Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Bapak Pacaran!

17 Maret 2024   06:49 Diperbarui: 19 Maret 2024   10:09 85 5
"Bapak pacaran!"

Sebuah pekikan cempreng memecah keheningan Minggu pagi yang agak mendung itu.
Gilanya..
Raga saya yang terbuai di alam jelly masih bergulat dengan guling dan selimut hangat yang posesif; terlalu sleepy untuk menanggapi.
Tetapi jiwa saya yang kepo menyegerakan diri untuk bangkit dan mencari sumber suara: suara si bocil. Siapa lagi?!

Saya dapati dia di kamar utama sembari memegang HP yang layarnya dia hadapkan ke wajah ibu. Ibu mengernyitkan dahinya berusaha membaca tulisan mikroskopik yang dihadapkan terlalu dekat dengan wajahnya. I could tell dia tidak dapat membaca apapun yang tertulis di sana. Tidak mencoba lebih keras untuk melihat atau mengambil HP bapak, ibu memalingkan wajah. Saya heran.

Mendengar pekik suara si bocil adikku yang kepo tentang dia berpacaran, bapak bergegas menuju kamar dengan wajahnya yang tegang. Meski tidak berusaha merebut HP dari si setan kecil yang mulutnya tidak bisa menyimpan rahasia, bapak berusaha menyanggah tuduhan itu.

"Siapa yang pacaran. Nda bener kamu!"

Tidak puas dengan respon ibu yang nampak uninterested, bocil mencoba memancing reaksi saya.

"No, you're not getting it," ucap saya sambil ngeloyor meninggalkan TKP.

__
Di malam harinya, saya sudah menunggu percekcokan rumah tangga antara bapak dan ibu perihal SMS mesra seperti yang selalu terjadi di sinetron TV swasta. Saya menunggu dan menunggu sampai ketiduran. Eh, tidak terjadi.

"Ibu marah nda sih, tentang SMS di HP bapak kapan lalu? Adik bilang bunyinya 'aku kangen kecupanmu lagi di pipi'. Gimana tuh, Bu? Marah nda?"

"Oh ya isinya begitu? Sudah sinting bapakmu tuh," respon ibu enteng sambil mendengus dan tertawa kecil.

Saya tidak melihat kekesalan sama sekali di wajah Ibu. Apa mungkin karena sudah agak basi beritanya ya.. Konon katanya time can heal almost everything.

"Nda marah, nda kesal. Biasa saja, ah!"

"Hah, kog nda seru sih...," pikir saya dalam hati, hahaha...

Sungguh saya penggemar drama. Tidak seru ah, kalau jalan cerita flat-flat saja begini!

Ibu berkata, bahwa sah-sah saja jika bapak punya rekan bicara; teman diskusi ngalor-ngidul. Bapak berhak juga mengisi tanki jiwanya dengan obrolan dari kepala-kepala lain, bertukar pikiran dengan orang-orang dari disiplin ilmu lain dan melihat situasi dari mata orang lain, selain dari ibu. Ibu juga katakan akan memberikan bapak sedikit pengertian, agar hal ini tidak mengganggu.

Pengertian seperti apa yang akan diberikan ibu?

Yang selalu saya lihat di tayangan sinetron maupun program gossip selebritas adalah, kalau tidak langsung gugatan cerai karena adanya dugaan orang ketiga, ya adegan saling menjambak rambut atau mencaci di media social. Tidak pernah ada itu yang namanya sesi 'memberikan sedikit pengertian'.

"Ngobrol sih ok, tapi mungkin nda perlu melibatkan kecupan di pipi juga ya, bu?" tanya saya.

Mendengar itu, ibu terpingkal sampai-sampai sedikit ludahnya menyemprot di meja.

"Jijik banget ibu, ih!"

"Haha, sorry. Kamu tuh lucu amat! Ya gitu; biasa lah, lelaki ada usilnya, ada nakalnya. Kalau nda nakal ya ibu yang bingung. Nda normal berarti bapakmu jadi lelaki. Sudah, nda usah mikirin yang begituan. Urusin aja itu loh kamu mau masuk universitas mana lepas SMA."

Semenjak kecil memang ibu tidak terlalu mengurusi hal-hal yang melibatkan perasaan seperti ini. Bukan cuek, tapi juga bukan yang mesra romantis. Semua berjalan dengan normal-normal saja. Teratur dalam jalurnya yang hening, nyaris tanpa suara.

"Misalnya bapak selingkuh gitu, ibu marah nda sih? Ibu nda cinta?"

"Kalau tidak cinta gimana? Ya mana bisa bertahan sekian lama dengan bapakmu yang unik begitu otaknya," pekik ibu kegelian. "Ya tentu sayang dia, sayang kalian, maka ibu rawat dan pastikan kalian sehat. Bapak itu baru punya teman mengobrol; kebetulan wanita. Santai lah. Mereka manusia dewasa. Cinta ibu ke bapak dan ke kalian semua itu dalam. Tidak mudah takut dan tidak memaksa apalagi mudah merasa terancam oleh keberadaan wanita lain. Apa nanti ibu perlu takut kamu tidak sayang ibu lagi sewaktu kamu sudah beristri? Tidak perlu kan?"

Jujur, ini mata pelajaran baru bagi saya. Ada cinta yang 'tidak takut dan tidak memaksa'. Yang namanya orang cinta, ya sepatutnya 'takut kehilangan' dan 'memaksa' orang lain membalas cintanya. Ini kog seolah-olah bebas saja?

Sebutan 'cinta' untuk rasa ini nampaknya kurang tepat. Sungguh berbeda dari ekspresi-ekspresi cinta yang saya saksikan di luar rumah.
Mana ada sih cinta yang tanpa pamrih begini? Panglima Chu Pat Kai saja berkata, "Dari dulu begitulah cinta, deritanya tiada akhir. Kalau deritanya hilang, ingatan hal yang menyakitkan dan mengerikan tidak pernah akan hilang."

"Kalian semua itu seperti mawar-mawar yang ibu tanam di pot, cantik. Ibu puas memandang kalian kembang. Ibu tidak akan tega untuk petik; ibu ijinkan kalian mengalami dan berproses. Silakan menjelajahi hidup dengan sepenuhnya, bereksplorasi dan berinteraksi dengan banyak orang. Ibu percaya kalian tau maknanya 'Kebebasan yang bertanggung jawab'. Cinta ibu ke kalian akan mendukung dan menyemangati, bukan malah menghambat hanya karena sekadar ibu takut kehilangan. I love you enough to let you bloom and even leave when it is time. Silakan, do what you must."

Sepertinya ibu benar-benar tidak marah.
Dia melihat ini sebagai sepenggal proses pendewasaan.
 Ya ampun, geli kali rasanya ketika saya menoleh ke belakang, melihat lagi peristiwa ini.

Banyak hal yang ternyata saya tidak ketahui tentang manusia dan jalan pikirannya tentang makna cinta dan kasih sayang.
Inilah akibatnya kalau otak saya kebanyakan menonton sinetron dan gossip selebrita.
Jadi salah mengira bahwa hidup hanya dipenuhi drama dan air mata.

Hingga sekarang, bapak dan ibu tetap bersama, saling mendampingi dan menjaga.
Baik-baik saja.
Melihat mereka berdua, saya tau, yang melekatkan mereka nampaknya bukan sekadar cinta.
Ini sesuatu yang lain.
Sebuah rasa.
Tapi apa?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun