Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Melawan Ala Jakob Oetama

10 September 2020   12:04 Diperbarui: 10 September 2020   12:08 112 4
Ketika membicarakan Jacob Oetama dengan Kompasnya, ada kritikan bercampur keluhan beberapa kalangan dunia Pers terhadap Jacob Oetama. Pendiri Kompas ini dianggap bersikap kompromistis terhadap Orde Baru. Tidak berani melawan rezim pemerintah Soeharto yang mengekang kebebasan berpendapat dan memberangus demokrasi. Kritiknya maju mundur. Tidak tegas, tidak frontal dan tidak berani.

Rosihan Anwar, tokoh pers nasional dan pemimpin redaksi Pedoman, menyebutkan jurnalistik yang dikembangkan Kompas sebagai jurnalistik kepiting.
Sebuah praktek jurnalistik dimana Kompas tidak berani mengkritik pemerintah secara langsung. Kompas seperti orang yang berjalan melintasi sungai dan tidak bisa melihat dasarnya. Karena itu, kakinya berjalan sambil meraba-raba apakah ada kepiting yang mungkin menggigitnya. Kalau ada kepiting menggigit kaki, orang tersebut akan mundur perlahan. Namun jika tidak ada kepiting, ia berani maju lagi.

Langkah pelan-pelan tersebut dipraktikkan dalam gaya bahasa yang berputar-putar ketika sedang mengkritik pemerintah. Tidak berani langsung mengkritik pemerintah.

Untuk melihat Jacob Oetama yang kompromistis, mungkin hal menarik mencerna paparan yang disampaikan Wijayanto Ph.D. Dsampaikan dalam Sessi ke-6 Serial bincang sejarah komunikasi yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII)pada Sabtu 15 Agustus 2020. Pada Sessi ke-6 ini temanya adalah sejarah hubungan Harian Kompas dan Kekuasaan 1965-2015.

Departemen Ilmu Komunikasi UII melalui Forum Amir Effendy Siregar, sejak Minggu 26 Juni 2020 rutin melakukan diskusi mingguan tentang sejarah komunikasi di Indonesia. Sementara Wijayanto sendiri adalah Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES serta dosen di Universitas Diponegoro. Wijayanto meraih gelar Ph.D dari Belanda setelah menuntaskan penelitian tentang sejarah relasi Kompas dan kekuasaan.

Menurut Wijayanto, ada momen menarik ketika Kompas dibredel oleh Presiden Soeharto dan ingin terbit kembali. Setelah Presiden Soeharto mengingatkan Jacob Oetama supaya tidak macam-macam dengan kekuasaan yang sedang dia pimpin, pastinya dengan gaya khas Soeharto yang mengancam sambil tersenyum, beberapa hari berikutnya Jacob Oetama bersama kompatriotnya PK Ojong mendatangi sebuah kantor pemerintah untuk mengambil surat izin terbit Kompas.

Namun ketika mengambil surat izin tersebut, Jacob Oetama lah yang memasuki kantor pemerintahan itu. Adapun PK Ojong hanya duduk di parkiran mobil. Tidak mengikuti Jacob Oetama mengambil surat izin. Karena bila PK Ojong ikut serta, dikhawatirkan surat izin tersebut tidak jadi turun. Karena PK Ojong dikenal sangat frontal terhadap kekuasaan. PK Ojong menolak persyaratan permohonan maaf yang harus dibuat Kompas bila ingin terbit kembali. Karena bagi PK Ojong, dibredel bulan ini atau tahun depan, sama saja. Berbeda dengan Jacob Oetama yang mau minta maaf terhadap Presiden Soeharto dan menanda tangani surat perjanjian. Karenanya Kompas pun bisa terbit kembali dan berkembang sampai sekarang.

Jadi dari sindiran Rosihan Anwar tentang jurnalisme kepiting dan proses pengambilan surat izin terbit Kompas dari pemerintah Orde Baru, Jacob Oetama terlihat sebagai orang pragmatis. Tunduk terhadap tekanan rezim yang berkuasa. Serasa tidak ada heroisme dalam jurnalismenya.

Namun sangat sulit membantah bahwa kompromi yang ditunjukan Jacob Oetama bukan pragmatisme demi keuntungan material dirinya. Karena perjalanan kehidupan Jacob Oetama selanjutnya lebih menunjukan antusiasme nya dalam berkarya di bidang jurnalistik ketimbang berwirausaha dalam jurnalistik. Keuntungan yang diperoleh lebih daripada imbas produk-produk jurnalistik yang disukai masyarakat.

Jurnalisme kepiting memang menunjukan ketidak tegasan Kompas dalam mengkritik rezim represif. Namun jurnalisme kepiting juga mengindikasikan bahwa Jacob Oetama dengan Kompas nya tetap melakukan kritik terhadap rezim despotik.

Tidak ada nuansa heroisme dalam kritik yang dilakukan Kompas. Karena bahasanya berputar tidak langsung ke titik tujuan. Namun dalam pola mengkritik seperti itulah butuh kecerdasan ekstra. Mesti jeli melihat celah dan pintar berkelit menghadapi rezim yang represif. Supaya kritik dan kehidupan tetap terus berjalan.

Kebenaran memang mesti dikatakan, meski pahit rasanya. Orang butuh keberanian untuk mengatakan kebenaran yang pahit. Namun orang membutuhkan lebih dari sekedar keberanian untuk mengatakan kebenaran yang pahit dengan cara tepat di situasi yang tepat.

Karena itu Jacob Oetama mungkin tidak mengatakan Soeharto itu diktator dalam headline nya. Namun memberitakan tentang adanya rezim diktator yang tumbang di Rusia sana. Namun memiliki ciri-ciri yang persis dengan Indonesia. Kompas mungkin tidak mencela KKN sebagai sesuatu yang merusak bangsa di halaman depan. Namun rubrik budaya atau karikatur yang ada di halaman dalam juga mengingatkan hal itu.

Dalam konteks inilah bisa difahami pertanyaan informal Jacob Oetama kepada anak buahnya tentang pers yang dibredel karena melawan pemerintah. Apa yang bisa disuarakan wartawan ketika medianya sudah dibredel?

Pada sisi lain, meski terkesan pragmatis dengan kekuasaan, orang juga agak sulit mempertanyakan idealisme seorang Jacob Oetama kepada dunia jurnalistik. Idealisme dibalik sikap pragmatisme yang ditunjukan.

Jurnalisme yang dikembangkan Jacob memang tidak membuatnya dipenjara. Sebagaimana jurnalisme yang dikembangkan generasi se-angkatannya. Namun Jacob dikenal sebagai orang yang rajin mengirim buku kepada pejuang-pejuang pers yang di penjara, dan membantu kehidupan keluarga-keluarga mereka. Karena menurut Jacob, karena mereka jugalah dia sebagai jurnalist bisa terus menjalankan perannya.

Jacob mungkin tidak mengembangkan serikat buruh yang kritis terhadap lembaganya. Semua ditata seperti hubungan ayah dan anak yang mengayomi seperti filosofi Jawa. Bukan ditata dalam pola hubungan industri antara pekerja dan majikan yang saling mengkritisi. Namun sulit dielakan bahwa Jacob dikenal sebagai orang yang memperhatikan kesejahteraan karyawannya dan membangun interaksi yang hangat dengan mereka. Karenanya sangat mudah menemukan orang yang menghabiskan umurnya bekerja di Kompas. Banyak orang yang sangat loyal bekerja di Kompas. Rasionalitas Macchiavelli yang mengatakan bahwa cinta adalah hal yang naif dipakai dalam mengelola kekuasaan, sepertinya dihadapan Jacob hal itu tidak berlaku.

Diluar produk jurnalistik yang sudah dihasilkan, mungkin cara lain untuk memahami Jacob dan komitmennya terhadap Indonesia adalah dengan melihat apa yang terlihat di Hotel Santika. Sebuah Hotel yang merupakan bagian dari Kompas Group yang dipimpin Jacob.

Bila kita sempat menginap di Santika sebelum pandemi, kita akan menemukan hal yang unik dan mungkin terlihat sepele di hotel ini. Namun tidak ada di hotel lain sekelasnya. Yaitu hidangan masakan dan makanan lokal Indonesia dengan nuansa Indonesia. Mungkin sepele, tapi ide sepele seperti ini hanya akan muncul dari seorang wirausahawan yang tidak hanya memikirkan untung saja, tapi juga memikirkan tradisi budaya bangsanya.

Terima kasih atas karyanya Pak Jacob. Semoga kami bisa melanjutkan yang sudah dirintis, menambal yang kurang, dan melengkapi yang belum ada.

Tulisan ini sudah dipublikasikan di siberindo.co

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun