Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Psikologi Pembolos

3 Agustus 2010   08:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:21 258 0
Walau terlambat mengajar, aku mendapat banyak inspirasi dari kelas. Pelajaran tentang topik afirmatif dalam kasus DPR bolos. Terima kasih buat mahasiswaku! Hari ini berangkat ngajar dihadang dengan macet yang luar biasa. Aku mau ke luar perumahan saja antri lebih dari 20 mobil dan lebih dari 20 menit untuk keluar ke jalan raya. Alhasil, aku terlambat masuk kelas. Mengapresiasi kesabaran mahasiswa dan mulailah mengajar topik hari ini, organizational behavior alias perilaku organisasi. Apa isu yang tengah diperbincangkan masyarakat? Ada yang menjawab tabung gas, pelajar hamil, sampai ke bolosnya anggota DPR. Nah ini dia, menarik untuk dikaji dari sisi perilaku organisasi. Persoalan ini menjadi keprihatinan banyak pihak karena tingkat membolos anggota DPR yang terus meningkat. Fraksi PPP mengusulkan potongan tunjangan bagi mereka yang membolos sebagai solusi. Ada pula yang mengusulkan publikasi mereka yang membolos. Bahkan, masyarakat kebanyakan usul lebih ekstrim untuk memecat mereka yang membolos. Silahkan baca di komentar berita ini. Tetapi, arah-arahnya pemindai sidik jari yang akan dijadikan solusi oleh pimpinan DPR. Apakah itu akan menjadi solusi? Aku tanya ke mahasiswa, apa perilaku yang terbentuk dengan pemberlakuan pemindai sidik jari? "Jadi rajin pak, rajin absen!" Saya setuju dengan pendapat mereka. Pemindai sidik jari diharapkan untuk hadir dalam pertemuan sehingga bisa menghasilkan produk perundangan yang berkualitas. Kenyataannya, manusia bukanlah robot yang bisa diprogram. Pada beberapa organisasi, pemindai sidik jari lebih membentuk perilaku rajin melakukan pemindaian sidik jari. Jadi, kalau dulu ada pameo bahwa anggota DPR itu "Datang, Duduk, Diam, Duit" maka sekarang menjadi "Datang, Absen, Duduk, Diam, Duit"! Apakah itu yang diharapkan? Tentu bukan! Solusi pemindai sidik jari hanya akan menghasilkan persoalan baru nantinya. Arah pembahasan yang semata pada persoalan membolos bahkan menutupi persoalan sebenarnya, persoalan yang mungkin dihadapi oleh anggota DPR. Aku tanya ke mahasiswa, siapa pernah ikut rapat? Hampir semua angkat tangan. Siapa yang pernah ikut rapat yang dihadiri 50 orang? Sekitar 20 orang angkat tangan. Kalau 100 orang? Tinggal 8 orang yang angkat tangan. Berapa lama rapatnya? Sekitar 2 jam. Bagaimana keadaannya? Ramai, ribut sendiri. Apa yang kamu lakukan? Kebanyakan sih duduk diam. Apa yang kamu rasakan? Bosen. Males. Siapa yang berhasrat ikut rapat seperti itu? Tidak ada yang angkat tangan. "Malas, pak!" Nah, kalian saja malas untuk ikut rapat yang cuman dihadiri 100 orang selama 2 jam. Apalagi.... Aku kemudian mengajak mereka menghayati pengalaman anggota DPR dalam mengikuti pertemuan. Selain bosan, mereka menjawab mungkin kebanyakan anggota DPR merasa kehadiran mereka tidak penting. Mereka hadir atau bolos tidak berpengaruh atas keputusan. Karena hanya sedikit kesempatan untuk berbicara. Apalagi kalau kita lihat waktu sidang century, semua orang ingin bicara, berebutan dan saling ngotot."Saya sih males pak!". Perhatikan! Fokus semata pada isu bolos, justru mengalihkan perhatian atas isu efektivitas proses pertemuan dan pengambilan keputusan di DPR. Dalam pendekatan Appreciative Inquiry, kasus diatas adalah tantangan bagi praktisi perubahan organisasi dalam mendefinisikan topik afirmatif pada awal inisiatif perubahan organisasi. Apa itu topik afirmatif? Topik afirmatif adalah fokus perubahan dan pembelajaran kita. Topik yang akan dikaji dan dipelajari untuk menghasilkan sebuah inovasi perubahan. Ketepatan pemilihan topik afirmatif menentukan keseluruhan hasil dari perubahan organisasi. Mengapa demikian? Appreciative Inquiry meyakini manusia dan sistem manusia bergerak mengarah pada apa yang paling sering dan sistematis ditanyakan. Solusi pemindai sidik jari berpijak pada keyakinan implisit bahwa topik afirmatifnya adalah "Menurunkan tingkat ketidakhadiran anggota DPR" atau mudahnya "Pengurangan anggota DPR yang membolos". Topik ini menjadi warna dominan di banyak forum. Berbagai ahli ditampilkan mengkaji penyebab dari topik itu dan menawarkan solusi untuk mengatasinya. Topik ini menjadi pusat perhatian dan percakapan. Apa hasilnya? Solusi terhadap topik tersebut. Dan sebagaimana telah dibahas diatas, topik ini yang melahirkan solusi pemindai jari. Solusi yang sesuai dengan topik, tetapi tidak sesuai dengan harapan mendalam masyarakat Indonesia, kinerja unggul anggota DPR. Banyak organisasi mengalami kegagalan dalam melakukan perubahan dan pengembangan organisasi sejak dalam penentuan topik afirmatifnya. Kebanyakan organisasi lebih memilih topik "menurunkan tingkat turnover karyawan" atau "perbaikan kualitas proses". Pemilihan topik semacam itu berkonsekuensi pada penyelesain persoalan kita hari ini, tetapi tidak menyelesaikan persoalan mendasar. Bahkan lebih jauh dari itu, kajian dan percakapan seputar topik semacam ini justru bisa menimbulkan efek sebaliknya. Bayangkan, karyawan yang awalnya semangat bekerja kemudian diwawancarai tentang penyebab turnover. Apa yang terjadi? Karyawan tersebut akan menurun semangat kerjanya karena yang terbayang dibenaknya adalah tindakan-tindakan rekan kerjanya yang sudah keluar kerja. Bagaimana topik afirmatif yang tepat?

  • Topik tersebut bersifat positif. Topik mengafirmasikan keadaan yang diidamkan
  • Topik tersebut dibutuhkan. Organisasi ingin menumbuhkan, mengembangkan, dan meningkatkannya.
  • Topik tersebut merangsang pembelajaran. Organisasi benar-benar penasaran tentangnya, dan ingin lebih banyak tahu dan lebih cakap dalam hal itu.
  • Topik tersebut memancing pembahasan tentang masa depan yang dinginkan. Topik tersebut membawa organisasi menuju arah yang diinginkannya, dan berkaitan dengan Agenda Perubahan organisasi.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun