Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Serenade Biru Hati Arya

16 Januari 2014   10:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:47 88 0
Deg..!! Sudah seminggu ini hati Arya selalu bergemuruh tidak karuan saat matanya bersirobok dengan sosok berkerudung rapi dengan perawakan langsing dan tinggi rata-rata tersebut. Sosok bersahaja yang sebenarnya biasa-biasa jauh dari kesan glamour seperti selama ini terpancar dari kebanyakan teman-teman wanita disekelilingnya.

Entah kenapa sejak interaksi pertama mereka yang tanpa disengaja, sosok gadis berkerudung tersebut begitu lekat dalam pikirannya. Masih segar terpatri dalam ingatannya kejadian siang itu pasca kuliah Ekonomi Makro 2 berakhir. Pak Bowo,dosen pengampu mata kuliah itu memberikan tugas untuk membuat essai tentang bagaimana suatu system kaptalisme bisa begitu besar mempengaruhi kehidupan perekonomian suatu Negara.

Batas waktu yang diberikan untuk menyelesaikan essai adalah 2 minggu, karenanya begitu kuliah usai ia bergegas memacu Yamaha YZF R1-nya ke Puskom, Pusat Komputer milik Universitas negeri satu-satunya di Surakarta ini. Pengelolaannya diserahkan kepada fakultas MIPA dengan membebaskan mahasiswa dari fakultas manapun untuk menggunakan fasilitas yang tersedia termasuk fasilitas internet dengan tariff harga yang relative sangat terjangkau untuk kantong mahasiswa.

Sebenarnya bagi Arya, uang bukanlah suatu masalah besar. Ia putera tunggal pewaris usaha batik terbesar kedua di seantero Surakarta dengan omset penjualan per bulan cukup untuk membeli satu rumah mewah di bilangan Solo Baru, kawasan pemukiman elit di Surakarta. Tapi ia bukan seorang anak manja yang tidak tahu cara berterima kasih kepada orang tua dengan menghambur-hamburkan uang seenak hatinya. Ia dididik oleh kedua orang tuanya dengan penuh disiplin tanpa kehilangan rasa kash sayang di dalam kedisiplinan tersebut. Jadi sejak kecil ia telah terbiasa untuk bersikap hemat dan bijaksana dalam semua hal yang menyangkut penggunaan uang.

Setelah hampir 2 jam berkutat di depan layar monitor komputer di Puskom dan mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan untuk essainya, Arya memutuskan untuk pulang. Mbok Partinah, tukang masak di rumahnya, pasti telah menyiapkan makanan yang tadi pagi ia pesan, sayur timlo dan tahu bacem plus sambal goreng kesukaannya.

Ia kemudian berjalan menuju kasir untuk membayar jasa internet. Sesampai di depan kasir,tiba-tiba keringat dingin keluar membasahi sekujur tubuhnya. Dompetnya tidakia temukan di manapun. Ia sudah memeriksa saku celana dan seluruh tas ranselnya. ‘Waduh, dengan apa ia harus membayar?’ pikirnya. Mbak penjaga kasir sudah terlihat tidak sabar menunggu Arya membayar.

Di tengah kebingungan Arya, tiba-tiba terdengar suara jernih dan tegas dari arah belakangnya.

“Mbak, biar masnya ditotal sekalian sama saya bayarnya,” kata si pemilik suara jernih tadiyang ternyata adalah seorang gadis.

“Eh, mbak, gak usah,” Arya menjawab dengan cepat. Walaupun ia masih belum menemukan cara untukmembayar kecuali sekelebat ide untuk meninggalkan jam tangan TAG Heuer miliknya sebagai jaminan. Nanti jam itu akan ia tebus lagi sejumlah tarif jasa internet yang harus ia bayarkan sebagai tanda bahwa ia tidak berniat mangkir dari kewajibannya.

“Gak apa-apa ,Mas. Kebetulan saya masih ada uang lebih. Berapa Mbak semuanya?” si pemilik suara jernih bersiap-siap mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya.

“Masnya dua jam total Rp. 7.000, mbaknya sejam. Jadi total semua Rp.10.500,” kata mbak penjaga kasir.

“Ini Mbak.Pas ya, makasih mbak,” si gadis bersuara jernih pun berjalan menuju pintu keluar.

“Mbak,Mbak, tunggu sebentar,” Arya yang saat proses pembayaran tadi tidak bisa berbuat apa-apa pun kemudian berjalan cepat menyusul gadis yang sudah berbaik hati membayarinya itu.

“Ya, Arya, ada apa?” gadis itu menghentikan langkahnya.

“Lho, kamu kenal saya?” Tanya Arya kaget. Ia tidak menyangka gadis itu mengenal dirinya.

“Kita satu angkatan, Arya. Kamu kelas A, dan saya di kelas C. Tentu saja saya mengenal kamu,” jawab si gadis singkat sambil kembali berjalan ke tempat parkir di mana motornya berada.

“Sebentar…Kalau boleh tau namamu siapa? Besok saya ganti uangmu tadi,” Arya berusaha menetralisir rasa kaget dan malunya karena tidak mengenal teman yang ternyata seangkatan dengan dirinya itu.

“Tidak usah, Arya. Gak banyak kan? Saya sudah ikhlaskan koq,” jawab si gadis bergegas menuju motor Honda Beat warna hitam yang terparkir tepat disamping Yamaha R1 miliknya dan mulai menyalakan mesinnya.

“Mmmm…terimakasih banyak ya,” Arya tersenyum. Ia pun berjalan menuju motornya.

“Sama-sama. Udah ya, saya duluan. Assalamu’alaykum,” kata si gadis sebelum melaju dengan motornya.

“Wa..waalaykumussalam,”tergagap Arya membalas salam si gadis.

‘Ah,bodohnya aku. Teman satu angkatan saja aku tidak hapal,’ rutuknya dalam hati. Arya memang tipe ignorant. Tipe penyendiri, walaupun ia termasuk mahasiswa yang populer di fakultas ekonomi.

Mengapa tidak? Dari segi penampilan, angka 90 dari 100 bisa ia dapatkan atas wajah dan postur tubuhnya yang mencapai 182 cm, membuatnya menjulan di antara mahasiswalain. Kedua orang tuanya asli suku Jawa, tapi nenek buyutnya ada yang berdarah Belanda, jadi garis wajahnya yang bertampang indo dan tinggi badannya yang diatas rata-rata bisa jadi diturunkan dari buyutnya tersebut.

Selain penampilan, Arya dikenal pendiam kalo tidak dikatakan dingin apalagi terhadap teman-teman lawan jenisnya, tapi dibalik diamnya tersimpan otak yang luar biasa cerdas secara akademis. Walaupun dengan kualitas dirinya yang di atas rata-rata itu, Arya tidak sombong bahkan ia sangat rendah hati. Tidak heran ia sering jadi rujukan tempat teman-temannya bertanya dan menjadi kesayangan para dosen.

Arya bertekad besok ia akan mencari tau tentang sosok gadis penolongnya tersebut. Ia sungguh terkesan bukan hanya kebaikan hati sang gadia tapi juga pada sikapnya yang terkesan acuh tak acuh terhadap dirinya. Selama ini ia terbiasa dengan limpahan perhatian lawan jenisnya yang selama itu pula semuanya tidak pernah ia gubris sedikitpun. Ia merasa jengah akan perhatian yang ia anggap berlebihan tersebut.

Kebanyakan selama ini teman-teman wanitanya bersikap manja dan seolah-olah mereka kenal dekat dengan dirinya. Sungguh ia risih dengan semua itu, yang ia anggap justru bukan membuat dirinya jatuh hati tapi malah kebalikannya. Untuk menghindarinya ia punya tips jitu, bersikap dingin tanpa emosi. Hanya sahabat terdekatnya, Pandu, yang mengetahui alasan sikap diam dan dingin Arya.

Hari ini jadwal kuliah Arya dan Pandu tidak sama. Padahal biasanya mereka selalu bersama-sama saat di kampus, apalagi kalau ada tugas kuliah seperti siang ini.

Tekadnya sudah bulat, minimal nama gadis itu harus bisa ia dapatkan. Pandu pasti bisa membantunya. Karena walau mereka bersahabat dekat sejak SD dulu tapi sifat dan kesukaan mereka bertolak belakang. Ia suka menyendiri sedangkan Pandu tipe yang mudah akrab terhadap siapapun bahkan kepada orang yang baru dikenalnya. Ia suka dengan hobi-hobi yang single fighter seperti bela diri, fotografi dan jalan-jalan, sedangkan hobi yang dimiliki Pandu jauh berbeda, Pandu sering berkumpul dan hang out di komunitas pecinta alam, senang berorganisasi di himpunan mahasiwa jurusan dan semacamnya. Walaupun berbeda kesukaan, mereka seperti kakak adik yang selalu bisa diandalkan satu sama lain.

**

Aisha Alifia Putri. Itu nama gadis bersuara jernih tempo hari. Kemarin saat Arya menyempatkan mampir ke rumah Pandu, yang letaknya hanya beberapa blok dari rumahnya, ia berhasil mendapatkan informasi tentang gadis itu termasuk nama dan kegiatannya di kampus.

Pandu sempat curiga awalnya. Heran atas sikap Arya yang tiba-tiba tertarik untuk menggali informasi tentang seorang gadis. Karena belum pernah sekalipun selama pertemanan mereka, Arya begitu antusias tentang seorang gadis. Sepengetahuan Pandu, selama ini Arya lebih tertarik dengan dunianya sendiri. Dunia yang berputar di sekitar kegiatan perkuliahan, hobi tae kwon do-nya, atau dunia fotografi yang berhasil membesarkan namanya di kalangan fotografer lokal negeri ini, dan dunia bisnis batik yang digeluti orang tuanya di mana Arya adalah pewaris yang tentu saja harus mengetahui juga tentang seluk beluk dunia tersebut.

Jadi, kalau tiba-tiba Arya datang ke rumahnya untuk menanyakan tentang nama seorang gadis, tentu gadis ini bukan gadis smbarangan. Saat Arya memberikan ciri-ciri gadis yang menggambarkan suatu sosok gadis tertentu, pikirannya langsung tertuju pada Aisha. Sosok gadis yang cerdas dan aktif dalan kegiatan-kegiatan korahian Islam di kampusnya.

**

Aisha tampak serius membaca sebuah buku didepannya. Di atas meja ada setumpuk buku-buku tebal. Kutu buku kelas kawakan,' Arya membatin.

Saat ini, ia berada dua meja jauhnya dari meja Aisha. Di depannya ada sebuah buku yang ia ambil secara acak dari rak buku, sebagai kamuflase. Tentu saja, berada di dalam perpustakaan fakultas yang cukup luas ini tanpa sebuah buku di atas meja bisa jadi akan menimbulkan kecurigaan mahasiswa lainnya atau petugas perpustakaan. Apalagi ia membawa satu set kamera.

Sudah hampir sebulan terakhir ini, Arya memang mengikuti gerak gerik Aisha. Ada ketertarikan yang begitu kuat ia rasakan terhadap sosok gadis yang satu itu. Ibarat penguntit, ia merekam di kepalanya kebiasaan-kebiasaan Aisha selama di kampus. Alhasil, ia mulai hapal rutinitas kegiatan Aisha, sehabis jam kuliah kedua berakhir sambil menunggu adzam dzuhur berkumandang biasanya Aisha dan kawan-kawan wanitanya akan duduk-duduk di depan musholla putri. Entah berbincang-bincang tentang tugas kuliah, kegiatan rohis kampus, atau (lagi-lagi) membaca.

Setelahnya biasanya ia kembali ke ruang kuliah atau perpustakaan fakultas yang terletak tidak jauh dari ruangan kuliah.

Arya, yang memang terkenal dengan hobi fotografinya,bisa leluasa mengambil gambar-gambar Aisha tersebut, terutama saat ia dan teman-temannya duduk-duduk di depan musholla putri. Karena posisi musholla yang berada di lantai dasar tepat berhadap-hadapan dengan gedung tempat ruang-ruang perkuliahan berada. Biasanya Arya sudah mengambil posisi di depan ruang kuliah yang berada di pojok lantai 3. Dari sana posisi musholla putri akan terlihat jelas, tapi posisi Arya akan aman tersembunyi dan tidak terlalu mencolok.

**

Melihat aktivitas dan sedikit kepribadian Aisha dari pengamatannya itu, Arya merasa mulai tertarik untuk mempelajari tentang Islam. Karena memang menurutnya Aisha itu adalah seorang gadis yang kelihatannya taat beragama.

Ia mulai membeli beberapa buku keIslaman. Dari yang kelihatannya lumayan berat sampai yang ringan seperti majalah. Ia pun mulai aktif sholat wajib di masjid dekat rumahnya.

Kebetulan di masjid dekat rumahnya itu saat ini setiap malam Rabu dan Sabtu ada kajian yang dibawakan oleh seorang ustadz. Kajian itu tentang tauhid. Tema kajian yang menurutnya sangat berat. Tapi ternyata sang ustadz bisa menyampaikan dengan jelas dan bisa dipahami oleh audiens yang mengikuti kajian tersebut. Dari keterangan seorang pengurus DKM memang sang ustadz sangat mumpuni karena beliau adalah seorang doktor syariat lulusan dari Saudi.

Sudah 3 kali Arya mengikuti kajian sang ustadz. Hatinya mulai tergerak untuk lebih mengkaji tentang tauhid, inti dari syariat Islam.Di sisi lain ketertarikannya terhadap pribadi dan sosok Aisha semakin kuat. Tapi ia tahu Aisha gadis yang taat akan syariat agama. Dari buku-buku agama yang ia baca dan kajian yang mulai ia ikuti tersebut, Arya sadar kalau memang dirinya betul-betul tertarik terhadap Aisha dan berniat serius maka jalan satu-satunya adalah melamar Aisha untuk ia jadikan istri.

Tapi pertanyaannya sudah siapkah ia? Secara materi ia jelas sudah siap. Sejak dirinya menginjak sekolah menengah pertama, ayahnya sudah mulai melibatkan dirinya dalam dunia usaha batik. Entah berbelanja bahan baku, belajar mencari desain-desain batik yang sedang diminati pasar atau yang berprospek untuk menjadi trend setter, atau masalah pembukuan keuangan bisnis. Dan ia diberi gaji sesuai dengan porsi kerjanya. Jadi secara finansial ia siap. Secara lahir pun, ia merasa tidak mempunyai hambatan.

Begitu pula dengan faktor keluarga. Ibunya seorang perempuan yang sangat mengerti dan bijaksana. Sepanjang Arya melakukan hal-hal yang positif, Arya bisa dipastikan akan selalu mendapat dukungan dari sang bunda. Ayahnya, yang lebih sibuk mengurus bisnis, biasanya mempercayai penilaian sang istri dalam urusan kerumahtanggaan. Jadi Arya yakin, keluarganya akan mendukung dirinya dalam hal ini.

Satu kekurangan yang ia miliki. Secara batiniah, ia merasa belum siap. Ia merasa masih sangat kurang ilmu dan wawasan yang ia miliki untuk menjadi seorang pemimpin dalam keluarga. Inilah hambatan terbesarnya.

Aisha bukan gadis biasa. Jadi pasti penilaiannya dalam menerima suatu lamaran bisa jadi akan sangat berbeda di banding gadis-gadis pada umumnya, yang biasanya menomorsatukan materi daripada kesiapan batin sang calon kepala keluarga.

Saat sesi kajian tauhid rutin berakhir, Sabtu kemarin, ia memberanikan diri berkonsultasi pada sang ustadz tentang masalahnya ini. Ia buang rasa malunya jauh-jauh. Jawaban dari hasil konsultasi ini cukup melegakan hati Arya dan semakin memantapkan hatinya untuk mengambil langkah selanjutnya.

Tapi sebelum mengambil keputusan final, ia disarankan untuk melaksanakan sholat istikhoroh dan ibadah-ibadah lain yang bisa mdekatkan dirinya kepada Allah, agar hatinya diberi kemantapan dan kalau memang keputusan yang ia ambil tepat semoga jalannya dimudahkan. Ia pun disarankan untuk lebih giat mengkaji tentang kewajiban,hak, tanggung jawab, pernak pernik permasalahan yang biasanya muncul dalam suatu rumah tangga baik dari kacamata agama maupun kacamata norma kemasyarakatan, agar sedikit banyak ia punya bekal untuk dapat memimpin keluarga kecilnya kelak.

Dari penjelasan panjang lebar sang ustadz yang dalam ilmunya tapi rendah hatinya itu, Arya jadi sadar bahwa rumah tangga bukan melulu penuh keindahan, justru akan sangat banyak ujian dan rintangan yang akan dihadapi kelak. Itulah mengapa nikah merupakan setengah dari agama, mitsaqon gholizo atau perkataan yang berat, karena memang menikah itu sungguh bukan perkara yang mudah walau juga bukan suatu hal yang harus ditakutkan..

**

Tak terasa sudah hampir satu setengah bulan sejak kejadian siang bersejarah itu. Ada yang berubah dalam diri Arya. Orang-orang di sekelilingnya pun merasakan perubahan tersebut. Ia lebih dewasa, lebih sabar. Ibu dan ayahnya tentu sangat senang, walaupun dalam hati mereka bertanya-tanya apa penyebab yang membuat anaknya berubah jadi lebih baik.

Hari itu Arya telah bertekad. Ia akan meminta bantuan Pandu agar ' membantunya mencari cara bagaimana agar dirinya dapat mengutarakan maksud hatinya kepada Aisha. Ia akan meminta bantuan sahabatnya itu tentang strategi yang tepat untuk dapat bertemu dengan keluarga Aisha.

Tapi, setibanya ia di lapangan parkir samping kantin kampus, Arya kaget bukan kepalang. Bagaikan seribu megawatt listrik dialirkan ke sekujur tubuhnya. Dilihatnya Aisha duduk dibelakang seorang laki-laki sedangkan tangannya melingkar di pinggangnya menaiki motor dan melaju pelan menuju lapangan parkir tempat ia berada.

Belum hilang rasa kagetnya itu, tiba-tiba Aisha berjalan menghampiri dirinya. Di tangannya tergenggam sesuatu yang mirip sebuah buku kecil.

"Arya, tunggu sebentar, saya mau menyerahkan undangan untukmu," Aisha menyodorkan sesuatu yang Arya kira buku kecil tadi. Tertulis besar-besar di tengah atas, undangan pernikahan. Tak perlu ia membukanya, Arya sudah bisa memastikan nama siapa yang tertera di dalamnya.

"Arya, perkenalkan ini suami saya, kami menikah seminggu yang lalu, dan kami berencana melaksanakan resepsi pernikahan hari Ahad ini. Semoga kamu bisa datang ya nanti. Saya mengundang seluruh teman-teman satu angkatan kita," Aisha menggandeng tangan laki-laki itu, yang ternyata adalah suaminya.

"Fahri" sambil tersenyum suami Aisha mengulurkan tangannya untuk berjabatan.

"Arya," jawabnya bergetar menyambut uluran tangan suami Aisha. "Selamat ya atas pernikahan kalian. Semoga kalian menjadi keluarga yang sakinaah. Insya Allah kalo tidak ada halangan saya akan datang ke acara resepsi besok. Oh, ya mohon maaf, saya pamit karena ada keperluan. Assalamu'alaykum." Tanpa menunggu balasan lagi, Arya langsung kembali menaiki Yamaha R1nya dan menekan gasnyaa kuat-kuat meninggalkan pasangan yang baru saja menikah itu.

Sungguh, hatinya sakit sekali. Ada rasa marah bercampur kecewa bergejolak di dadanya. Dengan kecepatan tinggi, ia melarikan motor setianya tersebut ke arah Tawangmangu, tempat dimana kedua orang tuanya memilki sebuah villa di sana.

Sesampainya di halaman vila. Ia memarkir motor di carport halaman depan dan segera berlari ke arah belakang villa. Dari kejauhan tampak pemandangan perbukitan yang menghijau di sertai dengan kabut tipis. Tawangmangu memang merupakan daerah pariwisata yang terkenal dengan daerahnya yang dingin dan berbukit2. Mirip daerah Puncak di Bogor.

Arya, berteriak sekeras-kerasnya melepaskan segala rasa yang tertahan dalam hatinya. Hatinya sakit. Tapi ia tau, ia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Selama ini penyebab perubahan dirinya hanya ia sendiri dan Allah yang tau, dan Ustadz saat ia berkonsultasi dulu. Semuanya ia simpan rapat-rapat, karena ia merasa belum waktunya untuk memberitahukan kepada siapa pun. Di saat ia merasa, sudah sampai waktunya ternyata takdir berkata lain.

Sungguh, walau sakit tak terperi, ia tidak menyalahkan siapa pun. Ia hanya ingin menumpahkan semua rasa sakitnya tersebut lewat teriakannya. Ah semoga itu bukan berarti bahwa tanda dia tidak ikhlas akan semua kejadian ini.

Ingin rasanya ia menangis sejadi-jadinya. Walau menangis memang bukanlah suatu larangan, bahkan bagi seorang laki-laki seperti dirinya, Arya sudah bertekad tidak akan meneteskan sebutir air matapun. Karena pantang bagi dirinya, menangisi seseorang yang bukan haknya, seseorang yang belum ia miliki secara halal.

Hatinya memang sakit, untung logikanya masih bisa bekerja dengan baik. Ia tau, butuh waktu lama untuk menyembuhkan luka hatinya itu. Tapi, ia sadar sepenuh hatinya, bahwa ada takdir yang terbaik yang telah Allah sediakan untuk dirinya sepanjang ia berusaha menggapainya di jalan-Nya yang lurus.

Aisha, merupakan jalan yang Allah berikan padanya untuk menggapai hidayah yang dua bulan terakhir ini ia rasakan. Walau pada akhirnya, ia tidak bisa memilikinya,sungguh ia bersyukur bahwa ia masih diberi kesempatan untuk merasakan nikmatnya hidayah yang Allah karuniakan tersebut. Nikmat besar yang tidak akan ia sia-siakan... Arya hanya bisa berdoa dalam hati,' Selamat menempuh hidup baru saudaraku shalihah, semoga Allah berikan banyak kebaikan untuk dirimu aamiin... '

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun