Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen: Siluman Api

21 Juni 2021   00:53 Diperbarui: 21 Juni 2021   01:09 773 6
Di suatu sore yang temaram, dua orang tampak berjalan kaki di tengah hutan. Mereka menerabas pepohonan cemara, menyobek -- nyobek semak belukar dan menyusuri jalan setapak. Keduanya menuju ke arah jembatan tua, dimana kata orang -- orang tempat itu mistis dan angker.

"Percepat langkahmu. Sebentar lagi bulan akan keluar." kata si cenayang.

Mereka melebarkan langkah kaki mereka, agar lebih cepat sampai tujuan. Tak berapa lama kemudian, mereka tiba di pinggir tebing tak terlalu curam. Mereka berhenti, mengamati sebuah jembatan yang terbuat dari batu -- batuan besar dan keras.

"Jadi ini tempatnya?" kata si pemuda.

"Ya. Saat bulan purnama muncul, makhluk itu akan datang kesini." kata si cenayang, lalu keduanya bersembunyi di balik sebuah semak.

"Kau sudah siap?" tanya si cenayang.

"Tentu saja, aku akan menebas dia dengan pedang ini." kata si pemuda sambil memegang sebilah pedang berwarna perak.

"Ingat, tujuanmu adalah mengusir makhluk api itu. Jangan tergoda untuk mengalahkannya, karena dia tak bisa dikalahkan."

"Ya, ya. Jangan khawatir, aku masih ingat itu."

Kedua orang itu menunggu sampai malam tiba. Suasana hutan menjadi gelap gulita, awan di langit tampak cerah, lalu muncullah bulan purnama. Warnanya kuning kemerah -- merahan, bagai ada api yang membakarnya.

Saat purnama itu menyinari hutan dengan terangnya, tiba -- tiba terjadi angin kencang di tengah jembatan. Angin itu berputar -- putar, menerbangkan tanah dan debu, sebelum akhirnya membentuk sebuah bayangan api. Bayangan itu menyerupai manusia, tapi ukurannya sangat besar, setinggi pohon kelapa.

"Aaarrrrggghhhh.."

Makhluk api itu mengeluarkan suara. Ia meraung tanpa henti, mengisi keheningan malam dengan nada amarah dan dendam.

"Aku lapaaarrr!!!"

Makhluk api itu kemudian melihat ke bawah jembatan, namun tak ada sesajen seperti biasanya. Ia mengamuk, meraung dan bertambah geram. Saat raksasa itu hendak pergi mencari manusia untuk dimangsa, si cenayang menyuruh si pemuda keluar dari tempat persembunyiannya.

"Hei, Lemah Geni! Kau lapar?" sapa si pemuda itu sambil berdiri di pinggir jembatan.

"HAHAHA. Aku lapar. Aku akan membawa jiwamu naik ke bulan, untuk kami mangsa!"

Lalu raksasa itu menyusutkan tubuhnya menjadi butiran pasir, dan bergerak menuju si pemuda. Si pemuda mengeluarkan pedang peraknya, dan seketika keluar cahaya putih menyala sangat terang, hingga membuat si Lemah Geni silau dan mundur.

Si pemuda terus menebas pedangnya ke arah Lemah Geni, dan raksasa api itu terpaksa melarikan diri jauh ke dalam hutan. Sampai akhirnya, ia terpojok di pinggir tebing.

"Hentikan!" kata si makhluk api.

"Baiklah. Aku tak akan mengejarmu, tapi kau harus berjanji satu hal." kata si pemuda.

"Apa?"

"Jangan mencari mangsa di jembatan itu lagi. Karena banyak orang tak bersalah yang melewati jembatan itu."

"Bagaimana mungkin aku tak kesana? Sudah tugasku mengambil nyawa makhluk hidup untuk kupersembahkan kepada dewa bulan!"

"Dewa bulan?"

"Ya. Aku diutus olehnya untuk menggantikan Lemah Geni sebelum aku. Aku diminta untuk mengumpulkan jiwa -- jiwa makhluk hidup sebanyak seribu nyawa! Dengan mengumpulkan nyawa sebanyak itu, aku akan lepas dari kutukan ini dan digantikan oleh Lemah Geni yang lain."

"Banyak sekali! Kalian apakan nyawa -- nyawa itu disana?"

"Kami jadikan roh -- roh itu untuk kami bakar, agar bulan purnama tampak kemerahan dan membara seperti api! LIhatlah ke atas! Mereka sedang berpesta menghidupkan bulan itu, sementara aku harus turun ke bumi untuk capek -- capek mencari mangsa!"

Si pemuda terdiam sejenak, lalu berkata lagi.

"Jadi begitu. Agar kau bisa bebas, butuh berapa nyawa lagi?"

"Sebelas! Aku butuh sebelas nyawa makhluk hidup agar aku lepas dari kutukan ini!"

"Baiklah, aku mau menolongmu tapi kau tidak boleh ke jembatan itu lagi. Bagaimana?"

"Apa yang akan kau lakukan? Bahkan menyerahkan nyawamu masih belum cukup!"

"Aku akan memberimu sebelas sesembahan. Bentuknya hewan -- hewan ternak seperti kambing, sapi atau kuda. Setiap bulan purnama datanglah kesini untuk mengambilnya. Jadi kau tak perlu repot -- repot menunggu mangsa lewat di jembatan itu. Bagaimana?"

"Baik! Aku akan kesini setiap bulan purnama. Tapi awas, kalau aku kesini tidak ada sesajen yang kau janjikan, aku akan mencari mangsa kemanapun sesukaku!"

Kedua makhluk itu pun berjanji. Setiap bulan purnama, si pemuda menaruh daging hewan ternak di sekitar tebing itu untuk Lemah Geni. Sampai akhirnya jumlah nyawa terpenuhi, dan Lemah Geni itu digantikan oleh lainnya.

Kini, jembatan itu aman untuk dilewati. Banyak orang sudah tak takut untuk berjalan di sekitarnya. Si pemuda senang, karena dengan begitu ia bisa segera bertemu dengan temannya. Di suatu malam yang dingin, ia duduk di rumah cenayang dan menulis pesan di kertas.

Halo, Tuan Pengacara.

Suratmu yang sebelumnya, tanpa kuduga telah mengantarkan aku kepada sesuatu yang kutuju. Dan berkat penemuan itu, aku bisa mengalihkan penghalang agar kita bisa bertemu.

Makhluk api itu sudah tidak ada di jembatan itu. Sekarang orang -- orang sudah bepergian lewat sana lagi. Dan mungkin ini kabar baik agar kita bisa bertemu.

Aku akan kembali ke kotaku, dan kutunggu kedatanganmu.

Dengan penuh kepercayaan,

Pemuda Petualang

Si pemuda menggulung kertas itu, lalu mengikatnya di kaki seekor merpati. Lewat aba -- aba singkat, si merpati terbang menuju kerajaan di seberang hutan, untuk menyampaikan pesan itu kepada si pengacara.

Tamat

Cerita sebelumnya:
Pedang Matahari

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun