Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Framing Menjadi Racun Demokrasi

19 Oktober 2023   14:41 Diperbarui: 4 Januari 2024   18:33 160 0
TIAP momentum politik kehadiran Lembaga Survei memang ramai membentuk opini publik. Sebagian rakyat tidak kaget lagi dengan kondisi tersebut. Tapi, bagi sebagian rakyat hal itu ikut dan sangat memberi pengaruh. Alhasil lahirlah rebutan pengaruh antara informasi dan isu. Yang mengaburkan fakta komprefensif di lapangan.

Kubu Capres (calon Presiden), bersama paket Cawapres (calon wakil Presiden) Republik Indonesia, perhari ini, Kamis, 19 Oktober 2023 masing-masing menampilkan performa yang berbeda. Citra, kesan, dan juga karakter pribadi berbeda-beda. Ketika kita menyaksikan AMIN atau Anies Baswedan dan Abdul Muhaimin Iskandar mendaftar ke KPU (Komisi Pemilihan Umum).

Kemudian Ganjar Mahfud (Ganjar Pranowo dan Prof. Mahfud MD) mendaftarkan ke KPU. Publik akan dapat menakar, memberi kesimpulannya sendiri terhadap gelombang massa yang begitu antusias memberi dukungan mereka. Menariknya, jika kita komparasikan dengan hasil Lembaga Survei, rasanya ada yang mis.

Hasil rilis Lembaga Survei rasa-rasanya bisa kita gugat dan pertanyakan. Maklum, mungkin karena yang diteliti atau diwawancarai hanya bersifat terbatas secara kuantitas. Kemudian yang disasar juga hanyalah elektabilitas, dan popularitas. Kecenderungan memilih yang dipotret.

Sebagiannya bersifat prediktif. Belum lagi sudah santer kita dengar rumor, pendapat beberapa pihat tentang kerja entitas Lembaga Survei yang tidak mengedepankan obyektifitas. Lembaga Survei dicurigai bekerja menjalankan order atau request tertentu. Maka, wajarlah juga hasil yang disampaikan diragukan.

Integritas dari para pimpinan, pekerja, atau karyawan dan relawan Lembaga Survei juga ikut dipertanyakan. Mereka mendapat gaji (upah) dari kerja profesional tentunya. Yaitu menjual jasa. Dalam situasi itu, tidak perlu lagi kita masuk mempertanyakan. Itu ranah mereka.

Hak publik ialah percaya atau tidak percaya terhadap hasil yang dilansir Lembaga Survei. Dari dukungan rakyat dan dukungan Lembaga Survei ada yang kontras. Bahkan, kontradiksi terlihat. Hal itu dapat dibuktikan di Pilkada DKI Jakarta, yang melahirkan realitas bahwa Lembaga Survei tidak akurat dalam menghasilkan data.

Gambaran tersebut menempatkan posisi dan level Lembaga Survei, menjadi tidak lebih hanya sekadar kelompok partisan. Lembaga yang menjadi mesin untuk membantu kandidat pemimpin (Capres dan Cakada) agar menang dalam kontestasi politik. Disinilah ruang kamuflase, kemudian modifikasi berpotensi dilakukan.

Padahal yang dibutuhkan publik dari duet Capres itu adalah narasi yang kuat. Bagaimana nasib rakyat akan dipertaruhkan disaat mereka memimpin. Yang selanjutnya, proses operasionalisasi itu dibangun melalui personal branding dari pasangan Capres, lalu isu yang dikelola, dan program yang ditawarkan kepada masyarakat.

Program strategis akan menjadi kekuatan, dan modal memikat atau menarik pemilih untuk mendukungan pasangan Capres. Bukan dari kerja-kerja manipulatif dari kelompok yang doyan menyulap, mendaur ulang data, menambah, dan mengurangi data untuk kepentingan pencitraan semata.

Respons publik sudah pasti beragam. Sebagian besar pasti antipati, protes, lalu menjauh karena mereka telah meragukan dengan hasil-hasil rilis Lembaga Survei yang berjarak dengan situasi lapangan. Ada disparitas dari data yang diproduksi Lembaga Survei, ketika dikonfirmasi dengan realitas menjadi tidak kompatibel.

Dari kerja Lembaga Survei yang demikian, maka terbangunnya reputasi buruk. Ada ketidakpercayaan publik terhadap Lembaga Survei. Terlebih dari kalangan aktivis, kaum intelektual. Kecurigaan atas rekayasa data yang kerap dilakukan Lembaga Survei terlihat dari beberapa kasus di lapangan.

Dimana kandidat pemimpin tertentu dibingkai dan disimpulkan rendah elektabilitas, atau dukungannya dari pemilih, namun yang terjadi di lapangan berbeda. Malah berbanding terbalik. Rakyat malah memberikan dukungan meluas, berbeda dengan hasil rilis, publikasi dari Lembaga Survei.

Semakin riskan ketika Lembaga Survei tidak taubat, dan terus melakukan framing melemahkan Capres lain yang mungkin tidak memberi manfaat pada mereka. Resiko paling berat ialah angka atau jumlah rakyat yang tidak percaya terhadap hasil Lembaga Survei, serta keberadaan Lembaga Survei semakin bertambah.

Hal itu bisa melahirkan akumulasi penolakan publik. Desakan resistensi dari bawa berpotensi terjadi. Hasilnya akan merugikan Lembaga Survei dalam rentang waktu tertentu. Case seperti yang diterbitkan hasilnya dari Lembaga Survei bahwa ada kandidat yang lemah dukungannya di wilayah (zona) tertentu, nyatanya tidak seperti yang terpotret Lembaga Survei.

Kontradiktif, yang ada di lapangan malah segmentasi pemilih di area yang dimaksud tersebut bertambah banyak. Terbalik. Ini memalukan, sehingga penting pimpinan Lembaga Survei melakukan evaluasi merata, dan adil dalam menjalankan kerja-kerjanya. Perlu dilakukan rebranding. Agar Lembaga Survei tidak tersesat lebih jauh lagi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun