Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga Artikel Utama

Revolusi Basa-basi Ala PSSI

30 Maret 2015   13:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:47 221 0
[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi PSSI (foto: aktual.co)"][/caption] "Revolusi PSSI! Benahi kepengurusan PSSI!" teriakan lantang seperti itu mulai disuarakan oleh pecinta sepak bola Indonesia sejak 2011 silam. Muaknya para penggemar sepak bola di tanah air akan kepengurusan PSSI yang diduga korup dan tak becus kerjanya menjadi alasan mereka terus berteriak dengan lantang, hanya dengan satu impian, jika kepengurusan PSSI direvolusi dan menjadi lebih baik, prestasi persepakbolaan Indonesia akan ikut terkerek. Namun, teriakan lantang tersebut tinggalah teriakan yang tak pernah digubris sekalipun oleh mereka yang menutup kuping rapat-rapat dan duduk anteng di kantor PSSI di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Selatan itu. Tak ada revolusi. Terpilihnya Djohar Arifin sebagai ketua umum PSSI pada tahun 2011 silam sempat menimbulkan sebuah harapan baru. Djohar berbenah, membasmi kroco-kroco PSSI era Nurdin Halid dan membawa muka-muka baru. Tapi, lagi-lagi revolusi terhenti. Harapan publik melihat PSSI yang bersih sekali lagi pupus. Gerakan Djohar untuk bersih-bersih PSSI mendapatkan perlawanan dari orang-orang PSSI di era Nurdin, La Nyalla Mattalitti cs membuat PSSI tandingan yang disebut KPSI. Ribut-ribut dualisme PSSI ini akhirnya mereda, La Nyalla dan geng kembali memasuki jajaran petinggi PSSI. Revolusi akhirnya terhenti. Gerakan bersih-bersih Djohar bahkan berbalik, setelah La Nyalla mendapatkan jabatan sebagai wakil ketua umum, orang-orang Djohar diusir, dan orang-orang PSSI lama kembali mengisi pos-pos tersebut. Bahkan Djohar juga diduga telah berpindah haluan dan bergabung dengan kubu lama. Empat tahun berselang dari kepengurusan Djohar, tepatnya April 2015 nanti akan digelar Kongres Luar Biasa yang mengagendakan pemilihan ketua dan wakil ketua umum PSSI. Rasa-rasanya ini merupakan langkah tepat untuk meregenerasi kepengurusan PSSI yang telah diisi orang yang itu-itu saja, bosan! Namun, alih-alih berharap kepengurusan PSSI 2015-2019 diisi orang-orang baru, nyatanya sebelum KLB berlangsung, publik sepak bola Indonesia kembali manyun. Alasannya, calon ketua umum yang diusung dari KLB nanti masih saja diwarani oleh pemain-pemain gaek di PSSI. Sebut saja Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum yang masih aktif menjabat, Djohar Arifin Husein dan La Nyalla Mattalitti kembali masuk bursa calon ketua umum PSSI periode 2015-2019. Apalagi nama kedua disebut-sebut sebagai kandidat kuat sebagai pemangku kekuasaan di badan tertinggi sepak bola nasional. Belum lagi Sekretaris Jendral dan CEO PT Liga Indonesia dari zaman Nurdin Halid berkuasa, Joko Driyono juga masuk dalam kandidat ketua umum PSSI. Lagi-lagi dari orang yang sebelumnya kenal dekat dengan Nurdin Halid. Ya, meski Nurdin tak lagi menjabat sebagai Ketua Umum PSSI, orang-orang sekitarnya masih menjadi motor PSSI. Selain tiga nama di atas, ada juga nama-nama seperti Bernhard Limbong yang sempat menjadi Komisi Disiplin PSSI dan kenal dekat dengan Nurdin Halid, Achsanul Qosasi, mantan bendahara PSSI, M. Zein dan Subardi yang juga mantan Komite Eksekutif PSSI pada era kepengurusan Nurdin Halid. Ada lagi Syarif Bastaman, mantan Ketua Komite pemilihan ketua umum PSSI 2011-2015, dia menjadi orang yang mencoret nama Arifin Panigoro-George Toisutta waktu itu, tanpa alasan yang jelas. Hanya satu nama yang muncul sebagai calon ketum PSSI yang bukan dari lingkaran Nurdin Halid. Ialah Sarman El Hakim, Ketua Masyarakat Sepak Bola Indonesia (MSBI). Namun, Sarman yang juga sempat maju sebagai kandidat ketua umum PSSI pada tahun 2011-2015 rasanya kecil kemungkinan untuk bisa menang dan bersaing menjadi ketua umum PSSI. Lantas, apakah revoulusi kepengurusan PSSI akan terlaksana? Atau kembali mereka-mereka saja yang duduk di kantor PSSI di Senayan sana? Revolusi PSSI rasanya hanya basa-basi semata, melihat kinerja PSSI tak pernah memuaskan pecinta sepak bola tanah air. Dari kasus meninggalnya pemain asing, pengaturan skor, terlambatnya pembayaran upah kepada para pemain, hingga verifikasi klub selalu jadi masalah utama untuk PSSI, tapi tindakan tegas tak pernah keluar dari badan sepak bola nasional. Kata-kata 'revolusi PSSI' masih akan terus berdengung hingga ada perbaikan kualitas sepak bola Indonesia. Buruknya kepengurusan PSSI akan selalu berimbas dengan prestasi tim nasional Indonesia. Meski pada 12 Maret lalu Indonesia berhasil naik dua peringkat di ranking FIFA dari 158 ke 156, tapi timnas Garuda masih berada di posisi ketujuh di kawasan Asia Tenggara, kalah dari Thailand (142), Malaysia (155), Singapura (154), Vietnam (130), Filipina (128), serta Myanmar (153). Tiga negara terakhir bahkan dalam satu dekade terakhir masih kalah kualitasnya dari Indonesia, namun, kini mereka bisa menyalip, sungguh sebuah ironi untuk tim yang sempat menyemat status sebagai macan Asia. Jika pada KLB nanti PSSI kembali memilih ketua umum dari orang yang itu-itu saja, maka publik harus siap-siap gigit jari lagi. Revolusi PSSI lagi-lagi hanya basa-basi, hanya untuk ajang pamer di media massa bahwa mereka memiliki program ini itu tanpa eksekusi yang sempurna. Dan nantinya, revolusi di kepengurusan PSSI hanya sekadar basa-basi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun