sangat menggugah. Rasa  kebersamaan antar kompasianer bisa kulihat lewat komentnya yang hangat, meski hanya kenal di dunia maya, seakan teman dekat yang sudah kenal lama.

Kompasiana, dari banyaknya tema yang ditawarkan favoritku adalah Humaniora dan Fiksi. Dari lapak Humaniora aku mengenal nama-nama besar yang menginspirasiku sungguh; I Ketut Suweca dari Bali dan Johan Wahyudi dari Sragen. Dari lapak beliau berdua aku banyak belajar tentang bagaimana menuangkan gagasan dengan baik dan benar. Di sini kuucap "Terima Kasih" yang mendalam atas tulisan-tulisan yang menarik hati dan membekas dalam, membuatku pantang menyerah dalam belajar menulis.

Dari lapak Fiksi, kumengenal nama Fera Nuraini. Sejauh ini aku suka membaca tulisan-tulisannya, meski kadang tidak meninggalkan komentar. Aku suka fiksi, aku suka cerpen dan puisi. Meski yang kubisa baru menulis curahan hati, bukan fiksi tingkat tinggi.

Terima kasih kawan-kawan Kompasianer, yang mohon maaf tidak bisa kutuliskan satu-persatu namanya di sini... karena banyak sekali,

Terima kasih atas tulisan-tulisan yang senantiasa mencerahkan, kadang menghibur, dan kadang membuat terlena larut dalam suasana dalam cerita.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun