Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Lelakiku Seorang ODHA...

13 April 2012   13:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:39 376 2
[caption id="" align="aligncenter" width="314" caption="from google"][/caption]

Sepagi tadi entah apa isinya hatiku. Rasa yang begitu bergejolak mulai kurasakan bahkan semenjak aku membuka kedua kelopak mataku. Aku menunggu datangnya hari ini? Ah, kurasa tidak demikian.

Aku membuka pelan gagang pintu ruanganku, lalu menekan stop kontak lampu yang menempel didinding ruangan. Hari ini adalah jadwal rutinku memberikan konseling tentang obat kepada pasien penderita HIV/AIDS atau biasa kusebut ODHA (orang dengan HIV/ AIDS).

“Mau minum apa bu?” tanya Rani padaku begitu ia melihat pintu ruanganku terbuka.

“Teh hangat aja seperti biasa” pintaku pada Rani. Rani tersenyum tulus yang kubalas dengan ucapan terimakasih dan senyuman tak kalah hangatnya. Saat ini Aku bekerja disalah satu RS pemerintah di kawasan Fatmawati. Sudah 5 tahun aku mengabdi disana. Aku berjalan ke salah satu rak yang terletak disudut ruangan berukuran 4X4 meter itu. Meneliti satu demi satu jejeran file holder yang berjejer rapih. Kuambil beberapa buah dan kuletakkan diatas meja kerjaku.

“Restu Putra” nama itu tertera disampul depan salah satu file holder yang aku letakkan diatas meja kerjaku. Aku membuka satu persatu halaman file itu. File itu merupakan file yang berisi tentang status pengobatan pasien, mulai dari awal mendapatkan pengobatan hingga saat ini. Fikiranku kembali menerawang keperistiwa yang terjadi padaku 7 tahun lalu. Mengingat kembali lelaki yang pernah kukenal dengan nama yang sama.

Aku memanggilnya Putra, lelaki yang kukenal dari salah seorang rekanku ditempat kerjaku sebelumnya, diJogya. Dia pria yang cukup baik, dengan perawakan yang tinggi tegap, dan memiliki postur tubuh yang ideal (setidaknya itu menurut pendapatku dulu), wajahnya yang putih bersih menambah daya tarik tersendiri. Biasanya kami berkomunikasi lewat sms ataupun chatting via YM, dan itu biasanya kami lakukan malam hari. Mulai dari obrolan serius tentang pekerjaan kami masing – masing atau hanya berupa candaan – candaan ringan kami. Tawa dan cerita, rupanya memang bisa menjadi jalan lapang menuju hati, dan Putra sukeses melakukan hal itu.

Meski kami jarang bertemu karena kesibukan kami masing – masing, tapi komunikasi yang intens lewat sms dan chatting sukses menempatkan putra dideretan atas teman lelakiku.Dia memiliki kemampuan mendengarkan yang baik, bisa memotivasiku saat aku merasa lelah dengan beban kerja yang bertumpuk, mengingatkanku untuk beristirahat sejenak dan makan saat pekerjaanku menyita waktu istirahatku. Beberapa kali kami bertemu dan menghabiskan akhir pekan bersama, atau hanya sedekar makan siang bersama disaat – saat tertentu. Dan Putra, rupanya sudah masuk lebih dalam ke dasar hatiku.

would you be my girl friend?” tiba – tiba tulisan itu muncul dilayar monitorku saat sedang asik chatting dengan Putra. Antara terkejut dan senang saat membacanya. Aku tak langsung membalasnya. Putra lalu mengirim ikon senyum lebar, dan aku hanya tersenyum biasa. Aku ingin segera memjawab ajakan Putra, tapi ada ragu yang entah karena apa. Tiga bulan Putra menungguku memberinya jawaban, sampai akhirnya aku setuju dan menerima putra menjadi lelaki pertamaku. Usiaku 25 tahun dan Putra 30 tahun saat itu, dan bukan lagi usia muda yang hanya berfikir tentang pacaran. Aku ingin hubunganku dengan Putra jelas dan terang. Dan Putra pun mengatakan hal yang sama.

“Aku juga nyari calon istri Gendis, bukan cuma pacaran yang main – main, dan aku maunya sama kamu” jelas Putra saat aku mengutarakan niatku yang sedang mencari calon suami. Satu bulan pertama hubungan kami berjalan dengan baik, meski intensitas pertemuan kami tetap tak banyak berubah. Bahkan kami lebih jarang bertemu karena kesibukan kami dan jadwal yang tak pernah sama. Tapi komunikasi kami tetap bisa berjalan baik seperti sebelumnya.

Memasuki bulan kedua, perlahan semuanya mulai berubah. Aku mulai jarang melihat Putra online dan kami pun mulai jarang chatting. Beberapa sms yang aku kirim tidak mendapatkan balasan dari Putra. ‘Mungkin Putra lagi banyak kerjaan’ itu yang terbersit difikiranku pada awalnya. Tanpa berusaha sedikitpun berfikiran buruk tentangnya dan tentang perubahan sikapnya, tapi tetap saja terkadang fikiran buruk itu muncul. Kami mulai jarang berkomunikasi, dan puncaknya saat Putra mendelete aku dari coontact list YMnya. Itu pun baru aku ketahui kemudian, saat aku iseng mencari Putra di contct list YMku. Aku tak menemukannya sama sekali, dan barulah aku sadar bahwa dia benar – benartak ada dalam contact list.

Seribu satu fikiran mulai berkecamuk diotakku, dan sungguh aku merasa sangat sedih dan bingung. Aku menghubungi salah seorang temanku yang juga teman putra. Kebetulan saat itu dia sedang onlie. Di contact listnya rupanya masih ada putra, dan bukan main terkejutnya aku saat mendapatkan kabar darinya.

“Sabar ya Gendis, Putra pasti punya alasan untuk ini semua” ucap Raya seraya menenangkanku. Raya mengirimi sebuah foto yang dijadikan Putra sebagai profil picturenya, foto Putra dengan seorang wanita yang terlihat begitu mesranya. Putra mencium lembut kening wanita itu, yang menurut Raya adalah mantan pacar Putra yang sebelum aku. ‘My becoming wife’ tulisan itu menjadi status message Putra. Aku hanya bisa menatap hampa layar monitorku, tangisku tak terbendung sama sekali. Lelaki pertamaku, yang aku harap bisa menjadi pendampingku, justru membuatku berada dalam kesedihan yang teramat sangat.

Tak tahu harus melakukan apa, tak hendak meminta penjelasan apapun dari Putra, tapi aku masih berharap ada penjelasan untuk ini semua atau setidaknya sebuah i’tikad baik untuk meminta maaf. Tapi hampir selama 7 tahun ini sama sekali tak ada kabar dari lelaki itu. Dan salah satu pasienku ini kembali mampu mengingatkanku padanya.

Jam diruanganku sudah menunjukkan pukul 9 tepat. Rani juga sudah mengantarkan segelas teh manis hangat dan beberapa buah snack dan meletakkannya di atas mejaku. Aku menyeruput pelan teh manis hangatku beberapa kali, cukup mampu menghangatkan tubuhku yang kedinginan karena AC yang menyala diruanganku. Sembari menunggu pasien yang akan konseling hari ini, aku merekap beberapa data yang akan kulaporkan akhir bulan ini.

Pukul 10 tepat, Rani memberitahuku bahwa dua orang lelaki yang memiliki jadwal konseling denganku telah datang. Aku segera membereskan tumpukan kertas laporanku dan hanya menyisakan beberapa satatus pasien diatas meja. Pintu ruanganku kembali diketuk.

“Masuk” perintahku. Agak lama aku menunggu sampai gagang pintu ruanganku berbunyi dan terbuka. Aku bangkit dan berdiri menyambut pasienku. Amat pelan dan sepertinya orang itu agak ragu membuka pintu ruanganku, sampai akhirnya memunculkan seorang pria yang sudah cukup kukenal. Alan, lelaki yang biasa mengambil obat untuk kakaknya, yang bulan lalu mengatakan bahwa kakaknya lah yang bulan ini akan mengambil obatnya sendiri. Aku tersenyum menyambut alan. Alan seolah mengerti dan menangkap pertanyaanku tentang janjinya bulan lalu. Aku memang pernah beberapa kali meminta Alan mengajak serta kakaknya, aku hanya ingin berbincang – bencang dan memberi motivasi pada pasienku itu.

“Ini kakak saya bu” ucap Alan dengan sopannya. Usia alan mungkin sama denganku saat ini, tapi karena menghormatiku dia memanggilku dengan sebutan ibu. Cukup lama kami menunggu Restu yang tak juga mau menampakkan wajahnya padaku. Dan itu semakin membuatku penasaran, karena tiba – tiba dadaku berdetak dengan kencangnya. Sungguh sudah lama aku ingin bertemu dengan Restu, bahkan sejak awal aku menerima surat permintaan pemberian obat untuk Restu. Selama ini Alan lah yang biasa mengambil obat untuk kakakknya.

Ya Tuhan, apalagi ini. Kejutan yang membuat kakiku lemas dan hampir terjatuh. Aku menopangkan tubuhku pada meja kerjaku dan nyaris lunglai. Ada tangis yang tertahan, rasa sesak yang tiba – tiba menyeruak. Mampukan aku untuk bertahan ya Tuhan. Lelaki yang semula memiliki tubuh tinggi tegap, wajahnya yang putih dan selalu menampilkan sinar pesonanya, sungguh tak kutemui lagi sosok yang seperti itu kini. Dihadapanku berdiri seorang pria dengan nama yang sama dengan lelaki pertamaku dulu. Bukan hanya nama yang sama, tapi dua orang yang sejak dulu kuharap berbeda ternyata adalah orang yang sama.

Aku berusaha keras menyunggingkan senyumanku untuknya, dan ia pun terlihat tersenyum meski sama – sama dipaksakan. Aku menjabat tangannya yang dingin membeku sembari menyebutkan namaku kaku.

“Gendis”. Ia hanya tersenyum mengiyakan. Lelaki pertamaku yang kuharap menjadi pendampingku, yang menghilang dan tak pernah berkirim kabar selama 7 tahun bahkan hanya untuk sekedar meminta maaf, kini berdiri dihadapanku sebagai pasienku. Pasien yang tak pernah kuharapkan, bahkan meskipun dia telah memberi luka yang teramat sangat sulit untuk kusembuhkan. Ditengah – tengah keterkejutanku yang masih belum juga hilang, aku menyadari satu hal. Bahwa penjagaan Tuhan rupanya bisa datang dalam bentuk apapun, bahkan dalam bentuk rasa sakit hati dan terkhianati. Aku tak tahu akan jadi seperti apa jika aku masih tetap berhubungan dengannya dulu, dan bukan tidak mungkin aku akan mengidap penyakit yang sama dengannya dan mungkin akan berada dalam keterpurukan yang lebih dalam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun