Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe Pilihan

Bioskop Hadir di Aceh

15 Mei 2019   04:15 Diperbarui: 15 Mei 2019   04:18 105 2
Saat beberapa provinsi di Indonesia sibuk dengan pemutaran film terbaru di bioskop, Aceh yang ingin menonton harus sabar menanti di internet. Bagi yang berkocek tebal barangkali bukan masalah, mereka bisa ke Medan atau Jakarta.

Saat kuliah, saya sempat merasakan bioskop di Kota Banda Aceh, ibu kota provinsi. Dalam sehari, ada beberapa sesi pemutaran film. Penontonnya juga tak kalah banyak bila saya bandingkan dengan penonton di luar Aceh. Artinya, secara ekonomi, bioskop sangat berpotensi menambah PAD.

Kita ketahui bersama, Dewan Komisi Umum untuk Media Audiovisual (Board of the General Commission for Audiovisual Media/GCAM) yang diketuai oleh Menteri Kebudayaan dan Informasi Saudi, Awwad Alawwad, mengatakan bahwa izin untuk bioskop mulai diberlakukan pada Maret 2018.

Aceh dan Arab Saudi dahulu sama-sama memiliki bioskop. Senasib, bioskop di Arab Saudi dihentikan sejak kelompok ultra-konservatif berkuasa. Sementara di Aceh, bioskop mulai tidak beroperasi sejak tsunami dan katanya sejak pemberlakuan syariat Islam.

Menurut saya, ulama dan umara di Aceh bukan kelompok ultra-konservatisme. Ulama di Aceh sangat terbuka dengan perbedaan, dan tidak fikih-oriented. Hanya saja, penyalahgunaan bioskop oleh sebagian orang sehingga informasi itu sampai ke telinga para ulama yang membuat bioskop terlarang ada di Aceh.

Ulama Aceh berusaha agar rakyat Aceh tidak terjerumus dalam dosa. Namun, dengan dibukanya kembali bioskop di Arab Saudi, pelarangan bioskop dapat ditinjau ulang. Bioskop yang diidentikkan dengan maksiat terjadi karena oknum yang menyalahgunakan tempat.

Padahal, bila bioskop dikelola secara benar serta regulasi soal penonton atau teknis lainnya disusun dengan benar, bioskop akan menjadi sumber pendapatan daerah.

Pemerintah Saudi mengatakan, kebijakan membuka bioskop diprediksi menyumbang lebih dari 90 miliar riyal ($24 miliar) dan menciptakan lebih dari 30 ribu lapangan kerja dengan 300 bioskop dan sekitar 2.000 layar yang akan dibangun di negara ini pada 2030.

Dalam pandangan saya, kejahatan itu tidak memilih tempat dan waktu. Bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Maksiat bahkan bisa terjadi di dalam hati manusia yang sedang duduk berzikir. Misalnya, merasa paling alim atau bertakwa karena di saat yang lain berada di warung kopi dirinya berzikir.

Bukan maksud saya menggurui para ulama atau cerdik pandai. Barangkali yang ingin dihindari perbuatan mendekati zina dengan hadirnya bioskop. Sebagaimana saya ungkapkan tadi di atas, hal itu terkait regulasi yang sifatnya teknis. Menurut saya, itu mudah dilakukan guna mencegah perbuatan tercela.

Sisi positif lainnya yang bisa kita dapatkan dengan adanya bioskop di Aceh bukan hanya sisi ekonomis. Banyak sineas Aceh berbakat yang akan bergairah untuk memproduksi film bernuansa agama dan sejarah serta budaya Aceh.

Film-film dokumenter Aceh yang sukar tembus ke bioskop-bioskop nasional bisa ditayangkan di bioskop di Aceh. Cukup sudah uang masyarakat Aceh menjadi PAD Medan maupun Jakarta. Saatnya uang masyarakat Aceh mengalir dalam kas daerah maupun pengusaha daerah.

Saya optimis, rakyat Aceh tidak menolak hadirnya bioskop di Aceh. Tentu saja sebuah keputusan mustahil menyenangkan semua pihak. Pemerintah Aceh maupun Kota Banda Aceh juga pasti sulit memutuskan. Keputusan perlu tidaknya kembali menghidupkan bioskop di Aceh harus mempertimbangkan efek elektabilitas.

'Penyakit' elektabilitas memang sering menghambat seorang politikus berbuat walaupun perbuatan itu benar. Barangkali pemerintah Kota Banda Aceh dapat menjadi pelopor berdirinya bioskop di Aceh. Kalau memang perlu, konsultasilah dengan ulama, dan setahu saya sudah.

Silakan Pemkot Banda Aceh menyerap aspirasi rakyat. Melalui polling, konsultasi dengan wakil rakyat, serta tokoh adat dan budaya. Para sineas Aceh, menurut saya, juga harus rajin mengampanyekan perlunya bioskop hadir kembali di Aceh. Sejauh ini, saya pantau masyarakat Aceh yang ingin bioskop hadir lumayan banyak.

Selama ini, kerap kali pemutaran film dilakukan di gedung-gedung serbaguna. Bukankah lebih baik menggunakan bioskop ketimbang menyewa gedung? Pemutaran film-film di gedung serbaguna sudah membuktikan bahwa penonton Aceh tertib dan sesuai syariat maupun norma budaya serta adat istiadat.

Lalu apa yang kemudian menghalangi Pemkot Banda Aceh maupun Pemerintah Aceh untuk tidak segera menghadirkan bioskop di Aceh? Pemisahan penonton muhrim dan nonmuhrim, saya yakin, akan ditaati penonton di Aceh.

Kehadiran bioskop di Aceh juga bakal menjadi angin segar bagi penjual kecil maupun investor yang ingin berinvestasi. Geliat ekonomi tak terbantahkan. Jangan hanya mengandalkan eksploitasi sumber daya alam kalau bisa mendapat PAD dengan cara lain.

Pemerintah Aceh maupun Pemkot Banda Aceh harus kreatif mencari sumber PAD. Memang bioskop bukan lahan mencari fee senikmat proyek fisik dan pengadaan barang maupun jasa. Setidaknya, bioskop dapat menjadi solusi PAD, terutama Kota Banda Aceh yang hanya mengandalkan parkir kendaraan, pajak retribusi warung kopi dan restoran.

Bagi rakyat Aceh, setujuhkah Anda bila bioskop kembali hadir?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun