Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Duh, Aku Bosan dengan Corona!

29 Maret 2020   11:57 Diperbarui: 29 Maret 2020   12:36 191 18
Dalam kurun beberapa waktu ini, topik pembicaraan di sekitar kita, tepatnya di media percakapan online, didominasi oleh corona. Hal ini membuat sebagian besar, termasuk penulis juga lambat laun menjadi bosan. Bahkan, bisa-bisa semakin tak mau tahu tentang corona. Mengapa bisa demikian?

Sebelum membahasnya lebih lanjut, kita perlu tahu bahwa ada dua pertanyaan yang perlu dijawab saat kebosanan terhadap pembicaraan corona melanda. Pertama adalah pertanyaan tentang mengapa corona menjadi "primadona" di kalangan masyarakat? Kedua, mengapa kita mulai bosan dengan pembicaraan tentang corona?

Mengenai pertanyaan pertama sebenarnya sudah dimulai dari akhir paragraf pertama, dan akan dijawab dalam uraian sebagai berikut:

Pertama, karena corona semakin mendekati kehidupan kita (masyarakat Indonesia). Jika sebelumnya kita merasa corona adalah "makhluk" jauh, karena masih di China, Italia, dan lainnya. Kini, corona sudah ada disekitar kita. Itulah yang membuat masyarakat semakin gencar membicarakan corona.

Tentu, ada bagus dan tidaknya saat membicarakan corona saat kita juga sedang was-was terhadap corona. Bagusnya, kita menjadi tahu perkembangan informasi tentang corona. Buruknya, kita semakin takut untuk melihat kenyataan. Ya, kenyataan seringkali tidak ingin memberikan hal-hal yang manis saja kepada kita, tapi juga pahitnya. Hm....

Alasan kedua, karena apa yang sedang viral biasanya menjadi bahan obrolan, termasuk corona. Tentu ini juga memiliki bagus dan tidaknya terhadap kita. Bagusnya, kita menjadi memiliki penambahan informasi yang bisa saja kita tidak tahu sebelumnya. Apalagi jika bersangkut-paut dengan kesehatan dan dunia internasional.

Bagaimana kita bisa tahu-menahu dengan kesehatan, jika kebiasaan kita adalah ngemil saat bekerja dengan gadget, bukan?

Begitu pula soal informasi internasional. Jangankan membaca berita dari Inggris, Italia, dan lainnya, membaca berita dari kota sendiri saja malas. Namun, ketika tejadi pandemi, kita menjadi berubah, mulai melek informasi dan sadar kesehatan. Walau, kita tentu tidak mengharapkan bahwa stimulusnya adalah corona, bukan?

Lalu apa buruknya? Yaitu, kita menjadi terbebani oleh informasi yang bisa saja ternyata hoax (baca: hoks). Beruntung, disaat kepanikan melanda kita, para pelaku penyebar informasi palsu dapat diringkus dengan cepat. Ini membuat kita cukup lega, walau tanpa sadar kita masih membicarakan tentang corona meski fokusnya berbeda, yaitu tentang kebenaran informasi terkait corona.

Alasan ketiga, corona membawa banyak fenomena didalam kehidupan kita. Seperti perubahan gaya hidup, meningkatkan melek kesehatan, kabar tentang perbaikan lapisan ozon, dan lain sebagainya. Artinya, membicarakan corona juga akan membicarakan hal lain.

Kita bisa membicarakan tentang makanan dan minuman sehat, bagaimana cara membuat hand sanitizer di rumah, mengapa orang-orang menjadi terlihat rakus dan tak peduli sesama, dan sebagainya. Ini tentu menarik untuk dibahas, meski pada akhirnya kita tak bisa jauh-jauh untuk tidak membahas corona, karena dialah yang merintis.

Dari ketiga alasan itu, kita mulai sadar bahwa pembicaraan tentang corona semakin menyita perhatian dan terus digaungkan oleh masyarakat kapan saja. Maklum, saat ini aktivitas kita semakin besar di rumah, sehingga intensitas untuk melihat ponsel dan chatting-ria semakin meningkat.

Jadi, siapa yang bisa menghindari topik tentang corona? Bahkan, bisa saja saat ngobrol dengan gebetan, yang dibahas juga corona. "Kamu baik-baik aja, kan sayang?"

Kini kita melaju ke pertanyaan kedua yang akan dijawab dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:

Pertama, karena diantara kita ternyata memang ada orang-orang yang memiliki tingkat paranoid yang tinggi. Memang, alasan masuk akalnya adalah "ini upaya pencegahan dan waspada". Tetapi, tanpa disadari, sebenarnya itu bagian dari tanda bahwa kita juga memiliki potensi untuk paranoid.

Sekecil apapun paranoid itu, kita bisa saja memaklumi. Karena memang situasi saat ini seperti yang sudah kita ketahui bersama, bahwa corona "come closer, and come closer" dari waktu ke waktu. Kita bahkan tak bisa memprediksi akan bebas kapan dari jeratan bayang-bayang virus tersebut.

Termasuk bagaimana kita membayangkan tradisi mudik hari raya ketika momen itu semakin dekat, namun angka kematian dan pasien corona semakin meningkat. Sungguh tak bisa dibayangkan, dan kita pun semakin jengah dengan situasi tersebut. "Jadi, kenapa masih membahas corona?!"

Ok, daripada semakin emosi, kita lanjut ke alasan kedua, yaitu masih adanya orang-orang yang berisiko terkena corona. Tentu ini tidak bermaksud memprediksi dan menakut-nakuti. Tetapi, memang fakta di lapangan, masih banyak pekerja yang tidak work from home (WFH).

Hal ini tentu membuat kita semakin tidak nyaman saat mengetahui obrolan di grup dan personal chat terus-menerus membahas corona. Bagaimana bisa kita menjadi positive thinking saat diri kita saja masih berada di kawah candradimuka.

Alasan ini tentu masuk akal, karena seperti alasan pertama. Efek kewaspadaan tingkat tinggi membuat kita semakin tidak nyaman, dan berpeluang besar untuk stress. Wong yang "hanya" sekolah saja sudah ngeluh bosan di rumah saja dan tidak dapat uang jajan, apalagi bagi yang sudah bekerja dan daya jelajahnya luas. Tentu ini akan membuat rasa tidak aman semakin menebal, dan ini patut dihindari, bukan?

Alasan ketiga, membahas corona seperti membahas politik. Sebagian dari kita biasanya tidak menyukai konten-konten dan topik pembicaraan tentang politik. Padahal, ketika kita hidup, kita sudah langsung berhadapan dengan politik.

Politik rumah tangga dari adanya Kepala Keluarga (ayah/ibu) dan anggota KK (anak), lalu di sekolah kita harus mengenal adanya status Kepala Sekolah, Guru, Wali Kelas, Ketua Kelas, Ketua Osis, dan lainnya. Apakah itu bukan politik?

Begitu juga saat bekerja. Rasanya naif ketika kita tidak suka membahas tentang politik, tetapi saat berkumpul dengan sesama pegawai justru membicarakan kinerja bos ataupun pegawai lain. Apakah itu bukan politik?

Artinya, politik sudah melekat dalam hidup kita. Mau dihindari sekuat apapun, sulit. Kecuali kita pergi ke Kutub Utara. Itu saja kita harus berhadapan dengan politik ekosistem, yang mana kita harus berbagi peran dengan makhluk non manusia.

Hal ini juga sama seperti saat kita menghadapi topik tentang corona. Sebosan apapun kita, pembicaraan itu akan terus terjadi. Bahkan, meski corona surut dan lenyap, atau setidaknya menjadi jinak, tetap saja akan ada yang membahas tentang corona. Misalnya dengan pembahasan "AKIBAT CORONA, HIDUPKU MENJADI LEBIH BAIK" atau "INILAH 5 HIKMAH DARI CORONA", dan lain-lain.

Ya, itu akan terjadi, dan bahkan sudah ada kok yang mulai membahasnya. Padahal coronanya saja masih berenang disekitaran kita, dan belum tentu pasca mengetahui hikmah dan tips itu kita benar-benar lolos dari corona sehari, sepekan, atau beberapa waktu kemudian.

Seperti itulah kira-kira gambaran tentang corona yang mana membuat kita cukup sulit untuk tidak membahasnya. Bahkan, kita juga tidak boleh mengabaikannya, karena kita sama sekali tidak tahu bagaimana dan kapan corona itu bisa mengincar kita. Jadi, membahasnya juga untuk memberi dan menjaga kewaspadaan kita terhadap corona.

Tetapi, "bagaimana jika aku bosan dengan corona? Coba bahas yang lain dong!"



Malang, 29 Maret 2020
Deddy Husein S.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun