Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Boneka Ibunda

1 Juni 2014   14:45 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:51 49 0
Pagi ini, pagi yang sama seperti kemarin, seminggu yang lalu, bulan yang lampau, dan tahun yang berlalu. Kehidupanku sangat monoton. Dikelilingi kemewahan. Bergelimpangan harta. Punya kursi yang menjadi simbol kuasaku. Miliki banyak anak buah. Mobil-mobil mahal mengantre di garasi. Jumlah belasan. Rumahku banyak. Dan maaf, sepertinya ada yang layak disebut istana, sangat besar dan kokoh. Gadget serba canggih dan keluaran terbaru selalu hadir di dalam genggamanku. Makanan serba lezat terhampar di meja makan. Pembantu, berlusin. Supir, lima orang. Tukang kebun, dan seluruh pengurus, serta pengawal di istanaku ini berjumlah puluhan. Plus isteri cantik dan dua orang anak kembar.
Orang luar melihat ini sebuah anugerah hidup yang jarang dimiliki. Siapa pun pasti mengiri dan berimajinasi mendapatkan kehidupan yang serba wah ini. Kepopuleran merengkuhku. Sayangnya aku menyebut semua ini semu. Semu dalam batin, asli dalam nyata. Aku sedih. Marah. Kecewa. Frustasi. Dan menganggapku sebagai pribadi unggul yang gagal.
Semua perasaan ini selalu kusembunyikan selama ini. Kali ini aku sudah muak. Muak dengan cibiran dan kritikan oleh orang-orang yang selama ini selalu menghiasi hidupku. Perkataan mereka setiap hari hidup dan bersemayam di dalam benakku. Gemah ripah dan berkembang biak di dalam setiap tetesan cairan otakku.
Sesungguhnya aku sangat sadar. Mulai dari awal ketikaku memulai segala kehidupan. Tetapi aku tak punya kuasa mengatasinya. Ada orang yang selalu mengontrolku. Mau ini, mau itu wajib meminta ijin. Setiap centi pergerakkanku serba dibatasi. Nyaris tanpa ruang gerak sama sekali. Jika ingin berinisiatif, meski searah dan senada dengannya. Aku pria yang tak punya prinsip. Makanya aku menyebut diriku sebagai orang gagal.
Orang ini sangat berpengaruh di dalam kehidupanku. Memegang kendali. Suaranya adalah suaraku. Suaraku belum tentu suaranya. Mulai dari saat menginginkan sekolah dimana, memasuki jurusan apa, berteman dengan siapa, dekat dengan siapa pun, bekerja apa pun. Bahkan untuk menikah dan segala macam keputusan di dalam kehidupanku, wajib mendapat restu darinya. Jika tidak, aku akan dicap. Dicap sebagai pengkhianat yang telah durhaka.
Orang ini adalah ibunda kandungku sendiri. Aku semata wayang. Papaku sudah meninggal saat aku berumur tiga tahun. Praktis sejak itu mama yang mengambil alih. Papa mewariskan bisnisnya. Usahanya. Kebunnya. Transportasinya. Dan segala macam uangnya dalam bentuk tiga jenis mata uang.
Ketika aku mau memasuki sekolah menengah, mama mengikis habis keinginanku. Jurusan pun, beliau putuskan. Kumengajak teman-teman berbeda status sosial-ekonomi ke rumah, mama marah dan menyuruhku agar menjauhi mereka. Begitu juga ketika aku akan kuliah di IKJ. Aku ingin menjadi seniman. Sayangnya mama tidak menyetujuiku. Aku pun terpaksa melegalkan keinginan dan ambisi mama. Mama mau aku menjadi pengusaha yang mengurusi bisnis-bisnis keluarga kami.
Mama layaknya Iron Lady. Eagle Eye. Nose Dog. Kemampuannya dalam mengatur, melihat, dan mengendus peluang sama-sama kuat. Banyak pria takluk di kakinya. Mama tipe perempuan pemaksa. Cerdas. Ambisius. Perfeksionis.
Saat papa meninggal, mama mengambil kontrol perusahaan dan segala macam bisnis yang papa tinggalkan. Saudara kandung papa, kalap dibuatnya. Mereka menjadi raja bawahan. Gaji dibatasi. Fasilitas diminimalisir. Segala tindak-tanduk dan keputusan banyak diambil mama. Saudara-saudara papa senyap di dalam kekuatan mama.
Barulah, ketika impianku kandas menjadi seorang seniman hebat di Indonesia, tongkat estafet bisnis keluarga diberikan kepadaku. Aku cepat menangkap segala jenis peluang dan mampu merekrut pasukan-pasukan elit untuk menjalankan kerajaan bisnis keluarga. Aku cakap dan ahli. Santun dan berwibawa. Bawahan dan para karyawanku sangat menghormatiku.
Tapi, dari sorot mata mereka, aku hanyalah sebuah boneka yang dimainkan oleh seseorang di belakangku. Seperti dalang wayang yang bebas mengerakkan segala perilaku dan keputusanku. Apa yang menjadi putusannya, itu pulalah yang harus aku ambil. Cukup sering keputusan-keputusan tersebut merugikan para karyawan.
Aku menjadi tidak manusiawi. Tak berperasaan.
Suatu sore mama memanggilku. Tampaknya ini merupakan hal yang teramat krusial.
“Jo. Mama mau mengomongi sesuatu sama kamu.”
“Apa itu, Ma?”
“Begini. Mama sejujurnya sudah sangat ingin mengendong cucu.” Mama mengangkat kakinya satu dan merebahkannya ke kaki sebelahnya secara anggun dan berwibawa sambil menatapku tajam. Wajah mama sangat serius.
“Jadi mama mau aku cepat menikah,kan?”
Di dalam hati aku berbisik. Aku tiada mempunyai keberanian untuk sekadar mengatakan bahwa aku sudah punya calon dan berharap mendapat restu dari mama. Tapi aku sama sekali tidak berani mengatakannya. Karena selama 25 tahun kehidupanku, mama yang selalu mengendalikanku. Aku impoten di hadapan mama. Seperti anak kecil yang tidak punya kuasa melawannya.
“Mama mau kamu menikah dengan pilihan mama. Ingat, perkataan orangtua harus selalu didengarkan. Karena restu dan murka orangtua adalah restu dan murka Tuhan. Mama minta kamu putus dengan Bella. Dia sama sekali tak pantas bersanding denganmu. Tidak layak masuk daftar keluarga kita.”
Aku tersudut. Hanya sepenggal kalimat terpotong ini saja yang sanggup keluar dari mulutku. Lidahku beku abadi.
“Ma, Bella kan manajer di bank elit. Pekerjaannya kan……”
Mama memotong. “Mama tahu itu. Tapi mama tak sudi punya menantu yang bukan dari kalangan orang kaya dan pebisnis. Mama sudah kirim mata-mata untuk mencari tahu tentang Bella dan keluarganya. Kamu tahu kan kalau keluarganya cuma PNS rendahan. Nasibnya beruntung karena kenal dengan kamu. Makanya dia bisa kerja di bank itu dan menduduki posisi penting.”
Begitulah. Sore mencekam di dalam hidupku. Mama hadir sebagai wanita yang memiliki kuasa tiada batasnya. Aku kalah sangat telak. Lalu untuk beberapa minggu, aku diperkenalkan dengan Shinta. Gadis cantik keturunan orang kaya di kota sebelah. Keluarganya merupakan pebisinis nasional sekaligus politisi senior di partai nomor wahid di Indonesia.
Kami berkenalan. Dalam jangka waktu tiga bulan, kami menikah. Tidak lama kemudian, mama menyorongku untuk masuk ke arena politik agar bisnis kami lancar dan mendatangkan untung. Sepertinya mama mau membentuk dinasti di daerah ini. Apalagi mama mempunyai besan orang super hebat. Jadilah aku mengikuti perkataan mama.
Bagiku yang berjiwa seni, politik bukanlah jalanku. Meski politik juga seni. Seni merebut kekuasaan, membaginya, dan melanggar janji. Ini tentu saja bertentangan. Tapi doktrin mama yang selalu membawa-bawa nama-Nya, tiada kuasa aku tolak. Benar saja, firasatku mengatakan bahwa aku langsung menduduki posisi elit di partai besar. Dan aku pun dipersiapkan selama lima tahun untuk menduduki posisi penting di wilayahku. Aku menjadi bakal calon gubernur.
Segala macam jalan dan suasana dibuatkan untukku. Agendaku padat. Mulai bertemu rakyat untuk pencitraan diri. Menjadi bintang iklan politik di berbagai media. Dan segala macam tetek bengek dengan politik. Bertemu politisi-politisi lokal yang akan bersanding denganku.
Sudah ada lima calon wakilku. Kali ini aku berharap bisa memilih. Setidaknya inilah keputusan yang kuputuskan sendiri. Sayangnya, sebagai boneka aku harus tunduk dengan segala bentuk pergerakkan dalangnya. Dalangnya tetap mama. Sebelumnya mama duluan berkecimpung di dunia ini. Mama menjadi ketua DPP partai ini.
Hari H!
Aku memang ditakdirkan menjadi gubernur. Gubernur boneka. Diatur oleh pengaturnya. Karena kata mereka, suara partai adalah suara rakyat. Bagiku mana mungkin satu suara partai menjadi suara seluruh rakyat. Bukankah ada rakyat yang memilih partai dan calon lainnya?
Inilah suara orang-orang bodoh. Penuh kebodohan untuk mengatur pemimpinnya sendiri. Pemimpin boneka yang tak punya kuasa. Ia hanya simbol hidup, namun sama sekali tiada mempunyai kehidupan. Mudah dikontrol. Hak prerogatifnya dikebiri.
“Mama, aku bukan bonekamu.”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun