Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

[MPK] Obrolan Palsu Dia dan Aku

11 Juni 2011   15:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:37 151 5
[caption id="" align="aligncenter" width="346" caption="Mist and Vapor"][/caption]

Satu bulan lalu Aku keluar kelas sambil geram. Berlari ke teras kampus, Aku muak dan berteriak.

“Apa-apaan dosen itu?! Kalau memang kuliahku untuk mencari ilmu trus kenapa? Kenapa dia bilang aku munafik?” Geram Aku sambil mengepalkan tangan. Tak ada balasan senyum untuk teman-teman yang menyapa. Aku mengumpat kesal sambil mondar mandir di teras kampus.

“Ya ampun, udah jangan dipikirin. Lagian itu dosen kan baru lulus S3, lagi hobi kritik orang, balas seorang teman.

“Tapi kenapa dia bilang kuliah hanya untuk cari nilai?” tanya Aku lagi.

“Bukankah kita semua memang mencari itu?” jawab seorang teman.

“Walau IPK-ku sempurna, bukan itu yang aku cari, Aku membela diri.

“Terserahmulah. Aku pergi nonton dulu.”

Aku sendiri. Aku ditinggal.

Aku duduk di kursi teras. Menghela nafas.

Lalu Aku melihat seseorang di sebelah kiri meja: Dia. Dia tak membawa apapun kecuali buku tebal. Dia sedang membaca buku tebal itu.

“Teriakanmu tidak menggangguku. Tak usah meminta maaf,ungkap Dia sambil tetap membaca.

“Terimakasih. Takkan kuulangi,Aku merespon.

Hening.

“Kamu,” lanjut Dia.Yakin dengan semua ucapanmu tadi?”

“Maksudnya?”

“Bahwa kuliahmu untuk ilmu.” Dia mengalihkan bukunya. Kini, Aku dan Dia saling bertatapan.

“Tentu saja.”

“Ilmu apa?” Dia tak berhenti bertanya. Terlihat semakin tertarik dengan keluhan yang Aku teriakkan tadi.

“Manajemen Perusahaan. Itu membuatku lebih mudah diterima bekerja kelak,” Aku menjawab penuh percaya diri.

“Kau tahu, tak sepantasnya kau marah.”

“Kenapa?” Aku mulai kesal.

“Karena kamu dan dosenmu sama...”

Aku mengernyitkan dahi

“... Kalian sama-sama munafik.” Dia bicara datar.

Dia lantas berdiri dan pergi.

Aku diam. Kesal. Bingung.

Saking anehnya sehingga cuma bisa diam.

***

Aku keluar kelas. Aku senang. Mungkin teman-teman melihat aura merah muda yang Aku pancarkan.

“Gila loe! Masa ujian Prof. Yeni bisa dapet seratus? Bertapa di mana loe?”

“Cuma belajar,” Aku tersenyum.

“Lain kali donor nilai loe ke gue, masa gue cuma dapet enam puluh empat?”

Aku tersenyum lagi.

“Ehh, gue pergi ke kostan dulu ya!”

Yah..dia kabur. Keluh seorang teman.

Aku menelusuri lorong kampus menuju teras. Aku duduk dan sibuk membaca buku teks. Tanpa Aku sadari, Dia sudah duduk di sebelah kirinya. Dia tak membawa apa-apa dan hanya membaca buku. Lagi.

“Selamat.” Dia bicara sambil membaca buku.

Aku menoleh.

“Kamu lagi ternyata... selamat untuk?” Aku bertanya penasaran.

“Nilaimu. Aku dengar dari teman-temanmu.”

“Oh, terimakasih.”

Hening.

“Kau aneh,” Aku mulai bicara.

“Kau lebih aneh. Menilaiku dengan cara seperti ini,” Dia menutup bukunya. “Apa yang aneh dengan diriku?”

“Kau manusia paradoks, jawab Akutenang.

“Setidaknya aku masih manusia,” Dia membela diri.

“Kemarin kau menghinaku munafik tentang nilai. Dan sekarang memberikan selamat atas nilaiku?” Jelas Aku.

“Aku hanya jujur. Aku paham kenapa kau sedikit bingung.”

“Senang bertemu orang jujur.” Aku merapikan posisi duduk. Mengeluarkan sepotong cokelat dari dalam tas.

Aku tersenyum.

Dia membalas singkat.

“Aku mau pergi makan, ikut?”

“Kebetulan sekali, Aku buru-buru menghabiskan cokelat sambil berjalan.

Aku dan Dia pergi ke kantin. Setelah duduk, percakapan dimulai kembali.

“Aku dari Manajemen, semester enam. Universitas Negeri. Salam kenal.” Tanpa perinta dari siapa pun Aku memperkenalkan diri.

“Aku dari Ilmu Hidup, tak bersemester. Universitas Dunia. Salam kenal juga.” Jawaban Dia membuat keningku berkerut.

“Jadi kamu mahasiswa abadi dari Biologi?” tanya Aku.

“Aku pembelajar seumur hidup. Dan itu ilmu hayat. Aku dari ilmu hidup.” Lagi-lagi Dia menjawab singkat. Saking singkatnya membuat aku tak menjadi jelas dengan jawabannya.

“Ohh, Kau pasti dari Sastra Indonesia karena kau puitis sekali!” Aku mencoba menebak kembali.

“Tidak juga.”

Ah, sudahlah.Mau pesan apa?”

“Nasi goreng.” Dia memesan seolah nasi goreng hanya satu-satunya makanan yang ada di warung saat itu. Tanpa pikir panjang langsung memesan nasi goreng.

“Baiklah.

“Terimakasih.” Aku membalasnya dengan senyum.

***

Saat Aku kembali,Dia sudah membaca buku lagi. Buku filsafat : Metafisika.

“Kau suka filsafat?” tanya Aku.

“Semoga kau juga.” Pandangan Dia tak sedikitpun beralih dari bukunya.

“Aku tak tahu apa aku bisa suka,” Aku bergumam. “Aku hanya takut... botak.”

“Oh, ketakutanmu memang beralasan.”

“Apa yang menarik dari filsafat? Ilmu apa itu?”

“Ilmu tentang semua. Filsafat adalah induk semua ilmu, termasuk manajemen, jelas Dia tanpa bisa Aku mengerti.

Relevansinya?” Kembali Aku bertanya.

“Tidak langsung. Tapi dari filsafatlah muncul ilmu sosial, dari ilmu sosial pula muncul ilmu ekonomi dan dari situ muncul manejemen-mu itu.”

“Ohh,” Aku merespon hambar. Berpura-pura tertarik.

“Tak apa. Filsafat memang tak menarik untuk semua,” ungkap Dia datar.

Aku tersenyum agak sinis.

Pesanan tiba dan Aku makan. Dia malah melanjutkan baca.

“Aku mau bertanya,” Aku mulai lagi.

“Tentang?”

“Yang kemarin hari. Kenapa kau bilang kami sama-sama munafik?” Aku bertanya sambil melanjutkan makan.

“Baiklah. Aku perlu meminta maaf untuk itu.”

“Tak apa, jelaskan saja. Jujur aku memikirkannya semalaman.” Aku diam sejenak untuk memperhatikan.

“Pertama, dosenmu munafik karena bilang bahwa kuliah untuk nilai. Kuliah memang untuk ilmu.”

“Jadi aku benar?”

“Sayang, ilmu yang kaumaksud hanya untuk mendapatkan kerja dan hidup layak, Dia sudah mulai makan.

“Lantas untuk apa?”

“Jawabannya ada. Hanya menurutku kau belum siap.”

“Kau kira aku tak cukup pintar?” Aku tak terima jawaban Dia.

“Bukan. Hanya tak cukup paham.”

Diam. Hanya isyarat mata yang menunjukkan bahwa Aku tak memahaminya.

“Bahwa sebenarnya kita hidup di dunia yang semu.”

“Semu? Aku benar-benar tak paham maksudmu, Aku mulai gelisah.

“Nah kan, kukira ada saatnya nanti kau siap,” Dia menjelaskan. “Terimakasih atas obrolannya, aku pulang.” Tak ada satu butir nasi pun di piring Dia. Aku heran karena Dia menghabiskan makanannya secepat itu.

Dia berdirilalu pergi.

“Dasar paradoks,” Aku menggerutu.

Aku bingung. Masih lapar.

“Filsafat benar-benar menguras energi,” gumam Aku.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun