Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Komite Ilegal, Jangan Politisasi Karyawan TVRI

1 Maret 2020   07:14 Diperbarui: 1 Maret 2020   07:17 126 0
Dalam perseteruan elit TVRI, karyawannya terhimpit di tengah. Nasibnya persis pelanduk di antara dua gajah. Akhirnya mereka didorong ke kanan dan kiri.

Setelah Helmi Yahya keluar, terjadi gerakan kudeta. Apni Direktur Program yang sekaligus sahabat Helmy Yahya baru saja mengumpulkan karyawan TVRI. Besar kemungkinan dia membuat kesepakatan dengan mereka.

Di tengah kemelut TVRI mendadak muncul kelompok yang merasa berkuasa melebihi siapa pun.

Kelompok ini tidak diketahui lahir dari mana.m? Siapa yang mengangkat mereka? Dan apa saja kewenangannya? Tiba-tiba saja ada sekelompok karyawan yang megatasnamakan seluruh karyawan TVRI.

Kelompok inilah yang kemudian menamai diri mereka Komite Penyelamat TVRI. Lalu mereka lari ke sana ke mari mencari dukungan. Mereka ingin eksis dan dianggap penting.

Tidak jelas kelompok ini kedudukan hukumnya sebagai apa. Melihat gerakannya, ini hanya kelompok spontan yang dibentuk demi agenda politis. Yang tentu saja tidak memiliki izin, alias kelompok ilegal.

Agenda siapa di balik mereka? Ya siapa saja yang ingin melakukan aksi balas dendam.

Lucunya adalah, Komite Penyelamat yang tak punya kedudukan hukum ini mendesak Dewan Pengawas untuk mengundurkan diri.

Mereka memang tidak punya kewenangan apa-apa. Oleh sebab itu mereka hanya bisa "meminta". Komite Penyelamat itu tidak lebih segerombolan orang-orang yang sedang memanfaatkan situasi.

Orang-orang lapar yang perutnya minta diisi. Semacam "Pengacara", yaitu pengangguran banyak acara. Nyari-nyari celah proyek yang bisa digarap.

Antara Helmy Yahya (termasuk Apni) dengan Dewas TVRI sebenarnya sudah selesai. Kasus ini sudah dimediasi oleh DPR. Sebelumnya malah sudah disuruh menunjuk Dirut baru. Artinya, kemungkinan Helmy balik ke sana sudah tidak ada.

Tetapi karena goreng-gorengan politik, DPR meminta proses pemilihan Dirut dihentikan.

Kemudian kelompok ilegal bernama Komisi Penyelamat memainkan lobi. Mereka punya waktu untuk melakukan manuver. Termasuk meminta Dewas mundur.

Pemecatan Dewas tentu ada prosedur hukumnya. Tidak bisa asal disuruh mundur. Itu namanya tabiat preman. Jika hanya karena kasus pemecatan Helmy, permintaan itu salah sasaran. Syaratnya tidak terpenuhi.

Tapi itu sebenarnya tidak penting dibahas. Karena itu sudah menjadi bagian dari intrik politik. Yang paling dicemaskan di sini adalah nasib karyawan TVRI itu sendiri. Mereka yang namanya dijual oleh Komite Penyelamat. Sekarang ini mereka terkatung-katung.

Dengan berlarut-larutnya kasus ini, tunjangan kinerja karyawan akan digantung. Sampai ada Dirut definitif yang menekennya. Yang kedua, telah terjadi polarisasi di antara karyawan TVRI. Dan ini tidak baik bagi iklim lembaga.

Persoalan selanjutnya, kinerja TVRI jelas merosot karena kegaduhan yang berlarut-larut ini. Lembaga penyiaran publik itu telah menjelma palagan pertarungan politik. Mereka tidak lagi fokus berkarya. Tapi main lobi-lobian. Main kubu-kubuan.

Politisasi karyawan ini mirip yang dilakukan oleh Wadah Pegawai KPK. Kelompok yang tak punya kedudukan hukum, tapi ingin mengurusi semuanya. Termasuk turut campur dalam pemilihan pimpinan KPK.

Orang-orang ini menjual nama karyawan. Lalu melakukan lobi-lobi agar ikut menikmati kekuasaan. Tiba-tiba saja mereka punya power yang luar biasa untuk menekan siapa saja. Entah diberi mandat oleh siapa.

Pola yang sama hendak dipakai untuk mengacak-acak TVRI. orang-orang kurang kerjaan ini sedang mengail di air keruh. Dengan cara menjual karyawan TVRI.

Kelompok ilegal yang menamakan diri sebagai Komite Penyelamat TVRI berhentilah menjual nama karyawan. Jangan mempolitisir mereka. Biarkan TVRI tetap sebagai Lembanga Penyiaran Publik, bukan ajang untuk main politik.

Bayu Geni

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun