Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Hakekat Ber-agama

19 Oktober 2010   02:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:18 453 0
Dalam islam dikenal konsep Hablumminannas dan Hablumminallah. Secara horizontal manusia dituntut merefleksikan prestasi ibadahnya terhadap sesama manusia dan juga secara vertikal kpd Allah.

Sering saya tergelitik dengan konsep yg ditawarkan oleh beberapa keyakinan diluar islam yg mengagung-agungkan konsep kasih-sayang sesama manusia sebagai hakikat ataupun inti dari ajaran agama atau keyakinan itu sendiri. Saya sendiri kurang memahami inti ajaran tsb namun seperti itulah yg saya tangkap (mohon koreksinya jika saya salah memahami).

Hanya saja, "mereka" kurang tepat dalam memahami ajaran islam dengan memberikan contoh kasus per kasus yg saya anggap sebagai "oknum" bukan representasi dari ajaran islam itu sendiri.

Ajaran islam adalah ajaran universal yg menembus dimensi ruang dan waktu. Universaliltas ini bukan sekedar isapan jempol belaka. Ibarat spcimen, mungkin akan banyak "pisau bedah" yg dibutuhkan utk membedah islam sebagai sebuah agama yg universal. Bukan hanya "pisau bedah" sosio historis, sains atau apapun............

Keimanan dalam Islam (menurut saya) adalah diyakini dalam hati lalu diucapkan dengan lisan kemudian diwujudkan dalam perbuatan (melalui ibadah lahiriyah atau syariah) dan selanjutnya direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari. Ini merupakan satu kesatuan yg tidak boleh dipisahkan. Rangkaian keimanan menurut saya akan bermuara kepada Hakekat atau inti dari ajaran agama tsb. Jika anda sudah berniat dalam hati menjadi seorang muslim, maka anda akan mengucapkannya syahadat dgn lisan lalu mewujudkannya dalam ibadah yakni Shalat dll, serta anda akanĀ  merefleksikan nilai-nilai Ketauhidtan bukan hanya kepada sesama manusia, namun juga seluruh alam.

Hakekat yg saya maksud adalah pada rangkaian terakhir dari keimanan yakni "direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari". lalu bagaimana kita bisa bermuara kpd hakikatnya?Apakah ketika kita sudah berniat dan lalu membaca 2 kalimat sahadat dan menjalankan shalat/puasa/zakat/haji, kita akan otomatis mencapai tataran hakikat ini?

Jawabannya: iya namun dengan catatan bhw semua rangkaian keimanan tsb anda jalankan dengan keikhlasan dan kesabaran mengharap RidhoNya. Atau secara kasar rangkaian tsb harus dilewati tanpa kurang satu apapun dalam standar pelaksanaannya.

Saya tidak bicara muluk-muluk tentang hakekat. Saya tidak bermaksud jika hakekat adalah berarti MataNya adalah mataku, TanganNya adalah Tanganku dan lain-lain. Jika ini yang anda maksud, maka (maaf) saya belum punya pengetahuan ke arah sana.

Yang saya maksudkan adalah hakekat tidak akan tercapai tanpa rangkaian keimanan yg saya maksudkan di atas. Hakekat tanpa Syariat adalah nol besar. Bagaimana mungkin seorang Einstein menemukan E=MC2 jika ia tidak tahu 1+1 = 2.

Tahapan 1+1 = 2 selalu dilalui untuk memperoleh E = MC2. Hal ini pun bukan berarti ketika sudah memahami E = MC2 maka akan kita lupakan 1+1 = 2 atau malah tidak menggunakannya.Tidak mungkin kita akan mencapai tahapan Hakekat dengan sekedar percaya saja akan adanya eksistensi Tuhan namun kita mengingkari semua perintahNya. Tidak mungkin kita shalat saja dapat secara otomatis akan mewakili nilai-nilai ketauhidtan saja tanpa perbah bermanfaat bagi orang-orang disekitar kita. Mustahil.

Disinilah konsep Hablumminannas dan Hablumminallah yg saya maksud. Hakekat kita sebagai jiwa yg terperangkap dalam badan jasmaniah dan jiwa yg mencari kebenaran sang Khalik. wassalam

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun