Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Kepala Desa Bermain Sabung Ayam di Kuburan pada Masa Karantina, Teladan Buruk Seorang Pemimpin

14 April 2020   09:28 Diperbarui: 14 April 2020   09:47 480 18
Melansir berita dari salah satu media di Filipina, GMA network.com (11/4/2020), seorang "Punong Barangay," demikian sebutan untuk kepala desa di Filipina nekad melanggar aturan pada masa karantina.

Tanpa peduli pada situasi yang sedang terjadi, kepala desa ini bersama beberapa staf desanya nekad melakukan kegiatan sabung ayam. Area melakukan aktivitas ilegal ini di salah satu tempat pemakaman terbesar di Filipina. Pekuburan utara Filipina.

Atas peristiwa ini, bupati setempat memerintahkan kepala desa dan semua yang terlibat dalam kegiatan ilegal itu untuk menyerahkan diri. Mereka harus berhadapan dengan hukum.  Hukuman lebih lanjutnya berupa diberhentikan dari tugas-tugas mereka.  

Memang, sabung ayam merupakan kegiatan legal di Filipina. Banyak arena sabung ayam yang bisa dijumpai di Filipina. Bahkan dalam satu kabutapen, terdapat satu arena sabung ayam.

Arena sabung ayam itu sendiri didesain laiknya sebuah stadion mini. Banyak peminat. Tidak sedikit uang yang juga dilibatkan dalam arena sabung ayam.

Namun, situasi berbeda selama masa lockdown. Kegiatan sabung ayam menjadi salah satu kegiatan yang berdampak dari wabah virus Corona.

Kegiatan sabung ayam yang biasanya dibuat sekali sepekan ikut berhenti. Hampir empat pekan, aktivitas publik seperti kegiatan sabung ayam berhenti total. Pengecualiaanya, aktivitas tertentu seperti farmasi, bank, supermarket dan pasar.

Pastinya, orang-orang yang sudah ketagihan dengan kegiatan sabung ayam ini merasa tergiur. Alhasil, seperti yang dilakukan oleh kepala desa dan stafnya, mereka nekat melanggar aturan masa karantina. Hasrat mengalahkan rasionalitas.

Saya yakin mereka tahu aturan dan arahan selama masa karantina. Pasalnya, aktivitas itu dilakukan secara tersembunyi. Tetapi, kegiatan itu tidak luput dari mata otoritas.

Tentunya, apa yang dilakukan oleh kepala desa ini merupakan pelanggaran berat. Teladan yang tidak baik bagi masyarakat yang dipimpinnya. Alih-alih memberikan contoh bagi masyarakat yang sedang dirundung krisis, malah pemimpin sendiri menciptakan situasi yang tidak kondusif.

Hemat saya, peristiwa ini adalah pelajaran. Pelajaran untuk siapa saja. Terlebih khusus, para pemimpin.

Sejatinya, pemimpin menjadi teladan utama dan pertama bagi masyarakat. Teladan itu diperlihatkan dalam segala situasi. Terlebih khusus, teladan di tengah situasi krisis wabah virus Corona yang terjadi saat ini.

Misalnya, teladan untuk tinggal di rumah, kecuali ada kebutuhan yang mendesak dan tugas yang berhubungan dengan pekerjaan. Teladan untuk menuruti aturan social/physical distancing lewat membatalkan acara keramaian seperti pesta keluarga sendiri.

Pada saat seorang pemimpin tidak mengikuti aturan dan arahan itu, masyarakat tidak hanya sekadar memberi penilaian. Masyarakat bisa saja meniru hal yang sama.

Mereka tahu apa yang dilakukan itu adalah hal yang salah. Tetapi karena pemimpin yang pertama-tama melakukannya, mereka tidak peduli kalau hal itu salah ataukah benar. Toh, pemimpin mempraktikkan hal tersebut.

Memang, prinsip seperti ini salah. Kita mengikuti aturan bukan karena orang (pembuat aturan), tetapi karena nilai dan makna aturan itu sendiri. Tetapi tanpa melepas itu, masyarakat juga cenderung menilai manfaat aturan dari pembuat aturan itu sendiri.

Tetapi kalau pemimpin sungguh-sungguh mempraktikkan aturan, dia mempunyai integritas diri untuk mengoreksi dan memberikan instruksi kepada masyarakatnya. Masyarakat juga gampang patuh karena mereka melihat pemimpinnya yang menjadi orang terdepan dalam menjalankan aturan.

Misalnya, keputusan bupati di mana saya tinggal di Filipina saat ini. Gara-gara satu pasien yang sakit demam lolos dari pengamatan di pos pengecekan, bupati dan beberapa stafnya yang kebetulan berada di pos pengecekan waktu itu memutuskan untuk melakukan karantina.

Padahal, pasien itu belum dinyatakan positif Covid-19. Pada waktu, pasien itu dinyatakan negatif, bupati dan stafnya pun keluar dari tempat karantina. Contoh yang baik bagi masyarakat. Bupati menjadi orang terdepan melakukan karantina. Dia pun memiliki integritas saat memerintahkan masyarakat untuk melakukan karantina saat dijumpai kasus-kasus yang berhubungan dengan Covid-19.

Singkatnya, di hadapan aturan, relasi pemimpin dan yang dipimpin bisa timbal balik. Pemimpin yang membuat aturan untuk masyarakat. Pemimpin mesti yang pertama menjalankannya. Sementara itu, masyarakat akan menuruti aturan karena mereka melihat pemimpin menjadi yang pertama-tama melakukannya.  

Makanya, kita patut mengapresiasi para pemimpin yang sungguh-sungguh mengikuti aturan dan arahan medis selama wabah virus Corona. Toh, mereka juga manusia.

Sama seperti kita, mereka juga berpeluang dan bahkan rentan untuk terjangkit virus Corona. Terlebih lagi, sebagai seorang pemimpin mereka kerap melakukan kontak langsung dengan banyak orang.

Persoalannya, saat seorang pemimpin itu tidak mengikuti arahan dan aturan. Bahkan, pemimpin itu menjadi pelanggar aturan itu sendiri.  Pada situasi seperti ini, masyarakat kehilangan kepercayaan. Ketidakpercayaan ini bisa berujunga pada ketidakpedulian pada aturan dan arahan medis.

Di masa krisis, kita semua membutuhkan seorang pemimpin. Pemimpin yang bisa menenangkan, mengayomi dan memberikan harapan bagi kita. Tetapi kalau kita berhadapan dengan pemimpin yang penuh pesimisme, kecemasan menjadi reaksi masyarakat berhadapan dengan situasi krisis

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun