Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy

Homoseksual Adalah Gangguan Kejiwaan - Versi Tidak Resmi

9 September 2012   04:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:43 894 4
Menarik sekali membaca artikel dari Mbak Anjani Kusuma.

Di artikel tersebut beliau menyebutkan bahwa versi resmi atau official menurut DSM IV dan PPDGJ- III bahwa homoseksualitas memang bukan masuk dalam klasifikasi gangguan atau masalah kejiwaan.

Saya  bukan seorang psikolog, sehingga mengklasifikasikan seseorang dengan 'apa itu masalah kejiwaan' sudah pasti tidak mumpuni.  Bukan juga seorang homophobic yang akan menghakimi kehadiran kaum gay di masyarakat.

Kalau si fulan sudah 'terlahir' menjadi seseorang yang memang sudah beda orientasi dari awal, bisa jadi memang itu bukanlah sebuah gangguan kejiwaan. Dan di Indonesia sendiri, kasus tersebut bisa jadi sangat jarang kejadiannya.

Saya akan ambil contoh dari beberapa kejadian, yang  membuat saya tetap berpikir bahwa kebanyakan homoseksual memang gangguan kejiwaan.

Banyak yang saya liat anak kecil (cowok) menjurus ke sana karena kurangnnya pembentukan mental sesuai kodrat di pasangan yang keduanya sibuk.  Si ayah dan ibunya  sibuk bekerja, dan seharian si anak dipegang atau diasuh seorang baby sitter  dirumah yang kebetulan rata rata memang wanita.  Karena memang jarang mendapatkan seorang 'role model' atau figur seorang pria dalam separuh lebih di awal masa pertumbuhannya, si anak pun berubah menjadi gemulai. Bukan salah si nanny disini, namun figur seorang ayah yang sangat jarang dilihatnya dan ikut membantu pembentukan karakterlah yang menjadi masalahnya.

Trauma masa kecil terhadap karakter ayah yang keras dan otoriter, mungkin juga kekerasan di dalam rumah tangga juga turut membentuk mental anak menjadi seorang gay atau lesbian.  Figur Ibu yang lembut dan mengayomi, tentu menjadi contoh bagaimana seorang anak berkembang di kemudian hari.   Buat seorang anak lelaki, Ibu yang terlalu memanjakan dan tak jarang menjadikan si anak sebagai 'boneka' permainannya dengan kasih sayang yang berlebihan, mendandani dan yang lain hal tentu menjadi sebuah faktor yang dominan.

Yang disebutkan diatas, faktor internal didalam keluarga  dominan dalam memahat pembentukan karakter anak.

Yang  kedua adalah faktor eksternal. Saat usia pubertas atau ketertarikan secara seksual. Faktor lingkungan, teman dan tentunya pemahaman akan sebuah kodrat yang minimal. Banyak yang tadinya straight, ikutan karena dianggap itu sebuah gaya hidup yang menjanjikan. Mereka melihat sebuah sisi 'hura hura' dalam kehidupan di kalangan gay. Lagi lagi, saya bicara tentang seorang laki laki.  Mereka yang tadinya normal, menjadi ikut dan merasa bahwa memang inilah sebetulnya 'kodrat' mereka.

Wanita, memang punya kecenderungan untuk berorientasi seksual dengan sesama jenis.  Sifat feminin, cenderung penyayang mungkin yang menjadi sebuah dorongannya.  Kekecewaan pada figur ayah atau masa berpacaran terhadap seorang laki laki di masa lalu menjadi sebuah trauma.  Sosok 'aman' yang dicari, dan ditemukan pada figur sesama wanita.

Banyak pula, karena sebuah gaya hidup. Saat berciuman di bibir diantara sesama wanita menjadi sesuatu yang tidak tabu, kenapa tidak mencoba yang lebih?  Sesuatu yang tadinya dianggap menyimpang, menjadi sesuatu yang lumrah. Bahkan cap kuno atau norak pun disematkan apabila belum pernah mencoba.

Masyarakat pun turut terjebak dengan cara pandang penerimaannya.  Dengan dalih HAM atau Hak Asasi Manusia, masyarakat di sebuah negara tanggung seperti di Indonesia sendiri pun secara tidak langsung turut mendukung penerimaan disorientasi seksual ini. Secara prinsip, penulis setuju dengan hak asasi manusia. Adalah salah apabila menghakimi seseorang berdasarkan orientasi seksual yang mungkin memang sudah terbawa sejak lahir. Untuk penerimaan ide rekruitmen kaum gay atau menyebar luaskan bahwa homoseksualitas itu sesuatu yang normal? Nanti dulu. Kejiwaan tidak hanya terletak pada sesosok individu saja. Masyarakat yang 'sakit', inilah yang justru memukul rata.

Kenali dulu akar masalahnya dengan baik.  Kasus per kasus. Tidak main pukul rata atau generalisasi bahwa kelainan orientasi seksual yang berbeda dengan mainstream itu 'hanya' sekedar variasi saja.  Punya cara pandang bahwa ciri khas masyarakat yang 'maju' adalah menerima sehingga takut dicap kolot apabila tidak menerima adalah salah kaprah.

Buat kaum agamis yang selalu melakukan penolakan dengan kekerasan, tindakan itu pun juga tidak tepat.  Penolakan secara kekerasan yang membuta karena kebencian pun semakin menguatkan justifikasi akan hak asasi manusia, dan tidak akan membawa seseorang yang dianggap 'salah kaprah' tadi menuju ke arah yang dianggap benar.

Buat para kaum gay atau lesbian yang merasa bahwa orientasi seksual mereka adalah hak asasi manusia mereka, silahkan. Tapi adalah hak orang yang mungkin berpikiran beda  juga, untuk melakukan penolakan terhadap upaya upaya rekruitment terhadap mereka mereka yang dulunya straight atau normal. Untuk tetap menjaga bahwa sebuah pandangan lurus di masyarakat dengan koridor agama dan norma di masyarakat adalah sesuatu yang benar.

Ini bukan masalah kolot atau enggak 'gaul'. Simpel aja, ini masalah punya sikap atau tidak.

Selagi seseorang ikut ikutan membenci kaum gay atau lesbian tanpa sebuah alasan yang jelas, itu jelas tidak punya sikap. Saat seseorang ikut membela dengan alasan HAM dan malu di cap tidak  maju apabila tidak berpikir seperti itu, itu juga bukan sebuah sikap.

Saat seseorang menjadi gay atau lesbian karena ikut ikutan? Jelas, itupun bukan sebuah sikap.

Untuk yang tertarik versi official atau resminya, silahkan menuju ke tautan dibawah ini :

http://sosbud.kompasiana.com/2012/09/09/ketika-homoseksualitas-bukanlah-gangguan-jiwa/

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun