Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Yang Melarat di Indonesia Boleh Memilih: Bunuh Diri Atau Dipelihara Negara?

8 Juli 2012   04:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:11 898 4

Adakah Bank Darah di tempatmu, yang darahnya dihisap habis secara misteri? Hingga harus bangsamu menghisap banyak darah rakyat, dan melepas bebas kaum Konglomerat? mereka bilang untuk menyelamatkan Bank darah, menyelamatkan Negara! Sebab kalau tidak diselamatkan, negerimu akan kehabisan darah, kehabisan gairah! adakah?! [SATIRE]

DIDOWARDAH-Pasal 34 ayat 1 UUD 45 sejak 67 tahun yang lalu masih belum berubah, masih sama tulisannyabahwa: Fakir miskin & anak-anak terlantar DIPELIHARA oleh Negara. Sepertinya pernyataan tersebut benar adanya, sebab dalam prakteknya esesensi DIPELIHARA maksudnya adalah DILESTARIKAN.Akibatnya keberadaan kaum fakir dan PROLETAR di negara kita makin menggila.Padahal semangat pasal tersebut sejatinyaharus selaras dengan penjaminan kesejahteraan sosial yang dituliskan, yang dijanjikan, tidak sekedar sebagai penghias Undang-Undang. Namun fakta berbicara lain, kaum tertindas kini kian menggurita. Menjejali pemberitaan di TV dan koran-koran, hingga rakyat menjadi terbiasa dengan jerit penderitaan kaum bawah yang memilukan, yang nanar menggelepar di tanah air sendiri. Dan ruwetnya negara kita, semakin menjadi oleh tindak-tanduk atase, pejabat pemeritah dan politikus bermental bandit yang mencandui korupsi. Lengkap sudah.

Seolah menepis issue rakyat jelata, Badan Pusat Statistik (BPS) dengan sumringah mengungkapkan terjadi penurunan jumlah orang miskin di Indonesia dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Disebutkan di portal KOMPAS, jumlah orang miskin berkurang 890.000 atau turun 0,53% dari posisi bulan Maret tahun lalu dibanding Maret tahun ini. Yakni dari 30,1 juta jiwa pada Maret 2011 bergeser sedikit menjadi 29, 13 juta jiwa pada Maret 2012. Lebih spesifik lagi, di perkotaan jumlah penduduk miskin berkurang 399.500 jiwa dan di pedesaan berkurang sebanyak 487 ribu jiwa. Dan pertanyaannya adalah: sudahkah data itu selaras dengan teatrikal nyata? TIDAK sama sekali.

Tanya kenapa? Karena faktanya data BPS yang menggembirakan tersebut tidak sebanding dengan kenyataannya di lapangan. Anda yang hobi menekuri koran pasti mafhum dan mengamini statemen ini. Jika perlu, silahkan disurvey sendiri. Setiap membaca berita selalu ada cerita dengan alasan sama yang ulang-berulang, diantaranya dua tiga orang tua yang nekat menggantung diri denganmengajak anak dan keluarganya, bayi terbungkus kardus ataupun kresek yang dibuang dijalanan, pasangan suami-istri membakar diri berjamaah, suami yang nekat bunuh diri setelah sukses menghabisi istri sendiri yang kesemuanya itu bermotif sama: faktor kemiskinan. Mereka lebih memilih menghabisi nyawa sendiri karena himpitan ekonomi. Miris sekali bukan?

Dan kebanyakan kita malah salah-kaprah menertawakan kekonyolannya. Tapi cobalah sesekali berpikir dan merenung, apakah kita sudah jauh lebih baik dari mereka? Kita yang mengaku berduit lebih, memamerkan kekayaan dan sederet mobil mewah sementara di luar sana masih banyak yang susah, menyabung nyawa untuk bertahan hidup lebih lama. Sementara kita diam tak acuh seolah itu bukan urusan kita, tidak menjadi tanggung jawab bersama. Dalam kasus Ibu yang bunuh diri selepas menghabisi anaknya misalnya, bisa jadi merupakan manifestasi cinta kasih yang berakhir tragedi. Dimana dia lebih memilih mengakhiri hidupnya agar tak lagi merasakan beratnya tanggungan hidup diri dan buah hatinya. Hingga terpaksa turut menghabisi anaknya karena sang Ibu tak menginginkannya hidup susah menderita dan merepotkan orang lain. Kalau sudah begini siapa yang patut disalahkan?

Dipihak lain, praktek korupsi malah kian merajalela. Begitu ganasnya tindak korupsi di Indonesia hingga anggaran Kitab Sucipun ikut diembat. Mereka pelaku koruptor, seolah sudah hilang akal hilang kepala sehingga cukup berani menjadikan dana pengadaan Alqur’an dan proyek madrasah yang notabene untuk kemaslahatan umat sebagai ladang korup yang menggendutkan kekayaan personal. Dan pada akhirnya gap pemisah antara si miskin dan si kaya semakin renggang jauh terpisah. Yang selanjutnya memicu kecemburuan sosial dan memantik tindakan nekat kalangan bawah untuk berontak dengan ragam cara.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun