Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hobby Pilihan

Dilema Penulis, Pekerja di Ruang Sunyi

28 Maret 2020   18:22 Diperbarui: 28 Maret 2020   18:41 129 11
Sahabat Kompasianer dan para penulis hebat di seluruh penjuru mata angin.

Saya sering mendapatkan nasehat dari mereka yang sudah senior di jagad penulisan. Kata mereka jadilah Anda seorang penulis yang hebat dijalur yang Anda pilih.

Lantas saya pun bertanya.
"Bagaimana caranya Om?", lalu ia menjawab, "menulislah dengan hati, hanya itu kuncinya". Begitu jawabannya.

Kemudian saya pun merenung dan berpikir tentang apa yang baru saja mereka ucapkan,  sambil saya mengulang-ulang kalimat nasehat tersebut.

"Menulis dengan hati", begitu terngiang terus menerus di telinga saya meskipun kalimat itu sudah saya dengar seminggu yang lalu.

Lalu saya coba mencerna lagi secara lebih mendalam apa makna tersirat dibalik itu. Dan saya pun flash back pada kebiasaan saya menulis selama ini.

Menulis, bagi saya pekerjaan ini pada awalnya tidak begitu menarik, bahkan saya anggap kegiatan yang mudah dan bisa dilakukan oleh siapa saja.

Begitu pun saya berpikir buat apa mesti ada pelatihan khusus menulis hingga harus bayar jutaan rupiah hanya untuk mengikuti kelas menulis denga instruktur senior.

"Buang-buang duit," begitu pikir saya.

Ternyata saya salah besar! Saya akui saya salah pikir dan keliru melihat dunia penulisan selama ini. Antitesis ini saya dapatkan ketika saya mulai terjun menggeluti jagad menulis meski baru pada batas seorang bloger atau Kompasiner.

Sulit, lebih tepatnya pekerjaan menulis ternyata penuh tantangan. Tidak semudah sebagaimana yang saya bayangkan sebelumnya. Tantangan ini mungkin seperti chef menyiapkan resep makanan lalu mengeksekusinya. Nggak gampang.

Menyajikan sebuah tulisan yang enak dibaca dengan susunan kalimat yang menarik dan memiliki rasa, wow tidak mudah teman.

Ibaratnya perlu bertapa dulu di gua penulisan dan dibimbing oleh sang mahaguru selama tujuh hari tujuh malam. Begitulah tingkat tingginya ilmu menulis yang harus dimiliki.

Belum lagi bagaimana seorang penulis dalam mendapatkan ide sebagai ilham menulisnya. Yang ide tersebut layak diangkat menjadi sebuah karya tulis yang menarik, informatif, dan inspiratif bagi khalayak pembaca.

Saya sendiri berusaha untuk menemukan rahasia agar mampu menulis seperti mereka para penulis hebat dalam menghasilkan tulisan yang luar biasa.

Tak jarang sampai saya harus memilih jalan sunyi untuk berikhtiar lebih maksimal guna menuangkan ide-ide receh, meramunya menjadi sebuah artikel sederhana untuk mengisi ruang Kompasianaku setiap hari.

Jalan sunyi yang saya maksud adalah memilih menyendiri ditengah keramaian. Berdiam diri sambil memainkan jari jemari saya di atas screen gawai saya. Padahal sejatinya saya harus duduk bersama istri dan anak-anak kami mengobrol layaknya sebuah keluarga harmonis.

Akibatnya saya harus menanggung konsekuensi atas jalan sunyi yang terlanjur saya pilih.

Memilih jalan sunyi tentu saja bukan tanpa alasan. Apalagi jika bukan untuk mencari ketenangan sehingga dapat membantu saya menemukan kata demi kata yang terus mengalir tanpa ada interupsi dalam pikiran saya.

Sekedar informasi saya pernah melakukan tes mesin kecerdasan metode st***, dan hasilnya mesin kecerdasan saya adalah Thinking Extrovert (TE). Artinya saya bekerja lebih banyak menggunakan rasio. Karena TE, maka semangat dan stimulus motivasi saya lebih dominan dipengaruhi oleh luar diri saya.

Karena itu ketika saya mendapatkan suasana lingkungan sekitar yang lebih tenang, tidak bising dan positif, maka dapat membantu saya menuangkan buah pikiran dan meramunya menjadi sebuah tulisan.

Namun seperti yang telah saya sampaikan diatas, jalan itu telah membawa saya pada sebuah titik dilema. Antara keluarga dan Kompasiana.

Sahabat pembaca yang budiman. Tulisan macam ini tentu bukanlah hal baru sebagai cerita yang dialami oleh mereka yang berminat mengembangkan bakat menulisnya.

Sebelum itu saya sempat membaca curahan hati salah seorang penulis hebat yang mengalami dilema yang sama seperti saya. Bahkan lebih parah lagi sampai dia harus bertengkar dengan istrinya.

Maka tulisan ini hanyalah untuk menambah jumlah saja dari pengalaman sebelumnya sudah dialami oleh orang-orang. Tidak lebih, sambil berharap pengalaman ini dapat menjadi pelajaran bagi saya sendiri buat kedepannya.

Terakhir tentu saja tetap menulis, menulis, menulis, hingga menulis lagi setiap hari, everytime, everywhere, dan berusaha mengembangkan diri jadi lebih baik dari hari ke hari sambil membagi waktu untuk keluarga kami. (*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun