Mohon tunggu...
KOMENTAR
Gadget Artikel Utama

Mampukah Metaverse Menggantikan Kehidupan Nyata?

12 Januari 2022   13:29 Diperbarui: 14 Januari 2022   10:07 2459 35
Pada tahun 1992, saat internet masih jadi barang baru, seorang novelis Amerika Neal Stephenson menulis tetang sebuah dunia virtual di mana orang-orang menggunakan avatar digital untuk hidup, kerja, dan bermain secara online.

Stephenson menyebut dunia tersebut 'Metaverse', yang merupakan gabungan kata Yunani 'Meta' yang berarti 'melampaui' dan 'universe' yang artinya 'semesta'.

Ia mengatakan bahwa Metaverse akan menggantikan internet, dan menjadi semacam tempat untuk keluar dari dunia distopia masa depan.

Distopia apa yang dimaksud Stephenson? Distopia yang digambarkannya tiga dekade lalu adalah dunia di mana sistem ekonomi global runtuh, negara-negara di dunia mulai kehilangan kekuatan, dan kekuasaan di seluruh dunia dipegang oleh perusahaan-perusahaan raksasa.

Hari ini raksasa-raksasa teknologi bertujuan membangun masa depan yang sama yang digambarkan Stephenson tapi tanpa (semoga saja) distopia.

Raksasa teknologi seperti Google, Facebook, Apple, dan Microsoft mulai berlomba-lomba untuk mengklaim Metaverse, dunia virtual yang akan ko-eksis dengan dunia fisik kita.

Facebook bahkan sudah mengubah namanya menjadi Meta agar tetap berada di depan dalam perlombaan ini.

Untuk meyakinkan para pengguna, Metaverse digambarkan sebagai tempat ideal untuk menghabiskan waktu, terutama di masa pandemi mengkarantina kehidupan kita.

Sudah dua tahun kehidupan kita menjadi kurang kasual. Kebutuhan manusia sebagai makhluk kasual telah mendesak kehadiran Metaverse, sebuah ekstensi dari dunia fisik kita, dunia virtual yang menjanjikan koneksi yang lebih kasual dibanding yang sudah ditawarkan internet selama ini.

Tapi apakah kita butuh Metaverse? Apa kita butuh dunia imajinatif yang dikuasai oleh raksasa teknologi? Apa Metaverse akan bikin hidup kita lebih baik daripada yang selama ini disediakan oleh internet? Atau malah justru memanipulasi persepsi kita akan realita?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan coba saya jawab melalui artikel ini.

2022 akan menjadi tahun penting bagi Metaverse, yang dibangun menggunakan teknologi Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality.

Bayangkanlah Metaverse seperti internet tapi alih-alih sekedar menatap layar, kita akan benar-benar hidup di dalamnya. Avatar digital kita akan hidup di dalam Metaverse.

Alih-alih sekedar menonton atau baca sebuah topik, kita akan mengalami pengalaman hidup di dalamnya, karena melakukan semua aksi yang ingin (butuh) dilakukan menggunakan anggota tubuh tanpa melalui semacam tombol atau panel seperti remot atau controler.

Ini yang ditawarkan oleh Metaverse: pengalaman bukan sekedar suara dan layar datar 2 dimensi.

Penerapan konsep ini bukan hal yang sepenuhnya baru, terutama video game yang sudah menerapkannya beberapa waktu ke belakang. Coba tanya anak, atau keponakan Anda, mungkin ada dari yang mereka yang sudah mejadi tuan tanah digital atau pemilik perusahaan boneka raksasa dalam game VR.

Jadi, perusahaan raksasa game seperti Roblox, Fortnite, dan Grand Theft Auto, masing-masing telah menciptakan dunia virtual mereka sendiri, dengan ekonomi virtualnya sendiri, mata uang virtual sendiri, garis waktu virtual sendiri, dan karakter virtual masing-masing.

Metaverse juga, mungkin punya beberapa elemen gaming, tetapi Metaverse bukanlah sekedar video game, namun lebih ke ruang siber. Ruang di mana imajinasi bercampur dengan realita, karakter di dalamnya juga merupakan citraan manusia asli, tapi lingkungannya akan sepenuhnya fiksional; dunia yang diciptakan dengan elemen virtual yang paralel dengan kehidupan ril, setidaknya begitulah prediksi tentang Metaverse yang diusulkan para pakar.

Menurut CEO Meta, Mark Zuckerberg, Metaverse akan menjadi seperti perangkat teleportasi yang memungkinkan kita untuk mengeksplore dunia virtual sementara tetap tinggal di rumah di dunia fisikal (nyata).

Dan membawa kita ke pertanyaan lain.
Akan ada berapa dunia virtual? Apakah hanya akan ada satu Metaverse, ataukah bermacam-macam?

Untuk sekarang ada bermacam-macam Metaverse. Namun, Facebook (Meta) yang menunjukan keinginan kuat untuk menjadi nomor satu. Perubahan nama perusahaan dari Facebook menjadi Meta disebut sebagai cerminan visi perusahaan untuk menjadi yang terdepan dalam perlombaan ini, namun perlombaan itu bukan tanpa pesaing.

Dilansir dari Mac Rumors, Apple sedang mengerjakan proyek perangkat VR/AR. Laporan mengatakan proyek ini akan merevolusi pengalaman di Metaverse.

Meski sempat gagal sebelumnya dalam peluncuran produk Google Class pada 2013, Google sedang mengerjakan proyek VR/AR, yang diprediksi KOMPAS yaitu sebuah kacamata pintar.

Microsoft juga tak mau ketinggalan, dengan menciptakan avatar dan meeting tiga dimensi dalam dunia virtual yang disebut MESH, dilansir dari The Verge.

Selanjutnya Disney yang juga tak mau tertinggal di belakang. Dilansir dari VR Scout, Disney menciptakan Disney Team Metaverse yang akan menjadi ekstensi bagi layanan film dan streaming.

Bahkan Pemerintah juga ikut  bergabung dalam tren Metaverse. Reuters mewartakan, Kementerian Sains dan TIK Korea Selatan menciptakan "aliansi metaverse" pada Mei 2021 untuk mengoordinasikan dan memfasilitasi pengembangan platform Virtual dan Augmented Reality (VR/AR). Sejauh ini 500 perusahaan, termasuk Samsung, Hyundai Motors, SK Telecom, dan KT telah bergabung dalam aliansi tersebut. Sebagai bagian dari Digital New Deal 2.0 Presiden Moon Jae-in, pemerintah berjanji untuk menyediakan hingga 30 miliar Won pada tahun 2022.

Barbados menjadi negara berdaulat pertama yang mengatur kedutaan ke dalam dunia virtual.
Hampir semua orang di planet ini akan dapat mengetuk pintu kedutaan ini. Kompleks diplomatik sedang dibangun di sebuah dunia online atau Metaverse bernama Decentraland, dan dapat diakses melalui komputer dan headset VR, dilansir dari Bloomberg.

Di Amerika, Pemerintah Kota Santa Monica bekerja sama dengan salah satu perusahaan pengembang Metaverse untuk membuat replika Kota Santa Monica dalam bentuk virtual, di mana pengguna bisa berlarian mengumpulkan item, dilansir dari Diplomat.

Di Indonesia, topik dakwah dan mengaji di Metaverse sedang hangat diperbincangkan. Bisa jadi itu merupakan gestur pemerintah untuk membangun satu (atau bahkan multiple) Metaverse tahun ini, who knows?

Yang kita tahu, hampir semua perusahaan besar bahkan pemerintah menganggap serius Metaverse. Metaverse tidak lagi dipandang sebagai cerita novel, atau sekedar eksperimen dari para pecandu teknologi di lab, kini Metaverse telah (dan terus dikembangkan dengan kecepatan tinggi) menjadi realita alternatif yang tak terhindarkan.

Abaikan Metaverse atau menyangkal manfaatnya, maka kita kemungkinan besar akan menjadi penderita kesepian 2045 ala Sri Mulyani.

Jadi, penting kini untuk menanyakan pertanyaan seperti: apa Metaverse menjamin keamanan data pribadi kita? Apa Metaverse merupakan dunia yang pantas bagi ideologi kita? Se-demokratis apa di dalam sana? dan yang paling penting dari segalanya, apa Metaverse aman untuk dijelajahi?

Karena sudah ada laporan kasus kriminal di Metaverse yang diwartakan The Verge. Seorang wanita di San Francisco bernama Chanelle Siggens mengatakan avatar-nya diraba-raba oleh orang asing saat bekerja sebagai penguji beta di platform Metaverse Horizon Worlds. Saat wanita itu memarahinya, si penyerang malah membalas "ini Metaverse, saya lakukan apa yang saya mau".

Siggens bukan satu-satunya korban, berdasarkan laporan Center for Counting Digital Hate (CCDH), insiden kekerasan terjadi setiap 7 menit pada dunia virtual populer via chat.

Ini yang bikin konsep Metaverse menjadi problematik. Dunia virtual membuat kita merasakan pengalaman digital. Meski hanya terasa sedikit  sentuhan tapi Metaverse bertujuan menciptakan pengalaman bagi pengguna untuk merasakan sensasi se-ril mungkin seperti di dunia nyata. Sehingga ke depannya tindakan kriminal di dalam Metaverse akan terasa sangat nyata karena Metaverse akan terus berkembang.

Jadi, bisakah raksasa teknologi mengatasi masalah ini? Bisakah mereka menjamin privasi dan keamanan avatar digital pengguna?
Tidak bisa.

Direktur IT Meta (sebelumnya Facebook) Andrew Bosworth memperingatkan karyawannya bahwa menciptakan pengalaman realitas virtual yang aman adalah bagian penting dari rencana bisnisnya --- tetapi juga berpotensi mustahil dalam skala besar.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun