Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Adzan yang Buruk Hanya Akan Menjauhkan Dari Keimanan

27 Juni 2013   18:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:20 1610 9
Alkisah, ada seorang muadzin yang bersuara jelek. Ia tinggal di negeri yang mayoritas beragama Nasrani. Sebenarnya telah banyak orang yang mengingatkannya agar tak mengumandangkan adzan, mengingat suaranya yang jelek itu. Tetapi tak dihiraukan cegahan tersebut. Ia tetap mengumandngkan adzan.

Hingga suatu ketika, datanglah seorang pendeta kepadanya. Pendeta itu menganugerahkan berbagai hadiah kepada sang muadzin sebagai ungkapan rasa terima kasihnya yang mendalam. Didorong oleh rasa penasaran, bertanyalah seorang muslim pada sang pendeta: ” Wahai pendeta, kiranya apakah yang menjadi sebab engkau memberi banyak hadiah kepada muadzin itu?.

Pendeta itu bercerita: ” Sesungguhnya aku mempunyai seorang anak wanita yang jelita. Dan ia sangat kusayangi.  Tapi apa lacur ia jatuh cinta kepada seorang pria muslim yang sholih. Aku mengkhwatirkan dirinya suatu saat akan meninggalkan diriku dan agamanya.

Hingga suatu masa di pagi buta, putriku terbangun oleh suatu suara. Ia merasa terganggu dengan suara itu. Ia terbangun seraya bertanya: ” Ayah suara jelek apakah itu?”. Aku menjwab: ” Itu suara azan yakni panggilan Islam untuk shalat. Putriku hampir tak mempercayainya, bagaimana ajaran agama kekasihnya mempunyai panggilan untuk shalat sejelek itu. Semenjak itu putriku menjauhi kekasihnya dan juga Islam. Dan sebagai rasa terima kasihku, aku sengaja memberi sang muadzin berbagai hadiah.

Kita dapat menemui cerita di atas dalam kitab “Al-Matsnawi”. Jalaludin Rumi, sang pengarang, menampar tokoh-tokoh agama yang selalu menampakkan wajah agama dalam bentuk kekerasan. Muadzin ialah parodi dari tokoh agama. Sedangkan adzan ialah agama yang hendak disampaikan olehnya. Bagaimana adzan yang mempunyai tujuan mulia dapat disalah artikan bila ia dikumandangkan oleh muadzin yang bersuara sumbang.

Sebaik apapun tujuan kita, apabila disampaikan dengan cara-cara yang kurang simpatik, elegan, dan menebar kesan permusuhan, maka sesuatu yang baik itu akan terlihat buruk. Persis seperti layaknya parodi Rumi di atas, adzan yang seharusnya mengajak seseorang kepada keimanan, namun takkala didengungkan dengan dan oleh suara yang sumbang hanya akan menjauhkan seseorang dari keimanan.

Kiranya seluruh agama mengajarkan tentang kedamaian. Tak ada satu pun agama yang mengajarkan agar mengedepankan kekerasan. Tetapi jika agama itu disebarkan dengan cara-cara yang tak simpatik, jangan disalahkan bila orang memberi stigma buruk terhadap agama yang kita anut.

Di Indonesia, ada sekolompok orang yang menunjukkan wajah Islam dengan penuh kekerasan. Mereka lebih mengedepankan cara-cara yang jauh dari nilai suatu agama.

Terhadap sesama muslim, hanya karena beda pemahaman terhadap teks-teks agama, maka mereka tak ragu menancapkan "panah beracun" berlabel "bid'ah, syirik, dan kafir". Bahkan tak jarang menumpahkan darah demi sesuatu yang sesungguhnya teramat relatif, yakni kebenaran.

Di bulan Ramadhan nanti, kita akan menyimak bagaimana segelintir orang berjubah agama yang bergerak menggantikan peran pemerintah untuk men-sweeping tempat-tempat yang dianggap sebagai biang kerok dari kemaksiatan. Mengganggu umat dari kekhusyukan beribadah di bulan seribu bulan.

Dalam kisah Rumi di atas, cara-cara mereka diparodikan sebagai suara yang sumbang. Suara yang menyakitkan bagi orang lain, tetapi tidak untuk dirinya. Mereka menganggap telah membela "tuhan" (dengan t kecil), padahal Tuhan (dengan T besar) belum tentu merasa terbela oleh "adzan" sumbang mereka.

Rumi seakan ingin menegaskan, bahwa walau tujuannya benar, yaitu “a’mar ma’ruf nahyi munkar”, bila disampaikan dengan cara-cara yang tak simpatik, maka tujuan itu akan menjadi bias. Ia akan menjadi samar, tersapu oleh wajah kekerasan yang ditampilkan. Bahkan tak jarang stigma buruk bukan tertuju kepada kelompoknya saja, bahkan terhadap agamanya.

Beruntunglah kita mempunyai para Wali. Sebagai generasi awal penyebar Islam, para wali tidak menampakkan wajah Islam yang arogan. Meminjam bahasa Gusdur, “tidak mutlak-mutlakan”. Mereka senantiasa bersikap ramah. Mereka tampilkan gaya dakwah yang merakyat. Dakwah yang jauh dari unsur pemaksaan dan kekerasan. Sehingga tak ada satu pun darah yang tercecer dari penyebaran Islam para Wali di bumi khatulistiwa ini. Hasilnya?, bisa kita rasakan saat ini.

Saya pernah menulis artikel mengenai beda cara dakwah antara ustad muda dan kiai tua terhadap seorang nenek tua yang hendak berkurban sapi namun atas nama delapan orang. Ustad muda -dengan suara sumbang- langsung memvonis "sesat" terhadap sang nenek. Berbeda dengan kiai tua yang dengan arifnya menyuruh nenek untuk membeli "tangga" berupa seekor kambing.

Hasilnya-pun berbeda. Dakwah ala ustad muda justru hanya akan melahirkan resistensi, kebenciaan, menjauhkan seseorang dari nilai-nilai agama serta keimanan. Sedangkan dakwah ala kiai tua akan mendekatkan seseorang kepada keimanan.

Tujuan yang sama namun dengan cara yang berbeda tentu akan menelurkan hasil yang berbeda pula. Dakwah ala kiai tua, yang penuh arif dan bijaksana akan senantiasa langgeng dan berbekas di hati ketimbang dakwah ala ustad muda. Mengapa? Karena dakwah ala ustad muda disampaikan dengan suara yang sumbang, jauh dari nilai-nilai kearifan, penuh dengan stigma-stigma kekerasan. Sesuatu yang muncul dari kekerasan niscaya tak akan bertahan lama.

Saya tak bisa membayangkan, andaikata kelompok2 anarkis itu yang menjadi generasi awal penyebar agama Islam. Entah berapa banyak darah yang harus tumpah atas nama agama dan kebenaran. Satu yang pasti, bila mereka yang menjadi generasi awal, nikmat Islam tak akan bisa kita rasakan. Dan parodi Rumi cukup memberi pelajaran bagi kita, agar jangan sampai suara sumbang merusak keindahan nilai suatu agama.

Gitu aja koq repot!

Ditulis sebagai tanggapan atas maraknya "sweeping" di bulan Ramadhan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun