Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Peka pada Kondisi Keluarga, Karakter Anak yang Diharapkan pada Masa Pandemi

9 Mei 2020   18:25 Diperbarui: 9 Mei 2020   18:34 319 41
Krisis pandemi korona menggoncangkan stabilitas ekonomi banyak keluarga. Gara-gara ruang gerak dibatasi, pekerjaan sebagai sumber pendapatan keluarga lenyap. Situasi di keluarga pun ikut berubah.

Perubahan itu bisa dilihat, salah satunya, dari menu makanan yang disantap setiap hari selama masa krisis pandemi korona. Barangkali ada pengurangan menu atau sama sekali tidak ada makanan. Atau juga, menu makanan yang sama dan itu-itu terus selama masa karantina.

Pengecualiannya, barangkali keluarga yang tetap mempunyai pendapatan tetap, memiliki akses luas mendapatkan makanan dan mempunyai tabungan yang terbilang stabil. Krisis atau pun tidak, situasi tetap berjalan sebagaimana adanya.

Saya pernah mendapatkan sebuah video meme. Video itu tentang sumbangan bansos. Sumbangan dari banyak pihak tetapi isinya yang relatif sama.

Salah satunya, sumbangan ikan kaleng. sardinas. Ikan kaleng ini menjadi menu makanan setiap hari selama lebih dari sebulan. Pastinya, orang merasa bosan dengan situasi itu. Tetapi apa mau dikata, itu menjadi pilihan yang mesti dijalani oleh banyak keluarga.

Berdamai dengan situasi menjadi pilihan yang tak terhindarkan sekaligus solusi di masa krisis. Kita menerima kenyataan krisis karena pandemi yang sementara terjadi ini berada di luar rencana kita dan masih sulit dikontrol.

Apakah anak mau peka pada kondisi keluarga pada masa krisis?
Jawaban dari pertanyaan ini bergantung pada model pendidikan yang diberikan kepada anak di keluarga. Kalau seorang anak sudah terdidik untuk melihat dan mamahami situasi keluarga, kenyataan di masa krisis bisa diterima.

Tetapi kalau anak tidak dipersiapkan dengan pola pendidikan tertentu, kenyataan di masa krisis bisa menjadi tantangan serius bagi seorang anak.

Contohnya, anak yang sudah sangat terbiasa mendapat uang jajan setiap hari. Ada jam sekolah ataukah hari libur, orangtua tetap selalu memberikan uang jajan.

Namun, situasi berubah saat orangtua kehilangan pekerjaan. Uang jajan juga ikut lenyap. Pada saat seperti itu, anak bisa merasa shock. Pasalnya, ada yang hilang dari rutinitas harian.

Ya, tidak sedikit orang yang sulit berdamai dengan situasi selama pandemi. Sikap ini terjadi karena ketidaknyamanan.

Protes menjadi salah satu reaksi penolakan pada apa yang terjadi. Stres, marah dan kecewa adalah beberapa perasaan yang muncul di tengah masa krisis pandemi korona.

Awalnya, banyak orangtua mungkin sulit menerima kenyataan jika ladang pendapatan mereka lenyap untuk sementara waktu. Hal itu bisa perlahan diterima bila menimbang pelbagai situasi dan konsekuensi yang terjadi.

Untuk konteks pandemi korona, berada dan bekerja di luar rumah beresiko besar. Bukan saja bagi orangtua, tetapi itu bisa berdampak pada anggota keluarga lainnya di rumah.

Namun, pada sisi anak, penerimaan pada situasi krisis di keluarga bukanlah perkara gampang. Bergantung pada model pendidikan yang dibangun di keluarga. Terlebih lagi, jika anak sudah terbiasa ditempatkan sebagai penerima tanpa dibarengi metode pendidikan tertentu.

Orangtua kerap berlaku menempatkan dirinya sebagai penyedia atau pemberi kebutuhan kepada anak. Acap kali anak hanya menerima. Anak tidak diarahkan untuk peka melihat bagaimana orangtua mendapatkan hal itu. Semenjak lahir, anak umumnya sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.

Situasi ini secara tidak langsung bisa menyulitkan anak saat berada di tengah situasi yang tidak biasanya. Contohnya, kondisi krisis di keluarga karena pandemi corona. Rasa marah, kecewa dan pelbagai rupa penolakan terlahir sebagai bentuk protes pada situasi tersebut.  

Menyikapi ini, Kesadaran anak seyogianya sudah dilatih sejak dini. Kesadaran bukan saja memahami dirinya sebagai penerima semata. Anak juga dilatih untuk tahu dan sadar bagaimana orangtua mendapatkan apa yang disediakan bagi mereka. Dengan kata lain, anak juga diarahkan untuk melihat, mencermati dan memahami kondisi keluarga.  

Karakter anak yang peka, hasil dari proses pendidikan di keluarga
Kesulitan orangtua selama masa pandemi sejatinya juga menjadi kepekaan dan kepedulian  anak. Namun, tidak jarang terjadi orangtua berupaya untuk menjadikan kesulitan itu terbatas pada mereka sendiri, dan membiarkan anak menjauh dari kesulitan tersebut. Di sinilah letak hati maha mulia dari orangtua.

Di lain pihak, anak juga mesti dididik untuk merasakan apa yang dialami oleh orangtua. Kerja keras, pengorbanan, dan ketekunan orangtua dalam menopang kehidupan keluarga menjadi bahan pelajaran berharga bagi anak. Itu bisa menjadi contoh yang tertanam di dalam diri anak dan kelak dimanfaatkan saat berhadapan dengan realitas yang sama.

Cara hidup dan nasihat orangtua menjadi instrumen untuk menyadarkan dan membangun kepekaan pada anak tentang kondisi keluarga dan perjuangan orangtua. Memberi sesuatu kepada anak mesti dibarengi dengan nilai manfaat dari pemberian itu.

Bukan sekadar memberi untuk menyenangkan seorang anak. Tetapi memberi yang mengandung pelajaran agar anak tidak memanfaatkan secara salah pemberian itu ataukah dihancurkan oleh pemberian itu.

Ya, tidak sedikit anak yang dirusaki oleh pemberian dari orangtua. Alih-alih pemberian itu bermaksud menyenangkan anak, malah pemberian itu yang merusak karakter anak. Karenanya, anak seyogianya diarahkan dan disadarkan tentang makna di balik setiap pemberian.  

Jika ini ditanamkan secara terus menerus, anak tidak shock saat keluarga berada dalam situasi sulit. Malah anak bisa memahami situasi yang terjadi. Anak pun ikut peduli dengan situasi orangtua.

Salah satu bentuk sikap peka anak pada kondisi orangtua pada masa krisis adalah tidak menuntut. Tidak menuntut itu nampak saat tidak mengharapkan sesuatu yang sulit dipenuhi.

Anak juga berupaya mengikuti cara dan upaya orangtua berdamai dan menerima situasi yang sementara terjadi. Juga, menerima keadaan keluarga yang sementara berjuang di tengah krisis pandemi.

Bersikap menuntut hanya akan menambah beban orangtua. Sebaliknya, menerima kenyataan ikut meringankan beban orangtua dalam menghadapi krisis selama masa pandemi. Kalau diperbolehkan, anak juga berpartisipasi dalam upaya orangtua berhadapan dengan situasi krisis.

Pernah saya menonton berita di salah stasiun TV Filipina. Ini tentang sebuah keluarga yang berkumpul bersama karena pandemi corona. Harus pulang dan tinggal serumah setelah sekian waktu berpisah karena urusan sekolah dan pekerjaan.

Sebagai cara untuk mengisi waktu karantina, mereka memanfaatkan lahan di belakang rumah untuk berkebun. Bekerja bersama sebagai sebuah keluarga. Jadinya, setelah sebulan, mereka pun bisa memanen hasil kebun. Malah, hasil kebun itu dibagikan kepada tetangga.

Sulit dibayangkan kalau anak-anak yang pulang ke rumah itu menuntut orangtua di rumah. Barangkali situasi menjadi kacau. Barangkali mereka memahami dan peka dengan situasi yang terjadi. Mereka menghadapi situasi karantina dengan cara yang kreatif. Alhasil, situasi krisis dikeluarga ditanggulangi bersama.

Masa krisis merupakan ladang yang bisa menempah sikap anggota keluarga. Keluarga yang bertahan di tengah krisis terjadi karena mereka dibangun di atas dasar solidaritas di antara anggota keluarga. Anak bersikap solider, peka dan peduli dengan situasi orangtua, begitu pun sebaliknya.
 
Sebagaimana orangtua yang berupaya untuk berdamai dengan situasi krisis, begitu pula anak berupaya untuk berdamai dengan situasi orangtua.  

Gobin Dd

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun