Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Bersepeda ke Ancol, Sebuah Perjalanan Menyusuri Kebesaran Sabda

23 Agustus 2013   07:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:56 230 1

Dalam setiap tulisan saya, saya begitu suka mengawalinya dengan mengutip sebuah kata bijak, yang bermakna sebagai bentuk penghormatan kepada si pencetus kata bijak tersebut serta sebagai refleksi betapaperlunya kata bijak itu sebagai landas pijak dalam setiap apa yang akan kita lakukan dalam aktifitas kita, termasuk aktifitas perjalanan bersepeda yang akan saya buat tulisannyaya seperti dibawah ini …

.

Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving.


.

-Albert Einstein

.

Ya, agar keseimbangan selalu kita dapatkan dalam hidup ini, kita harus terus bergerak!

.

Untuk itulah sesering mungkin saya melakukan aktifitas bersepeda, dimana bersepeda bagi saya adalah sebuah bentuk gerak dalam arti seperti yang dimaksud oleh Albert Einstein, maupun sebagaibentuk gerak dalam arti fisik …

.

Ya! bersepeda bagi saya adalah juga sebagai penyeimbang dalam kehidupan saya sehari hari, dimana bersepeda bagi saya adalah sebagai bentuk lain dari cara melepaskan kepenatan rutinitas sehari hari, sebagai bentuk penyeimbang agar setelah penat dalam rutinitas, kesehatan fisik dan psikis kembali bugar.

.

Bukankah setelah fisik dan psikis bugar berarti kehidupan kita bisa menjadi seimbang lagi ?

Namun, barangkali ada beberapa dari Anda yang bertanya, kenapa aktifitas bersepeda yang notabene adalah aktifitas yang mengeluarkan tenaga dan keringat bisa menjadi pelepas penat dan bahkan menjadikan kita kembali bugar, baik bugar fisik maupun psikis ?

.

Mari kita perjelas dan urai bersama dengan cara sederhana saja ….

.

Bila Anda adalah seorang penikmat musikterutama musik dengan tampilan secara visual juga, tentunya Anda sering menyaksikan seorang penyanyi ditemani oleh penari latar yang berdansa ataupun bejoget ria, bahkan terutama untuk penyanyi dangdut, hampir sebagian besar saat menyanyi pasti melakukan gerakan-gerakan menari yang notabene adalah juga mengeluarkan tenaga dan bahkan keringat. Dan meski mereka mengeluarkan banyak tenaga dan keringat, mereka tetap “enjoy-enjoy” saja. Bahkan sangat menikmati sekali cara bernyanyi beserta gerakan jogetannya.

Nah, demikian juga untuk bersepeda he he he

Memang untuk penyanyi/penari dan bersepeda ada perbedaan, penyanyi/penari bisa menikmati dengan rasa senang karena mereka bakalan mendapatkan sejumlah imbalan atas jerih payahnya berupa uang. akan tetapi meski mendapat uang kalau profesi tersebut bukan menjadi kesenangannya saya pikir akan terasa lain hasilnya.

Demikian juga dengan bersepeda, meski tanpa ada sejumlah imbalan tapi kalau kita lakukan dengan senang hati pasti hasilnya akan menyehatkan fisik dan psikis; tubuh serta jiwa bisa menjadi bugar; tentu saja untuk hasil kebugaran yang maksimal, porsi bersepeda kita harus menyesuaikan kemampuan kita masing-masing.

Untuk hal yang satu ini, saya justru mempunyai sebuah catatan pemikiran, bahwa bila kita melakukan sebuah aktifitas yang tidak akan menghasilkan imbalan seperti melakukan aktifitas bersepeda atau aktifitas sejenisnya tapi kita cukup senang, rasanya akan punya “nilai” lebih bagi kehidupan kita dari pada kita mencari kesenangan yang fokusnya hanya sekedar mendapatkan “imbalan” belaka. Bukankah kesenangan pada dasarnya lebih pada rasa ingin melepaskan beban kepenatan keseharian kita dan bukan pada pencarian target yang imbalan pemasukan berupa harta ?

.

Titik awal perjalanan.

.

Pagi itu seperti biasa saya dan beberapa teman sebelum melakukan perjalanan bersepeda selalu berkumpul terlebih dahulu disebuah tempat. Tempat yang telah kita sepakati dan tentukan bersama untuk setiap akan melakukan perjalanan bersepeda, yaitu Tugu Jogja!

Tugu yang menjadi sebuah ikon bagi banyak orang, baik yang sudah merasakan aura nikmatnya tinggal di Jogja maupun para wisatawan luar kota Jogja yang sekedar mendengar “daya magis” Tugu ...

Tugu yang selalu dirindu.

.

Setelah semua yang ingin melakukan perjalanan bersepeda datang, kami segera berangkat sekitar jam 07.00 WIB dengan perjalanan menuju sebuah tempat, dimana tempat tersebut adalah sebuah tempat yang sangat fenomenal bagi saya, yaitu Ancol!

Mengapa begitu fenomenal ? Mari kita simak ke fenomenal an tersebut melalui kisah perjalanan ini ...

.

Selepas dari tugu kami “menggenjot” sepeda kami kearah barat menyusuri jalan P Diponegoro, Jl Kyai Mojo, Jl Godean, untuk kemudian belok kearah kanan disekitaran Mirota Godean dengan mencari jalan tikus yang merupakan suatu keasyikan tersendiri bagi kami karena jalan-jalan sempit yang hanya bisa dilalui oleh sepeda ataupun motor saja tersebut justru menjadikan kami begitu leluasa bergerak tanpa banyak terganggu oleh bisingnya deru kendaraan lain, mengasyikkan juga dikarenakan dalam setiap menelusuri jalan-jalan tikus tersebut, kami kadang baru pertama kali mau melewatinya, sehingga apabila bertemu jalan buntu kami harus memutar kembali, dan ini adalah sebuah pengalaman ataupun kejadian yang justru menjadi “selingan” kami untuk saling meledek, dan sasaran ledek adalah siapa yang berada dijalur depan, yang kemudian disusul dengan saling sahuant. Bahan ejekan/guyonanpun sangat bervariasi diantaranya adalah ada yang berceletuk seperti ini : “Madhang sik, ben awas trus kelingan dalane”, padahal memang yang berada paling depan juga belum pernah melalui jalan tersebut. “wah, diblasukke ki ...”, “wis tekan ki, leren mangan sik... “dan masih banyak candaan lucu yang bersahut-sahutan yang membikin kami tidak merasa lelah meskipun keringat sudah mulai keluar.

Begitu juga bila saat ada tanjakan, ada yang berujar dari kata yang biasa, sampai yang lucu, seperti : “ Rasah ngoyo, nek ra kuat ya dituntun”, “ nek pingin dalan menurun ya mundur wae ... “ dan lain sebagainya.

.

Dan saat perjalanan jalan-jalan tikus telah menembus selokan mataram, perjalanan mulai makin mudah dan menarik, mudah karena kita hanya mengikuti alur jalan beraspal yang berada disamping selokan mataram; menarik karena disepanjang selokan mataram sangat banyak pemandaangan indah dan sejuk, indah dan sejuknya alam pedesaan. Angin semilirpun membuat semacam sebuah oase baru yang menyegarkan bagi kami.

Jalan yang banyak bekelokpun ibarat sebuah arena pacu sepeda, meskipun diantara kami tidak melakukan salip menyalip seperti pembalap, kami bergantian menyalip hanya sekedar bergantian mengatur nafas dan tenaga kami agar tidak kedodoran sampai tujuan maupun pulangnya nanti.

.

Perlu diketahui, bahwa ujung selokan mataram berada di perbatasan dua kota, yaitu antara kota Jogja dan Magelang. Untuk itu saat kami sampai di perbatasan kota tersebut meski masih belum begitu dekat dengan tujuan akhir kami, kami menyempatkan diri untuk mengambil gambar sebagai bukti bahwa kami ada di perbatasan dua kota, sebuah momen yang menurut saya sedikit bermakna saat ada kenangan yang bisa tersimpan dalam sebuah gambar.

.

Tugu Perbatasan Kota Jogja dan KotaMagelang

.

Tak lama berselang, setelah usai pengambilan gambar sambil beristirahat sejenak dan kami melanjutkn perjalanan, tibalah kami di tempat yang kami tuju, yaitu Ancol!

Sebuah tempat yang sangat fenomenal sekali bagi rakyat Jogja dan sekitarnya, betapa tidak dari aliran air yang bersumber di Ancol inilah rakyat Jogja terutama di daerah kabupaten Sleman sawahnya sepanjang 31.2 km begitu subur karena teraliri air yang begitu melimpah.

Saat berada dan melihat desain serta kontruksi bendungan pengalih air saya sangat takjub sekali, betapa tidak, aliran air yang dialihkan sebegitu alaminya bahkan pengalihan ataupun lebih tepatnya pengaturan beton beton bangunan dam tersebut menyesuaikan arah aliran sehingga adalah sangat kecil sekali kemungkinannya bila akan ada terjangan air deras yang bisa menghentak beton-beton ataupun tanah sekitarnya bila terjadi banjir.

Kilas balik tentang tentang pembuatan selokan mataram adalah sebagai berikut :

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun