Mohon tunggu...
KOMENTAR
Foodie

Selayang Pandang Sejarah Budaya Makan Rijsttafel

21 Desember 2010   04:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:32 1965 2

Terdapat banyak hal yang menarik apabila menyimak kembali kehidupan budaya pada masa kolonialisme Belanda di Indonesia (dahulu bernama Hindia Belanda) pada abad ke-19 hingga paruh pertama abad ke-20. Dalam ranah kebudayaan, masa kolonialisme Belanda ditandai dengan terjadinya percampuran budaya antarbangsa yang berlangsung dalam kurun abad ke-17 hingga puncaknya pada abad ke-19. Orang-orang Belanda terkesan adalah salah satu elemen masyarakat kolonial yang punya peran dalam memunculkan banyak wujud budaya baru –yang bahkan beberapa masih eksis hingga saat ini– sebagai hasil akulturasi yang berlangsung lama itu. Namun, sebenarnya kebiasaan dan budaya pribumilah yang memengaruhi kehidupan mereka di negeri tropis. Hanya saja orang-orang Belanda-lah yang kemudian memodifikasinya sesuai selera mereka. Di antara hasil dari akulturasi budaya antara budaya pribumi dengan budaya Belanda itu adalah kebiasaan makan yang diberi nama rijsttafel.

Rijsttafel adalah istilah yang amat populer di Hindia Belanda pada paruh kedua abad ke-19. Rijst berarti “nasi” dan tafel yangsecara bahasa sebenarnya berarti “meja” namun lebih diartikan sebagai “hidangan.” Kedua kata itu dipadukan lalu dihasilkanlah kata rijsttafel. Istilah ini kemudian dipakai dan dikenal oleh orang Belanda dan keturunannya dari generasi-generasi terhadap hidangan Indonesia yang ditata komplet di atas meja makan.

Embrio rijsttafel ini diperkirakan muncul sejak awal abad ke-19. pada masa tersebut orang-orang Belanda yang tinggal di Indonesia umumnya adalah para pria yang hidup sendiri di negeri koloninya tanpa istri dan anak-anak mereka. Kondisi ini jelas menyulitkan kehidupan biologis mereka, salah satunya adalah dalam hal makan sehari-hari. Di negeri jajahannya, sulit bagi mereka untuk menemukan makanan Eropa. Hal ini disebabkan, selain tidak adanya kaum wanita Eropa yang biasa mengurus hidupnya, juga disebabkan sulitnya menemukan bahan-bahan makanan Eropa tersebut. Jarak tempuh pelayaran laut yang memakan waktu berbulan-bulan lamanya serta belum ditemukannya teknologi pengawetan bahan makanan sebelum tahun 1870, membuat bahan makanan Eropa begitu langka adanya; sekalipun ada umumnya sangat mahal sekali. Dalam mengatasi permasalahan ini, maka mereka mengawini wanita-wanita pribumi yang masa itu dikenal dengan penamaan “nyai-nyai” untuk mengurus hidup mereka. Di tangan para nyai inilah, pria-pria Belanda tersebut terbiasakan untuk makan nasi berikut hidangan lokal pribumi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun