Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Bintang Jatuh

22 Oktober 2021   17:15 Diperbarui: 22 Oktober 2021   19:59 600 39
"Kakek, lihat!" Tanganku menunjuk ke arah langit ada kerlip cahaya yang bergerak melesat ke suatu arah.

Kakek menghentikan langkahnya ia tertegun menatapku sayu terlihat tubuhnya sedikit gemetar.

"Kakek kenapa?"

Dia mengusap-usap rambutku dengan lembut, lalu mendekap dan mencium kepalaku sedikit lama. Berjuta tanda tanya di langit-langit pikiranku melihat sikap kakek.

Kejadian dua belas tahun lalu masih kuingat, bukan karena kerlip cahaya bintang beralih yang orang bilang fenomena alam, melainkan sikap kakek kepadaku setelah peristiwa itu.

Kakek selalu berkata kepadaku untuk selalu bersabar dan lapang dada. Entah apa yang sedang ia sembunyikan dariku.

"Hey! Minggir!" sedikit dorongan kurasakan pada bahuku, perasan aku sudah benar-benar menepi, tapi kenapa masih juga tersenggol sampai mangkuk bakso yang kupegang hampir tumpah.

"Halo Asfa, wih ... sudah di sini aja gak ajak-ajak."

Segerombolan remaja cowok menghambur masuk dalam kantin, aku cuma senyum-senyum, lalu mempercepat menghabiskan bakso agar segera bisa ngacir dan aman.

Suasana kelas riuh begitu bel istirahat usai. Aku melihat teman-teman yang masuk kelas ibarat ikan gatul yang bergerombol meluncur di selokan.

"Ah kamu lagi-kamu lagi, ngapain sih di situ!" teman perempuanku yang jutek mulai sengit padaku.

Kukemasi buku dan tasku lalu mencari bangku lain yang lebih ke belakang.

Hari ini aku sudah pamit pulang sedikit sore karena ada ekstrakurikuler. Aku sebenarnya ingin bisa menjaga diriku dengan mengikuti ekstra bela diri, tapi entah banyak pilihan yang membuatku bingung hingga kuputuskan untuk memilih, jurnalistik.

"Asfa, apa laporan beritamu hari ini?" Pembina ekskul menanyakan tugas yang harus aku serahkan.

Aku hanya nyengir saja, sebenarnya tidak tahu bagaimana menjadi seorang jurnalistik, bosan. Harusnya aku ikut pencak silat saja, cukup modal gerakan badan, gak mikir berat gini.

"Asfa!"

"Kantin, Mas."

"Mana tulisan tentang kantin?"

Kusodorkan selembar kertas dengan beberapa paragraf yang menarasikan suasana kantin saat istirahat tadi.

"Tidak buruk, tapi perlu diperbaiki supaya lebih renyah dibaca."

Gramatikalku memang sangat kacau, hanya punya ide tema yang menarik, kurang bisa menuangkan dalam kalimat yang apik.

"Asfa, kamu ditunggu Nurul nanti sepulang ekskul di depan, katanya penting." Seli berbisik manja di telingaku, aku balas dengan anggukan.

Usai ekskul aku segera mendekati Nurul yang sedang memainkan karet gelang di tangannya. "Ada perlu apa Rul? Ada yang bisa aku bantu?"

"Ada yang bilang padaku kamu ngata-ngatain aku."

"Ngatain gimana? Siapa yang bilang? Kapan?"

"Tidak perlu kusebut namanya, aku ingin kamu jujur, benar apa tidak, aku tidak ingin bertengkar."

"Ya, aku juga tidak tertarik untuk berselisih, itu buang-buang waktu saja. Mau kamu apa? Menanyakan itu saja? Tapi tidak mau memberitahu siapa yang bilang."

Aku gebrak bangku yang menahan pantatku dan pantatnya, dan telunjukku mulai mengarah ke langit. "Aku tidak mau bersumpah, tapi aku berkata dengan sebenar-benarnya, siapa yang memfitnahku akan tahu akibatnya."

"Ya sudah, aku cuma tanya, kalau enggak ya sudah, jangan marah."

Sial, sungguh sial, apa maksudnya coba, bikin kesal, aku hanya ingat nasihat kakek.

***

Yang aku tahu kala itu hari selalu cerah dan harus ceria. Mungkin kepekaanku minus atau Tuhan melindungiku, entahlah.

Masih kuingat ketika aku menerima hadiah dari temanku dan aku membalasnya memberi sesuatu tanpa ada embel-embel rasa. Hanya terbiasa dari kecil untuk membalas kebaikan orang lain. Tapi yang kudapat sebuah berita menyakitkan.

Aku cuma bisa bercerita pada kakek, tapi kakek malah tertawa lalu menghiburku.

"Kakek kan sudah bilang, kamu harus sabar dan lapang dada, karena itu akan berulang selama hayatmu."

"Apa?" nada suaraku sedikit meninggi, hingga kakek memberi kode dengan meletakkan telunjuk di bibirnya. "Nanti ibumu terbangun, biarkan dia menikmati mimpinya setelah seharian bekerja."

"Kek, kalau aku terus mengalami seperti itu bagaimana?"

"Kamu harus kuat, apa yang kamu harapkan memang akan berbanding terbalik. Semua harus kamu alami walau kamu mencoba untuk menghindar."

"Kakek sudah berusaha, tapi itulah garismu, keberuntungan yang selalu kamu nikmati akan beriringan dengan kemalangan yang akan menimpa. Tidak apa-apa, yang kuat saja."

Aku hanya mengerjapkan mata, malam bersama kakek di beranda menjadi sangat sunyi dan dingin. Kami terdiam lama dalam pikiran masing-masing. Suara katak dan jengkerik yang bersahutan seolah mengamini perkataan kakek.

"Buruk sekali ya Kek?" suaraku menyeruak sepinya malam, langit masih terlihat cerah dengan hiasan kerlip bintang nun jauh di sana. Kakek hanya diam dan bermain dengan asap rokok tembakau tingwenya (ngelinting dewe). Aku paling suka menciumi aroma tembakau sebelum dilinting, bagai aroma terapi yang membuat kepalaku sedikit ringan setelah menghirup baunya.

"Hidup ini cuma lakon saja Asfa, yang kita butuhkan hanya selamat. Maka dari itu kakek menitipkan doa pada namamu, Asfaleisa."

Kuhabiskan malam bersama kakek yang menceritakan sejarah namaku, katanya diambil dari bahasa Yunani yang artinya selamat. Entah kakek tahu dari mana, padahal kami hanya orang desa. Mungkin dari sobekan koran, bekas bungkus cabe.

Ya, setidaknya aku masih selamat ketika ibu terjatuh dari boncengan bapak, saat akan memeriksakan kandungan ke bidan karena terserempet motor ugal-ugalan, yang menyebabkan aku tak mengenal wajah bapakku.

"Kek, boleh aku tahu arti bintang beralih atau jatuh yang kulihat saat kecil?"

Kakek memandangku lekat, matanya yang tua semakin terlihat kelam, lalu melanjutkan lagi menghisap rokok tembakaunya dalam-dalam. Kakek hanya berkata bahwa itu sudah garis hidupku.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun