Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Jangan Lepaskan Genggamanku [Part 10]

11 November 2019   00:16 Diperbarui: 11 November 2019   00:19 66 2
Aku datang ke airport lebih awal, seperti dalam kesepakatan di whatsapp dengan Adam, agar aku dan dia bisa bicara berdua saja, tanpa hadirnya orang lain diantara kami.
"Aku ada waktu satu jam, sebelum chek-in," ujar Adam dengan santai.

"Iya, terima kasih sudah mau memenuhi permintaanku."

"Aku senang akhirnya kamu yang minta duluan untuk ketemu. Meskipun pernikahan virgin kita statusnya masih belum berubah. Tenang saja, aku sanggup menunggumu, sayang! Sampai selesai urusanmu di sini."

"Iya."

"Tentang makan di Pondok Sariwangi itu. Maafkanlah aku, itu perbuatan Maria yang pinjam handphone aku, untuk menghubungi keluarganya di Indonesia. Hingga aku nggak sempat membaca pesan itu. Malah ketiduran, hingga benar-benar lupa."

"Iya."

"Sorry ya ...."

"Never mind. Lupakan itu, sekarang dengarkan aku, karena aku perlu bicara serius denganmu."

"Bicaralah Sarah ... aku siap mendengarkan keluh kesahmu. Hem ...."

"Jangan sok perhatian denganku. Nanti aku jadi ge-er."

"Haha ... sama suami sendiri masih sering merasakannya ya. Ya udah, aku akan selalu umbar kata-kata manis hanya untukmu."

"Bukannya kamu udah kebiasaan sok manis pada siapapun ya?"

"Hahh! sejak kapan?"

"Sejak aku mengenalmu."

"Ya, itu kan kulakukan hanya untukmu seorang, sayang ..., Hem .... Aku jadi gemes kalau kamu kayak gini."

Adam mendaratkan tangannya ke dagu lalu ke hidung, untuk beberapa saat, hingga aku meringis kesakitan. Baru dia lepaskan.

"Ihh mau nyiksa! atau gimana sih!"

Adam meraih tanganku, lalu duduk lebih dekat, sambil berbisik. "Bicaralah, apa yang mau kamu katakan. Aku siap mendengarnya, asalkan jangan bilang kita berpisah, itu sudah cukup."

"Mas ...."

"Iya, katakanlah Sarahku. Jika kamu keberatan kutinggalkan, aku akan pending pemberangkatan hari ini. Toh, berkunjung ke negara ini bebas visa hingga 14 hari kan, menurut peraturan Imigrasi Brunei."

"Iya benar. Tapi aku mau bicara tentang hal lain. Bukan tentang itu."

"Jika kamu bicara serius, justru aku yang deg-degan. Pasti kamu akan bicara yang yang akan merugikan atau mungkin hal menyakitkan kita kan?"

Aku terdiam, tidak bisa bicara. Lidahku kelu saat berdekatan dengannya. Susunan ayat yang sudah aku siapkan dari rumah, seakan ambyar, hilang entah kemana.

Aku tarik tanganku, membebaskan diri dari genggaman Adam. Namun Adam, justru semakain menguatkan genggamannya. Gagal sudah, rencanaku untuk berani mengatakan keputusanku. Terpaksa hold dulu keinginan untuk mengatakannya.

"Mas, aku ...."

Sungguh berat menyatakan perkataan bohong, agar terlihat jujur di bibirku. Agar dia percaya jika sesungguhnya itulah suara hatiku. Suara kemunafikan, antara hati, pikiran dan perbuatan tidak sama. Ampuni aku Tuhan.

"Katakanlah ... jangan ragu."

Tarikan napas terakhirku memberikan kekuatan yang luar biasa. Mulut yang tadinya benar-benar terkunci, kuberanikan untuk berkata dengan jujur, walau menyakitkan hatiku sendiri, dan mungkin saja juga hatinya. Keputusan ini sudah bulat, hasil pertimbangan di sana- sini menjadikanku harus bersikap tegas.

"Aku ingin mengakhiri hubungan kita."

"Apa?"

Aku memberikan jeda kepada Adam agar mendengarkan penjelasanku dengan baik. Dia mengernyitkan dahi, dan dalam hitungan detik, muka yang tadi cerah, telah bertukar sendu.

"Tidak. Jangan kamu main-main Sarah," ujar Adam menghiba.

"Aku .... Se ... rius Mas."

Bibir bergetar saat mengatakannya. Lubuk hati dan pikiran tidak sama. Rasa gado-gado antara pedas, manis, dan asem bercampur menjadi satu. Aku bingung Tuhan, tapi aku harus mengambil keputusan. Aku tetap tersenyum, menahan sesak yang menyeruak di dada.

"Ya ... aku serius!"

"Sarah .... Bukankah berpisah raga, sudah kita jalani selama tiga bulan. Mau apa lagi kamu? I'm fine, see? Dan aku masih sanggup menunggumu hingga dua tahun. Aku benar-benar mencintaimu Sarah. Please, jangan lepaskan genggamanku!"

"Tapi ... aku belum bisa berperan sebagai istrimu yang sempurna. Aku malu pada diriku sendiri. Aku malu pada Tuhan. Dan aku benar-benar malu pada ibumu, Mas Adam!"

"Jangan membahas itu Sarah, please. Bukankah aku sudah menyetujui semua persyaratan yang kamu ajukan kepadaku waktu itu, sebelum kita melangsungkan akad nikah? Kamu tidak lupa, kan? Ingat itu? Hem ...."

Kedua tangan Adam memegang bahuku dengan lembut. Tapi kutepis perlahan-lahan, karena di sekeliling tempat ini mulai ramai pengunjung yang sudah berdatangan, dan hampir memenuhi kursi duduk di sekitar kami. Karena sebentar lagi waktu chek-in akan segera di buka.

Adam membiarkan tanganku menurunkan tangannya, seakan memahami maksud yang terbuku di hati. Ya, terus terang malu di tempat umum begini. Apalagi status yang masih di rahasiakan dari mereka yang tidak perlu tahu.

"Mas! Aku sadar bahwa Aku ini, istri tak berguna. Aku istri yang egois. Setelah menikah malah membiarkan suaminya dalam kesendirian. Hingga tidak ada bedanya antara bujang dan sudah menikah."

"Siapa yang bilang begitu?"

"Ya, aku nyadar aja. Apa yang dikatakan mereka benar adanya. Nasihat yang kudengar itu, memang benar adanya."

"Siapa yang bilang? Katakan!"

"Sepertinya tidak perlu dikasih tahu Mas. Siapa yang bilang. Yang jelas, semua yang mereka katakan benar. Aku telah menikah. Tetapi di sisi lain, telah menelantarkan suami seenaknya."

"Sudahlah! Jangan di bahas lagi kataku!"

"Mas, please ...."

"Tidak!"

"Apa yang Mas Adam cari dariku? Apa yang Mas tunggu dariku? Apa? Lepasakan saja Mas! Lepaskan ...."

"Aku tahu kau sedang rapuh, kan? Sudah jangan berpikir yang aneh-aneh. Aku masih sanggup berpisah sementara denganmu. Tapi bukan berarti untuk melepaskanmu dari genggamanku. Ikatan cinta kita yang suci, baru saja dibangun. Jangan kamu meminta meruntuhkannya. Tidak ... aku tidak mau."

"Mas, tolong pikirkan lagi."

"I love you. Aku sayang kamu Sarah. Aku tahu kau setia padaku. Aku tidak melihatmu seperti perempuan lain di luar sana. Karena itulah aku percaya sepenuhnya kepadamu, sayang ...."

Dari jauh langkah Maria sudah kelihatan menuju tempat duduk kami. Rambutnya sebahu bergoyang, sangat apik bagi siapapun yang memandang. Tangannya menarik tas trevel, dan lengan kirinya menggantung handbag. Wajahnya kelihatan cemberut dan sinis.

"Kejarlah mimpimu dulu. Tunaikanlah janjimu pada ibumu. Aku tidak keberatan. Tapi ...."

"Silahkan uruskan suratnya nanti Mas. Untuk surat persetujuanku, akan aku email."

Langkah sarah sampai di hadapan kami. Aku tersenyum dan menyapanya. Meskipun sedikit risih, menangkap raut wajahnya yang mengatakan sedang menyimpan rasa kesal.

"Hai Maria! Selamat malam."

"Malam Sarah! Dan met Malam Mas Adam!"

"Hai ... Assalamualaikum. Kita semua muslim. Jangan lupakan itu yaa?"

Dihh, jadi sok Ustadz sumaiku ya? Sejak kapan, akupun tak tahu. Tapi ada benarnya sih. Jika kita yakin seseorang yang berada di hadapan kita itu muslim, ya harus ucapkan salam.

"Waalaikumsalam," suara kompak dariku juga Maria bersamaan.

"Kenapa aku ditinggalin tadi mas?"

"Iya, sorry mau jumpa kawan sebentar," ujar Adam sambil manggut-manggut.

"Iya, lalu tak sengaja terserempak saya di sini. Jadinya ya sambung ngobrol di sini," ujarku.

"Loh, kalian bukan janjian, kan?"

Aku dan Adam saling pandang. Maria sepertinya menangkap sikapku yang agak canggung, saat mengatakan alasan itu. Sudah terlanjur memberi alasan, ya aku teruskan saja.

Melirik Adam, aku langsung menggeleng, didikuti dengan gelengan Adam juga. Kami saling memahami untuk saling menutupi rahasia kami.

"Ok, silahkan chek-in sana. Aku mau melanjutkan urusanku. So, kita bertiga berpisah di sini. Senang berkenalan denganmu Maria. Dan Mas Adam salam buat Ibumu dan juga Ibuku ya. Kalau sempat mampir ke rumah sih."

"Haha, Sarah ... Sarah! Kita ini lo ... tetanggaan. Jadi ya pasti ketemulah. Insyaallah nanti disampaikan. Termasuk juga oleh-olehnya."

"Terima kasih Mas, juga Maria terima kasih ya."

"Sama-sama," jawab keduanya bersamaan.

"Ehh, Sarah. Jangan lupa nanti hadir ya ... di pernikahanku. Mana tahu kamu pas cuti ke Indonesia, bisa hadir ke resepsinya."

"Menikah?"

"Iya, aku akan menikah. Datang ya?"

"Insyallah," ucapku.

Aku melirik Adam sekilas. Ternyata dalam waktu bersamaan, dia juga menatapku sambil menggidikkan bahu. Ya ... Allah. Ini maksudnya apa? Begitu banyak rahasia kehidupan, yang Hanya Allah saja yang berhak tahu. Aku sadar, jika aku hanya manusia biasa, yang lemah dan tidak berdaya, melawan takdir-Nya.

Rasa was-was kembali menyerang hati. Tapi aku tak peduli. Toh keputusan ini juga sudah kubuat. Buat apa merasa sedih. Mungkin perkataan ibu mertuaku adalah benar adanya. Jadi kalau begitu keputusanku untuk mengakhiri hubungan ini, memang tidak salah.
Bersambung ....

**
BSB, 11 November 2019





KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun